Bara tersenyum saat dirinya kini duduk berhadapan dengan Makaila yang tampak menunduk dalam. Ternyata, Makaila memutuskan untuk bungkam dan tidak mengatakan pada ibunya perihal Bara yang tak lain adalah seorang pembunuh yang aksinya membuat Makaila mengalami trauma berat. Tentu saja Bara merasa puas dengan keputusan yang diambil oleh Makaila ini. Namun, Bara tentunya tidak melupakan sandiwara apa tengah ia perankan. Apalagi saat ini, Edelia ternyata mengawasi bagaimana cara mengajar Bara. Ini memang proses belajar mengajar pertama bagi Bara dan Makaila.
Edelia sengaja kembali memperpanjang cutinya agar bisa mengawasi proses belajar Makaila. Serta memastikan apakah Bara memang sesuai dengan apa yang ia dengar dari pihak penyalur tenaga pendidikan. Bara tentu saja menyadari apa yang dipikirkan oleh Edelia, dan tentu saja dirinya sama sekali tidak merasa terkejut atau merasa panik. Karena Bara memang sudah memperkirakan apa yang akan terjadi, dan perkiraan Bara tepat sekali. Buktinya, saat ini saja Edelia tengah mengawasinya yang memang tengah mengulang beberapa pelajaran dasar sewaktu sekolah menengah atas yang memang terlupakan oleh Makaila yang sudah dua tahun absen dari kegiatan belajar.
Edelia tentu saja merasa puas dengan apa yang dilakukan oleh Bara. Ia juga merasa bangga dengan Makaila yang sudah berani dan tetap melanjutkan untuk mau belajar, meskipun kemarin dirinya sempat pingsan karena merasa terkejut dan panik dengan pertemuan pertamanya dengan Bara. Makaila dan Bara kini tengah berada di dalam kamar Makaila yang memang cukup luas dan nyaman untuk dijadikan tempat belajar. Keduanya duduk lesehan dengan sebuah meja rendah yang bisa digunakan tempat belajar yang nyaman bagi Makaila. Merasa jika dirinya tidak perlu mengawasi lagi, Edelia bangkit dan berkata, “Lanjutkan acara belajarnya. Mama ke dapur dulu ya, Mama mau menyiapkan buah potong untuk camilanmu dan Pak Bara.”
“Tidak perlu repot-repo,” ucap Bara dengan nada ramah dan senyum tipis khas dirinya. Senyuman yang Edelia yakin sudah berhasil membuat puluhan bahkan ratusan wanita jatuh hati padanya. Visual Bara memang tidak perlu diragukan lagi.
Namun, Edelia yang mendengar perkataan itu tertawa dan berkata, “Tentu saja sama sekali tidak merepotkan. Tidak perlu khawatir.”
Lalu, Edelia pun ke luar dari kamar putrinya dan menutup pintu rapat-rapat. Saat itulah, Makaila merasakan hawa dingin yang mencekam. Ia juga merasakan tekanan rasa takut yang semakin menjadi saja dari waktu ke waktu. Sementara itu, Bara kini memainkan bolpoin mahal yang ia pegang. Tentu saja, Bara bisa dengan mudah membaca apa yang tengah dipikirkan dan apa yang tengah dirasakan oleh gadis di hadapannya ini. Perlu dua tahun penuh, Bara menyiapkan segala hal guna bertemu dan menjebak gadis ini agar tidak lagi bisa melarikan diri darinya. Bukan karena Bara atau anak buahnya kurang berkemampuan untuk melakukan hal tersebut. Namun, Bara memang menyiapkannya sematang mungkin, dan menentukan waktu yang paling tepat untuk melakukan semua rencananya.
Satu bulan yang lalu
Bara duduk di sebuah kursi yang berada tepat di samping jendela usang. Berbeda dengan setelah kesehariannya yang selalu mengenakan setelan jas atau kemeja formal, dirinya kini menggunakan jakel kulit berwarna hitam, serta celana jins yang senada. Rambutnya yang biasanya tertata rapi, dan tidak diijinkan untuk ke luar dari barisannya, kini dibiarkan begitu saja dengan beberapa helai yang jatuh di atas keningnya. Namun, tampilannya yang tampan sama sekali tidak berkurang. Ia malah seakan-akan membawa pesona yang berbeda daripada saat dirinya mengenakan setelah formal.
Tentu saja berbeda. Saat dirinya mengenakan setelah formal, Bara jelas terlihat begitu berwibawa dengan kerampanan selayaknya aristrokat yang berpendidikan dan berkelas. Namun, ketika dirinya mengenakan setelah kasual yangn terkesan serampangan, Bara membawa pesona seorang berandalan yang tidak kenal aturan. Bara terlihat bebas, tetapi membawa tekanan yang lebih kuat daripada saat dirinya mengenakan setelan kasual.
Bara mengamati lalu lalang pejalan kaki yang memang berjalan di trotoar di hadapang bangunan usang yang saat ini tengah ia singgahi. Bara melirik pada seorang pria yang kini sudah berdiri di sampingnya. Bara pun bertanya, “Apa kamu sudah menyiapkan semua yang aku minta?”
Sosok pria bernama Fabian tersebut mengangguk dan menyerahkan sebuah amplop cokelat pada Bara. Tentu saja Bara menerimanya dan tanpa permisi membukanya dan mengeluarkan apa yang menjadi isinya. Ternyata, ada puluhan lembar kertas yang berisi data diri dan beberapa hal yang berkaitan dengan sosok yang memang selama dua tahun ini selali diawasi oleh Bara. “Sepertinya, apa yang Bos perkirakan memang benar. Bulan kemarin, psikater yang menangani gadis itu mengonfirmasi jika ia bisa berinteraksi dengan orang asing. Karena itulah, ibunya sudah mulai mencari guru privat untuk putrinya yang memang ingin melajutkan pendidikannya secara homeschooling,” jelas Fabian saat Bara sibuk membaca apa yang tertulis di atas kertas.
“Apa dia tidak lagi berusaha pindah?” tanya Bara saat menatap alamat di mana sosok yang ia targetkan tinggal.
"Tidak Bos. Sepertinya, dia memang sudah merasa yakin jika dirinya tidak akan pernah ditemukan,” jawab Fabian yakin. Tentu saja, Fabian merasa yakin karena dirinya sendiri sudah mengawasi sosok itu sejak lama.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Fabian, Bara pun tidak bisa menahan diri untuk meledakkan tawanya. Tawannya yang keras bergema di ruangan tua yang jelas usang dan agak mengerikan tersebut. Di tambah dengan suasana remang-remang, lengkaplah sudah nilai mengerikan ruangan tersebut. Namun, Fabian sama sekali tidak merasa jika hal itu perlu untuk dirasa mengerikan. Fabian sudah menyaksikan tingkah Bara yang lebih mengerikan daripada ini, dan tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan suasana mengerikan yang saat ini tengah menguar memenuhi ruangan tua ini.
Bara menatap tajam potret sosok cantik yang terlihat tengah menonton acara yang tengah ditayangkan di layar televisi. Sebagai seseorang yang ahli dalam bidang pengintaian, dan dunia bayang-bayang, Bara jelas tahu jika potret tersebut di ambil dari sisi gedung yang berhadapan dengan gedung di mana si gadis ini tinggal. Bara pun menyeringai tajam. “Bodoh, kau sungguh bodoh Makaila. Kau pikir, aku akan melepaskanmu setelah kau melihat apa yang seharusnya tidak boleh kau lihat? Bangunlah dari mimpimu, karena mimpi burukmu yang sesungguhnya baru saja akan datang,” bisik Bara mengerikan.
Bara menyeringai dan berbisik pada Makaila yang kini tampak begitu ketakutan di hadapannya, “Jangan menunjukkan rasa takutmu ini di hadapan ibumu. Karena jika sampai dirinya curiga, dan membuatku tidak lagi menjadi guru privatmu, aku akan pastikan jika ada kepala yang hancur saat itu juga.”
Bertepatan setelah Bara mengucapkan hal tersebut, Makaila mengangkat wajahnya yang semula menunduk, karena mendengar suara pintu yang terbuka. Tentu saja, itu adalah Edelia yang membawakan camilan untuknya dan Bara. Edelia tersenyum melihat putrinya yang terlihat sudah tidak terlalu takut atau panic saat berhadapan dengan orang asing. Tentunya Edeli merasa bersyukur dan merasa keputusannnya memilih Bara untuk menjadi guru privat bagi Makaila adalah keputusan yang sangat tepat. Edelia memunggungi Bara ketika dirinya menyajikan camilan dan minuman.
“Wah, sepertinya Makaila cukup menyukai Pak Bara. Lihatlah, Makaila bahkan tidak terlihat panic atau gugup,” ucap Edelia sembari menyusun camilan di sisi meja yang memang tidak digunakan untuk menyimpan buku.
Edelia terus saja mengocehkan pujian sampai tidak sadar, jika kini Bara tengah menodongkan moncong senjat api di belakang kepanya. Namun, Makaila yang berada di seberang Bara tentu saja bisa melihat hal itu dengan jelas. Seketika wajah Makaila pucat pasi. Bara benar-benar mengerikan, dan sudah dipastikan jika Bara memang penjahat kelas kakap yang bahkan tidak merasa canggung serta merasa takut walaupun dirinya membawa senjata api seperti itu ke mana pun dirinya pergi. Makaila mulai bergetar ketakutan. Bara yang melihat hal itu menyeringai dan memberikan isyarat dengan jari telunjuknya untuk bungkam.
Bara pun menggerakkan bibirnya dan berbisik tanpa suara, “Diam, dan ibumu akan selamat.”