Firasat

1184 Kata
    “Sayang, kamu sangat hebat. Mama bangga padamu,” puji Edelia pada Makaila untuk kesekian kalinya. Tentu saja Edelia bangga karena Makaila sedikit demi sedikit sudah bisa terlepas dari bayang-bayang trauma yang selama ini membuatnya menutup diri.     Makaila berusaha untuk memasang senyum paling normal yang bisa ia sugguhkan pada ibunya. Hari ini, Edelia tidak akan lagi menemaninya dalam proses belajar, karena Edelia memang sudah tidak lagi memiliki jatah cuti. Jatah cuti Edelia tahun ini sudah habis, dan ke depannya Edelia tidak bisa lagi mendapatkan cuti dari kantornya. Karena itulah, Makaila berusaha untuk tidak membuat Edelia kembali cemas dan malah membuat mamanya itu mendapatkan masalah lagi di tempat kerjanya. Sudah cukup selama ini Makaila membuat mamanya itu repot dan sudah saatnya Makaila berusaha menangani masalahnya sendiri. Walaupun, Makaila sendiri tidak yakin apa dirinya memang bisa menangani masalahnya ini.     Edelia kembali menanamkan sebuah kecupan pada kening Makaila. “Sayang, jangan memaksakan diri. Jika nanti ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, jangan berpikir dua kali untuk mengatakannya pada gurumu. Ah, jangan sungkan untuk menghubungi Mama atau Yafas,” ucap Edelia. Tentu saja, Edelia sendiri merasa sedikit cemas meninggalkan Makaila sendirian di rumah. Walaupun biasanya Edelia memang meninggalkan Makaila sendiri di apartemen, tetapi hari ini jelas berbeda karena nanti Makaila akan menjalani sesi homeschooling dengan Bara. Bukannya Edelia tidak percaya pada Bara, tetapi lebih kepada jika dirinya cemas bahwa Makaila akan kembali tidak sadarkan diri karena serangan panik.     “Mama tidak perlu cemas, Kaila baik-baik saja,” ucap Makaila sembari mencoba meyakinkan dirinya sendiri jika memang dirinya akan baik-baik saja saat ditinggalkan dengan Bara nantinya. Namun, seberapa pun dirinya berusaha untuk meyakinkan diri, Makaila tidak bisa merasa jika dirinya memang akan baik-baik saja. Entah kenapa, Makaila merasa jika ada hal buruk yang terjadi.     Edelia mengangguk dan kembali menanamkan sebuah kecupan pada kening Makaila. “Ingat nikmati waktumu, tidak perlu cemas mengenai apa pun. Gedung ini aman, tidak akan ada yang bisa masuk secara sembarangan dan melukaimu. Mama berangkat dulu, ya,” ucap Edelia lalu melenggang pergi meninggalkan Makaila yang mulai bergetar ketakutan. Tentu saja Makaila merasa takut karena beberapa jam ke depan dirinya akan bertemu dengan Bara. Si penjahat yang memiliki akal bulus dan bisa meloloskan diri dari jeratan hukum.     Harus seperti apa dirinya menghadapi Bara nanti? Sudah dipastikan, karena tidak ada ibunya, Bara akan bertindak sesuka hatinya. Jujur saja, Makaila takut jika dirinya dilukai oleh Bara. Rasanya, Makaila ingin sekali melaporkan pada pihak berwajib jika pembunuh yang selama dua tahun mereka cari ada di dekatnya. Namun, Makaila rasa percuma saja. Padahal, sebelumnya lebih tepatnya pada dua tahun yang lalu, Makaila sudah melaporkan kejadian tersebut bahkan membantu untuk membuat sketsa wajah Bara, tetapi sampai saat ini Bara masih bebas berkeliaran tanpa bersusah payah menyembunyikan wajahnya. Bukankah itu sangat janggal? Apa mungkin yang dikatakan oleh Bara memang benar? Mengenai dirinya yang memang memiliki kuasa yang bahkan bisa membuat hukum sekali pun tunduk padanya?     Lalu, apa yang harus Makaila lakukan? Makaila melirik jam dinding. Ini masih jam tujuh lebih lima belas menit, masih ada waktu sekitar dua jam, sebelum Bara datang. Tentu saja Bara datang dengan dalih sebagai guru privat baginya, tapi itu saat ibunya ada di sini dan mengawasi proses belajar mengajar. Namun, ketika ibunya tida ada, Makaila sendiri tidak yakin jika dirinya memang akan mendapatkan seorang guru yang mengajarinya, mungkin Makaila hanya akan bertemu dengan penjahat yang memberikan ancaman demi ancaman serta tekanan yang jelas membuat Makaila sangat ketakutan.     Makaila hampir saja memekik saat tiba-tiba dirinya mendengar suara bel apartemennya. Makaila bangkit dari duduknya dengan kening mengernyit dalam. Ia bertanya, siapa yang bertamu? Biasanya, apartemennya ini sama sekali tidak mendapatkan tamu. Jika pun ada yang datang, biasanya itu adalah kurir barang atau kurir makanan pesan antar. Namun, kali ini Makaila sama sekali tidak merasa sudah memesan barang atau makanan, hingga memungkinkan orang yang menekan bel saat ini adalah kurir barang atau kurir makanan pesan antar. Makaila melangkah menuju pintu apartemennya, berniat untuk mengintip siapa tamu tersebut.     