Melepas

1227 Kata
    “Bara,” bisik Makaila tidak percaya.     Suara Makaila tersebut luput dari apa pendengaran Yafas, saat ini Yafas malah mempersilakan Bara untuk masuk ke dalam ruangannya untuk memeriksa identitasnya. Tentu saja, Yafas harus memastikan jika Bara memang orang yang bisa dipercaya untuk membawa Makaila kembali ke apartemen dengan selamat. Meskipun Edelia sudah mempercayainya, tetapi Yafas tidak bisa percaya begitu saja. Dilihat dari tampilan Bara, Yafas yakin jika dirinya memiliki profesi yang memang memaksanya mengenakan pakaian formal.     Bara mengulurkan tangannya dan menerima jabatan tangan Yafas. Bara pun memperkenalkan diri, “Perkenalkan, saya Bara. Saya adalah guru privat Makaila selama homeschooling.”     Yafas pun mengingat nama Bara. Sebelumnya, Edelia memang sudah bercerita jika sosok guru kompeten yang ia temukan untuk mengajar Makaila, bernama Bara. Karena itulah Yafas mengangguk dan memasang senyum ramah. “Saya sempat mendenga nama Anda dari ibu Makaila, tetapi maaf saya harus tetap memeriksa identitas Anda demi kenyamanan bersama. Jadi, bolehkah saya melihat kartu identitas Anda?” tanya Yafas.     “Tentu saja. Saya bukan orang aneh, yang merasa terganggu hanya karena diminta untuk menunjukkan kartu identitas,” jawab Bara sembari mengeluarkan kartu identitas miliknya dari dompet. Yafas menerimanya lalu sibuk untuk mencatat nama dan alamat Bara, sementara saat itulah Bara memberikan tatapan penuh peringatan pada Makaila. Entah kenapa, saat itulah Makaila merasa jika Bara mengetahui apa yang akan dikatakannya pada Yafas.     Hawa dingin yang mencekam seketika merambati tulang belakang Makaila dan membuat gadis satu itu menggigil begitu saja. Ya, Makaila tahu jika Bara tengah memperingatkan dirinya untuk berhati-hati dengan apa yang ia katakan, dan apa yang akan ia lakukan. Makaila merasakan telapak tangannya berubah dingin, saat dirinya melihat Bara memberikan isyarat jika dirinya menyimpan sesuatu di balik jas formal yang ia kenakan saat ini. Sudah dipastikan jika hal tersbeut tak lain adalah sebuah senjata api yang kemarin sempat Bara gunakan untuk mengancam Makaila.     “Terima kasih,” ucap Yafas kepada Bara yang sudah kembali berdiri dengan normal. Bara menerima kartu identitas yang dikembalikan oleh Yafas dengan senang hati.     “Kalau begitu, lebih baik Anda menunggu di luar saja. Karena sesi konsultasi Makaila belum selesai,” ucap Yafas. Ia memang berniat untuk kembali melanjutkan sesi konsultasi dengan Makaila.     Hanya saja, Makaila sudah lebih dulu bangkit dari duduknya dan berkata, “Ya-Yafas, mari kita sudahi konsultasinya. Aku tidak mau lagi melanjutkan konsultasinya. Rasanya, aku sudah terlalu lelah untuk konsultasi. Aku ingin pulang dan beristirahat sebelum kembali melanjutkan acara belajarku dengan Bara.”     Jelas, Yafas merasa jika apa yang diminta oleh Makaila terasa sangat aneh dan berat untuk disanggupi oleh Yafas. Sebelumnya, Makaila memang sering meminta sesi konsultasi dihetikan di tengah jalan. Namun, Yafas merasa jika kali ini permintaan Makaila terasa sangat janggal. Karena akhir-akhir ini, Makaila sangat jarang meminta untuk menghentikan konsultasi, apalagi dengan alasan lelah seperti yang barusan ia katakan. Rasanya, Yafas ingin sekali menghentikan Makaila, dan tidak membiarkan Bara membawa Makaila pergi. Namun, Yafas tidak bisa melakukan hal itu.     Selain Bara memang sudah dipercaya oleh Edelia untuk menjempur dan membawa Makaila kembali ke apartemen, Makaila secara pribadi sudah meminta untuk menghentikan sesi konsultasi hari ini. Karena itulah, pada akhirnya Yafas menyunggingkan senyum kecil dan mengangguk. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu melanjutkan sesi konseling ini jika kamu merasa lelah. Lebih baik, kamu segera pulang. Tapi, jangan lupa istirahat dan minum obat yang akan aku resepkan,” ucap Yafas lalu kembali ke mejanya untuk membuat resep obat yang harus Makaila tebus nantinya.     Makaila mengangguk dengan cepat dan segera mendekat pada meja Yafas untuk menerima resep yang sudah dibuat oleh Yafas khusus untuknya. Makaila berusaha untuk menutupi rasa gugup dan perasaan takut yang ia rasakan saat ini dari Yafas. Karena Makaila tahu, jika Yafas ini adalah pria yang sangat peka, bahkan lebih peka daripada ibunya sendiri. Makaila menyunggingkan senyumnya dan berkata, “Terima kasih untuk sesi konseling hari ini, Yafas. Aku pulang dulu, permisi.”     Yafas mengangguk dan mempersilakan Makaila untuk melangkah pergi. Bara tampak gentle dengan membukakan pintu bagi Makaila. Sebelum mengikuti langkah Makaila, Bara pun menyempatkan diri untuk tersenyum dan memberikan anggukan sopan sebelum pamit undur diri. Yafas pun membalasnya dengan senyuman khas miliknya. Namun setelah keduanya pergi, Yafas tidak bisa menahan diri untuk mengernyitkan keningnya dalam-dalam. Yafas merasa ada sesuatu yang aneh di sini, tetapi Yafas belum bisa meraba apa hal yang terasa aneh ini.       **           Tiba di apartemen, Makaila tidak diberi kesempatan untuk mengatakan apa pun oleh Bara, dan kini tubuh gadis mungil tersebut sudah dihimpit ke dinding. Bara yang bertubuh tinggi dan kekar, dengan sigap menahan tubuh Makaila untuk tidak bergerak sedikit pun dari sana. Sebelum mengatakan apa pun, bibir Makaila sudah lebih dulu dibungkam oleh ciuman panas yang dilakukan oleh Bara. Makaila tentu saja bergetar penuh rasa takut. Ia bahkan menangis deras, dan berusaha berontak dengan segala cara. Kedua tangannya ia gunakan untuk mendorong tubuh Bara agar menjauh darinya. Namun, keduanya segera di tahan oleh salah satu tangan Bara.     Makaila semakin menangis keras saat merasakan kedua buah dadanya tengah disentuh dan diremas dengan gerakan sensual. Makaila berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Jika saat ini dirinya jatuh tak sadarkan diri, Makaila tidak bisa membayangkan apa yang dilakukan oleh Bara yang terlihat tengah sangat marah saat ini. Napas Makaila mulai terasa sesak saat Bara masih saja mengulum bibirnya dengan sensual. Bara yang menyadari hal itu melepaskan ciumannya dan menatap tajam Makaila menggunakan kedua netranya yang kelam serta menyorot dingin.     “Apa kau pikir aku adalah orang bodoh? Kau berniat untuk mengungkapkan identitasku pada Psikiater itu, bukan?” tanya Bara tajam membuat Makaila semakin tidak bisa menghentikan isak tangisnya.     Bara menunduk dan mencium jejak air mata yang mengalir di kedua pipi Makaila. Ciuman tersebut tentu saja meninggakan jejak panas di kedua pipi Makaila yang jelas memucat karena merasa begitu takut dengan apa yang saat ini tengah terjadi padanya. “Bukankah aku sudah lebih dari cukup memperingatkanmu untuk berhati-hati dan tidak mengungkapkan jati diriku pada siapa pun? Kenapa kau masih saja tidak mau mendengarkan apa yang aku katakan? Jika sudah seperti ini, aku sama sekali tidak memiliki pilihan lain selain memberikan hukuman padamu,” ucap Bara sembari menjauhkan wajahnya dari Makaila, tetapi masih dengan tubuhnya yang menghimpit tubuh Makaila di dinding.     “Maaf, tolong maafkan a—kyaa!!” jerit Makaila saat Bara tanpa berkedip merobek gaun yang dikenakan oleh Makaila menjadi dua bagian. Saat ini, bagian depan tubuh Makaila terlihat dengan jelas.     Sepasang pakaian dalam manis berwarna biru muda menyapa penglihatan Bara saat itu juga. Tentu saja Makaila histeris dan segera berontak dengan ganasnya. Hanya saja, Bara semakin menghimpit tubuh Makaila ke dinding agar Makaila tidak bisa bergerak sama sekali. Salah satu tangan Bara yang memang bebas, ia ulurkan untuk merambati perut datar Makaila lalu berakhir pada buah d**a Makaila yang masih tertutupi cup bra yang tidak terlalu besar bagi gadis seusia Makaila. Namun, Bara rupanya tidak merasa kecewa dengan bentuk dan ukuran tersebut. Bara malah memuji, “Menggemaskan.”     Bara pun berusaha untuk menyusupkan tangannya pada cup bra tersebut, dan saat itulah Makaila yang menyadari hal tersebut tidak bisa menahan diri untuk menangis begitu histeris serta berontak dengan gila-gilaan. Bara yang menghadapinya bahkan kesulitan untuk membuat Makaila tenang. Bara melepaskan tangannya dari d**a Makaila dan mencoba menahan bahu gadis satu itu, Bara jelas kesal dan menggeram. Baru saja Bara akan menyemburkan kata-kata penuh ancaman pada Makaila, gadis berparas ayu tersebut sudah kembali lunglai dalam pelukan Bara.     Kali ini, Bara menatap tajam wajah Makaila yang ia cengkram rahangnya. Tentu saja Bara kesal karena Makaila sudah jatuh tak sadarkan diri, bahkan saat dirinya belum memulai acara utama. Namun, Bara pun menyeringai dan berbisik, “Aku akan melepaskanmu untuk saat ini. Aku akan membuatmu terbiasa dengan hal ini, dan terbiasa dengan bermain gairah. Saat kau sudah terbiasa, saat itu pula aku akan menarikmu tenggelam dalam permainan ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN