Bayang-Bayang
Edelia mengusap kening putrinya yang berkeringat dingin. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu mendesah dan menatap netra indah milik putrinya yang kini tengah mengatur napasnya yang memburu. “Kamu tidak apa-apa? Apa perlu Mama menghubungi Yafas untuk memberikan konseling melalui sambungan telepon, atau lebih baik Mama panggil dia untuk datang dan memberikan konseling secara langsung?” tanya Edelia tidak bisa menyembunyikan rasa cemas yang ia rasakan.
Selama dua tahun ini, Edelia memang bergelut dengan perasaan cemas mengenai kondisi putrinya ini. Alasannya tentu saja berkaitan dengan putrinya yang bernama Makaila Dalila Analise. Putrinya yang tumbuh cantik, cerdas, dan periang tersebut menjadi putri kebanggaan baginya. Sejak kecil, Edelia selalu meninggalkan Makaila dalam pengasuhan orang kepercayaannya, selagi dirinya bekerja. Namun, tidak berarti Edelia tidak menyayangi dan tidak mengikuti tumbuh kembangnya. Edelia sangat bangga karena mengetahui Makaila memang tumbuh menjadi seorang gadis yang berbakat dalam beberapa bidang kehidupan.
Hanya saja, setelah Makaila remaja, Makaila yang sudah bisa ditinggal sendiri di apartemen, mengalami kejadian buruk. Makaila yang pulang dari sekolah, rupanya melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Makaila melihat pembunuhan. Ya, Makaila menjadi saksi dalam tindakan pembunuhan. Karena itulah, Makaila mengalami trauma sosial. Setelah kejadian itu, Makaila tidak mau melanjutkan sekolahnya. Edelia tentu saja tidak memaksa karena mengerti dengan kondisi putrinya yang masih tidak stabil. Ia memilih untuk fokus membantu Makaila untuk menyembuhkan traumanya tersebut.
Makaila yang mendengar pertanyaan yang diajukan oleh ibunya tersenyum dengan manisnya. Makaila memang memiliki paras ayu seperti ibunya yang memang memiliki darah Indonesia asli. Wajahnya yang ayu tersebut di bingkai oleh helaian rambut lebat dan panjang sewarna arang. Tentu saja, dengan penampilan tersebut, Makaila bisa menjadi primadona di kampus, jika dirinya memang melanjutkan pendidikannya. Usia Makaila tahun ini memang sudah menginjak usia dua puluh tahun. Usia yang tepat di mana harusnya ia sudah menjadi seorang mahasiswi.
Namun, karena insiden di masa lalu, Makaila berhenti sekolah tepat saat dirinya akan mengikuti ujian negara. Makaila harus fokus pada proses penyembuhan psikisnya yang memang agak terguncang dengan apa yang sudah ia lihat. Atas semua konsultasi yang sudah Makaila lalui, tahun ini Makaila sudah memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Tentu saja, Makaila tetap memilih untuk melanjutkan pendidikan di apartemen di mana dirinya tinggal.
“Mama tidak perlu cemas. Kaila hanya agak tegang dengan pertemuan pertama dengan guru baru Kaila nanti,” ucap Makaila mencoba untuk menenangkan mamanya yang memang lebih protektif setelah kejadian di mana dirinya trauma berat hingga tidak bisa mengendalikan diri beberapa tahun ke belakang.
Edelia yang mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya hanya bisa mendesah dan mengangguk. Ia pun memilih untuk menyisir helaian rambut lebat Makaila dan mengepangnya dengan cantik. Seperti yang dikatakan oleh Makaila, hari ini dirinya memang akan mengenalkan Makaila denga guru privat yang akan mengajar Makaila dalam homeschooling nantinya. Tentu saja, Edelia sudah mencari guru paling kompeten dan bertanggung jawab atas tugas yang ia berikan. Bahkan, Edelia tidak segan-segan untuk menghabiskan puluhan juta tiap bulannya untuk menyewa guru yang memang sudah sangat berpengalaman itu.
Saat ini, Edelia hanya bisa berharap, jika Makaila dan sang guru yang sudah dipersiapkan olehnya itu bisa cocok. Sebenarnya, Edelia masih harap-harap cemas. Ia tahu, jika Makaila sangat tidak nyaman, bahkan bisa berubah sesak napas saat bertemu atau berdekatan dengan orang asing. Jadi, tentu saja bertemu dengan guru privat ini adalah sebuah hal yang harus sangat diperhatikan oleh Edelia, mengingat trauma yang diderita oleh putrinya ini. Bahkan, untuk menyiapkan hal ini, Edelia sudah meminta cuti selama dua hari pada perusahaan di mana dirinya bekerja. Namun, sampai saat ini Edeli masih saja merasa cemas. Apa keputusannya ini memang tepat?
Makaila yang menyadari kecemasan mamanya kembali tersenyum saat melihat wajah cemas Edelia dari pantulan cermin rias di kamarnya. Makaila berbalik dan menyentuh kedua tangan Edelia yang sebelumnya tengah tenggelam dalam lamunannya. “Mama tidak perlu cemas. Bukankah Yafas mengatakan jika ini adalah keputusan baik untuk menjadi penyembuhanku? Lagi pula, apa yang Mama cemaskan? Guru yang akan datang nanti adalah guru yang sangat kompeten dan berpengalaman bukan? Mama pasti mencarikan guru terbaik untukku, jadi Mama tidak perlu cemas. Nanti, Makaila malah akan merasa semakin gugup,” ucap Makaila.
Edelia tersenyum dan menyentuh wajah putrinya. “Maafkan Mama yang malah membuatmu semakin gugup ya,” ucap Edelia.
Makaila tersenyum semakin lebar dan mengangguk. Setelah itu, Edelia kembali mengatur rambut Makaila serta mengikatnya menggunakan pita rambut cantik yang senada dengan gaun rumahan yang digunakan oleh putrinya tersebut. Makaila memang gadis anggun yang tentu saja memiliki karakter lembut. Dulu Makaila adalah gadis ramah dan ceria yang tentu saja memiliki banyak teman. Hanya saja, setelah kejadian traumatis yang ia alami, Makaila tidak lagi bisa bertindak seceria sebelumnya.
Selalu ada dinding pembatas yang membatasi tindakannya. Saat ini, Makaila juga sudah tidak memiliki teman karena dirinya sudah memutuskan kontak dengan teman-teman sekolah dan pindah sejauh mungkin dari tempat tinggalnya dulu. Setidaknya, hal itu bisa membuat Makaila sedikit lebih tenang karena merasa sang pembunuh yang masih belum bisa ditangkap oleh pihak berwajib itu, tidak akan lagi bisa menemukan keberadaannya.
“Nah, sekarang sudah selesai. Ayo kita ke ruang tamu. Sebentar lagi, gurumu pasti akan tiba,” ucap Edelia dengan nada antusias. Tentu saja, ia harus menutupi rasa cemas yang ia rasakan. Ia tidak mau sampai Makaila merasa gugup dan berakhir menjadi kesulitan bernapas karena tekanan yang ia rasakan. Sebisa mungkin, Edelia harus memberikan kekuatan pada putrinya yang sudah berani untuk melangkah maju dan meninggalkan trauma yang membelenggunya selama ini.
Edelia membawa Makaila untuk duduk di ruang tamu. Makalia bergerak untuk menyalakan televisi, sementara Edelia masuk ke dapur untuk menyiapka camilan serta minuman yang akan ia sajikan saat guru Makalia datang nantinya. Tak membutuhkan waktu lama, suara bel pintu terdengar. Makaila sama sekali tidak bergerak dari hadapan televisi, gadis cantik berusia dua puluh tahun itu masih saja asyik menonton acara televisi kesayangannya. Edelia yang melihat hal itu tidak bisa menahan diri untuk tersenyum sembari melangkah menuju pintu apartemen.
Edelia membukakan pintu dan tersenyum pada sosok tinggi yang berdiri di hadapannya. Sosok itu hanya tersenyum tipis dan berkata, “Selamat pagi Nyonya Edelia.”
“Pagi. Ah, apa sulit mencari alamatku ini?” tanya Edelia balik sembari mempersilakan sosok tinggi tersebut untuk masuk ke dalam apartemennya.
Sosok tinggi yang tak lain adalah guru yang akan Edelia perkenalkan pada putrinya itu menggeleng pelan. “Tidak, bangunan ini berada di tempat strategis hingga membuatku mudah menemukannya,” ucapnya lalu mengedarkan pandangannya pada ruang apartemen yang cukup luas ini, dari balik kacamata yang ia kenakan.
Pandangan tersebut berhenti pada sosok Makaila yang memang masih sibuk dengan acara televisi yang ia lihat. Edelia yang menyadari hal itu melangkah untuk mendekati Makaila dan menyentuh bahu Makaila lembut. “Sayang, gurumu sudah datang. Ayo berdiri dan beri salam padanya,” ucap Edelia.
Makaila tentu saja menurut. Ia merapikan dirinya sendiri sebelum berdiri dibantu oleh ibunya. Namun, begitu melihat sosok berpakaian rapi dan mengenakan kacamata di hadapannya, Makaila yang sebelumnya tersenyum semringah tampak memucat serta menyurutkan senyumnya. Namun, Edelia tidak melihat hal tersebut karena dirinya sudah menatap sosok guru privat Makaila. Ia berkata, “Ini putriku, Makaila.”
Pria tampan yang ke depannya akan menjadi guru Makaila tersebut mengangguk dan melirik Makaila sebelum berkata ramah, “Halo Makaila, perkenalkan aku Bara Sarkara Treffen. Kedepannya, mari kita bekerja sama demi kenyamanan bersama.”
Namun, Makaila yang kini bertatapan dengan Bara sama sekali tidak menemukan kesan ramah pada tatapan yang diberikan oleh sosok guru tampan itu. Kini, Makaila merasakan udara disekitarnya terasa begitu menekan, dan mencekik lehernya dengan kuat. Hal itu membuat Makalia tidak bisa bernapas dengan benar, dan pada akhirnya merasa sesak napas yang menyiksa. Edelia yang menyadari hal tersebut merasa panik, dan berusaha untuk menenangkah Makalia. Hanya saja, itu sudah terlambat. Makaila sudah terlanjur jatuh tak sadarkan diri, dalam bayang-bayang mengerikan di mana dirinya seakan-akan kembali melihat kejadian pembunuhan dua tahun yang lalu.