Hanya saja, belum juga dirinya membuka pintu, Makaila dikejutkan dengan bunyi password pintu yang ditekan. Tentunya, Makaila dengan mudah menyimpulkan jika itu adalah ibunya. Siapa lagi yang tahu password pintu apartemen selain dirinya dan ibunya. Namun, Makaila merasakan ada hal yang janggal. Jika benar yang tengah mencoba membuka pintu adalah ibunya, kenapa dirinya malah repot-repot menekan bel? Sayangnya, Makaila sangat terlambat menyadari apa yang hal janggal tersebut. Makaila tersentak dan hampir jatuh terduduk saat melihat sosok yang kini memasuki apartemen tempatnya tinggal.     “Ka-Kamu? Kenapa kamu bisa masuk?” tanya Makaila sembari terus mundur menghindari sosok penuh intimidasi yang kini tengah mengikis jarak antara dirinya dan Makaila. Tentu saja, Makaila merasa gugup sekaligus panic dengan jarak yang terus terkikis meskipun dirinya berusaha untuk mempertahankan jarak agar, demi mempertahankan keamanannya yang sebenarnya perlu dipertanyakan. Sejujurnya, kini Makaila merasakan lututnya agak melemas, di tambah sepanjang kakinya yang bergetar pelan.     “Tentu saja aku bisa masuk dengan mudah karena aku tahu password pintu apartemenmu,” jawab Bara dengan seringai tajam. Ya, sosok yang baru saja memasuki apartemen Makaila dengan mulus adalah Bara. Si pria yang jelas dicap sebagai pria jahat oleh Makaila.     “Ma-Maksudku bukan i—”     Makaila tidak bisa melanjutkan perkataannya saat  Bara tiba-tiba sudah berada di hadapannya dan mencengkram rahangnya dengan cukup kuar, cukup untuk membuat Makaila meringis merasakan sakitnya. “Aku rasa, posisimu saat ini sama sekali tidak memungkinkan untuk menanyakan banyak kepadaku. Aku rasa, karena dirimu cerdas, kamu akan mengerti dengan apa yang harus kau kau lakukan saat ini,” ucap Bara tajam lalu melepaskan cengkramannya sebelum melangkah menuju dapur dan duduk di meja makan.     Tentu saja Makalia mengikutinya dengan takut-takut. Bara mengamati Makaila yang tampak anggun dengan gaun rumahan serta rambut hitamnya yang tebal tergerai begitu saja di punggungnya. Wajahnya yang ayu, juga terlihat polos tanpa polesan riasan sedikit pun. Namun, Makaila sama sekali tidak terlihat aneh atau buruk. Makaila malah terlihat cantik dengan pesonanya sendiri. Bara memberikan isyarat memerintahkan Makaila untuk duduk di kursi yang berada di dekatnya. Makaila menurut dan duduk di sana.     “Aku memutuskan untuk memajukan jam belajarmu. Tapi, kau yang harus mengatakan pada ibumu, jika kau yang meminta perubahan jam serta rentang waktu belajar yang diperpanjang,” ucap Bara lancar seakan-akan dirinya memang sudah memikirkan hal tersebut sejak lama.     Makaila tentu saja enggan memperbanyak jam belajar dengan Bara. Karena itu artinya Makaila akan menghabiskan lebih banyak waktu dengan Bara. Tentu saja, Makaila tidak mau itu terjadi. Bahkan, saat ini saja Makaila sudah sangat ingin mengusir Bara dari rumahnya. Namun, Makaila sadar jika dirinya tidak bisa melakukan apa yang ia pikirkan. Ia juga tidak bisa menolak apa yang sudah dikatakan oleh Bara, karena Makaila yakin itu pasti akan menjadi pemantik kemarahan Bara. Makaila pun pada akhirnya mengangguk dan berkata, “I-Iya, aku akan mengatakannya pada Mama.”     Bara mengangguk puas dan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja makan. Ia menatap tajam pada Makaila dan berkata, “Kalau begitu bagaimana kalau kita mulai jam pelajarannya?”     Mendengar hal itu, Makaila mengangkat pandangannya yang semula tertuju pada kedua tangannya yang terjalin di atas pangkuannya. Namun, seketika tubuh Makaila bergetar hebat saat merasakan aura menyeramkan yang menyeramkan dari Bara. Ditambah dengan seringai yang ditunjukkan oleh Bara. Meskipun masih saja terlihat tampan meskipun memasang seringai semacam itu, tetapi Makaila tetap merasa jika seringai itu terlalu mengeringkan baginya. Akibatnya, saat ini Makaila tidak bisa menahan diri untuk merasakan firasat buruk. Ya, Makaila merasa jika aka nada hal buruk yang terjadi padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN