EMPAT

1185 Kata
Happy Reading and Enjoy Hampir satu bulan ini aku meyakinkan Mama beserta keluarga besar kami, bahwa aku akan baik-baik saja jika Amel akan menikah terlebih dahulu dari pada aku, walaupun lambe nyinyir para tetangga mulai terdengar seperti suara lebah yang berdengung. Aku okey dengan semuanya, dan kenapa juga orang lain yang harus repot memikirkan jodohku yang tak kunjung datang. Tolong, jangan hanya bisa bertanya ‘dimana jodohmu?’, atau ‘kapan menikah’. Bawakan padaku pria baik-baik yang bisa bertanggung jawab dan pekerja keras agar kalian juga berhenti bertanya hal yang sama setiap harinya.   Malam ini keluarga besar Jeremy datang ke rumah kecil kami, mereka sudah datang sejak tadi pagi dan memilih menginap disalah satu hotel yang cukup jauh dari rumahku yang ada di kampung. Karena memang kampung halamanku itu cukup jauh dari kota walaupun masih bisa diakses dengan mobil. Sanak saudara mulai ribut masak sana sini, karena memang setelah sekian lama tidak ada acara keluarga seperti ini akhirnya akan ada hajatan yang akan digelar. Aku sedang bermain dengan Dafa yang sejak aku datang kemarin sudah mengekoriku kemanapun. “Dafa jangan ikutin tante Giana terus, Tante mau masak bantuin budhe itu” tegur mbak Anita, ibu dari Dafa. Dafa cemberut lalu melipat tangannya diatas dadanya, membuatnya tampak menggemaskan. Dafa duduk di sofa yang sudah disingkirkan sejenak tadi pagi karena memang keluarga besarku yang memiliki rumah cukup jauh dari sini akan datang semua dan jika duduk disofa tidak akan muat. Di kampung, aku selalu dipanggil Giana, Katanya aneh kalau dipanggil Gigi. “Udah sana bobok siang dulu, nanti om Jeremy dateng loh” bujukku padanya. Mata Dafa langsung berbinar senang, selain dekat denganku, Dafa selalu senang jika Jeremy berkunjung walau hanya beberapa kali, sementara Amel sangat anti dengan Dafa karena sejak dulu Dafa begitu nakal, dan mungkin itu cara bocah kecil itu untuk menarik perhatian adikku itu, sayang sekali Dafa semakin dijauhi oleh Amel karena dianggap mengganggu. Malam ini, acara lamaran resmi Jeremy-Amel dan semoga berjalan dengan lancar. Papa sudah tiba sejak satu jam yang lalu ketika aku telfon. Dan seperti keluarga Jeremy, Papa menginap di Hotel karena memang tidak enak dengan keluarga dan tetangga sekitar. “Serius tante?” tanyanya dengan riang, dan langsung ku jawab anggukan. Dafa langsung menarik tangan ibunya, meminta agar ditemani tidur. Dia sudah besar namun Dafa yang memang dimanjakan sejak kecil dan dia tidak menjadi dewasa karenanya. Dafa adalah cucu laki-laki satu-satunya sejauh ini, karena dari semua cucu dan buyut eyang’ku semuanya perempuan, kecuali Dafa. Eyang putri duduk sembari berbincang dengan Amel, tak sepertiku yang tidak terlalu dekat dengan Eyang, Amel selalu menempel pada Eyang putri jika pulang kampung, mungkin karena memang sejak kami kecil, kami tinggal bersama dengan eyang putri dan almarhum eyang kakung hingga kami kuliah ke luar kota dan sudah bisa mencari uang masing-masing. Aku langsung berjalan menuju dapur setelah Dafa pergi, membantu Mama yang tampaknya sudah menyelesaikan pembuatan makanan ringan untuk dihidangkan malam ini. “Mau bikin apa ma?” tanyaku pada Mama yang sibuk memotong bahan yang akan digunakan untuk memasak hidangan utama. “Bikin Rendang, kenapa?” Tanya Mama. “Nggak papa” jawabku seraya berlalu menuju Budhe yang sejak tadi sudah berkutat di dapur kotor, masih memakai tunggu dan kayu sebagai bahan bakarnya. Aku melihat budhe tengah memasukkan potongan ayam pada kuali yang sudah ada bumbu rempahnya, direndam sampai bumbu-bumbu meresap. Jujur saja, aku tidak terlalu paham kalau masak. Aku bisa masak, tapi hanya makanan sederhana. Kalaupun masak daging-dagingan itu hanya dengan bumbu-bumbu yang aku tau, dan tersedia, mudah didapat dan mudah diingat. “Kak” panggil Amel seraya membawa phonselku yang berdering. Dia menyerahkannya tanpa mengatakan apapun dan kembali bersama Eyang putri, Amel berbeda denganku yang cukup bisa masak. Dia bisa dibilang tidak bisa masak sama sekali, kecuali masak air, mie, telor, sama nasi. Tapi Jeremy bisa menerima kekurangan itu. “Kan bisa belajar, Kak” kata Jeremy kala itu, ketika Jeremy pertama kali mengatakan kalau pria itu akan menjalin hubungan yang serius dengan adikku satu-satunya. Kenapa aku? Karena sejak Amel kuliah, dia tinggal bersamaku dan akulah yang memantau kesehariaannya, pergaulannya, dan menyeleksi para pria yang mencoba mendekatinya. Aku sih oke saja kalau mereka saling menerima kekurangan satu sama lain, toh Jeremy bukan dari kalangan yang kurang mampu yang tidak bisa menyewa asisten rumah tangga untuk bantu-bantu nantinya. “Selamat siang” sapaku seraya keluar ke teras rumah. “Duh… Formal banget mbak” aku mendadak tertawa mendengar sindirannya, suaranya terdengar jelas, dan tentu saja aku mengenalnya. “Ngapain lo? Ganti nomor?” tanyaku pada Regina, seorang editor disalah satu perusahaan penerbit yang selama ini menaungiku. “Hape gue ilang mbak, makanya ini kasih tau lo, biar nggak bingung gitu” jawabnya sambil terkekeh pelan. “Ngomong-ngomong, selamat buat lamarannya adek lo mbak, salam aja buat Amel” sambungnya dan langsung ku iyakan. Kami mengobrol singkat tentang project n****+ selanjutnya, tapi karena memang bulan ini aku sibuk sekali karena lamaran ini jadi aku sedikit menunda pengerjaan novelku. Dan… setelah kabar bahwa salah satu model Indonesia akan segera menikah, jadilah yang kurang enaknya berdampak padaku. Followers and subscriber ku langsung memberondongku tentang kapan aku menikah, kenapa aku mau didahului dan bla bla bla, dan mungkin untuk beberapa saat kedepan aku akan menonaktifkan kolom komentar di Instagramku agar aku tak dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. *** Lamaran malam ini berjalan dengan lancar, semuanya terkendali, karena memang kami tidak menggunakan jasa EO. Walau awalnya cangung Karena Papa dan Mama sudah berpisah, namun semuanya mencair seiring berjalannya waktu. Aku sempat mengambil moment tentang prosesi lamaran, wajah tegang Jeremy, wajah Amel yang bersemu dan lain-lainnya, singkat karena mungkin video ini akan aku gabung dengan prosesi pernikahannya nanti. “Selamat, Dek” ujarku sampi mengecup pipi kanan kirinya, aku baru sempat menyampaikan ucapaan selamat untuknya karena sejak tadi dia ditahan oleh Mama Jeremy, mengobrol banyak karena antusias wanita paruh baya itu yang akan menikahkan anak terakhirnya, dan untuk pertama kalinya. Jeremy itu 2 bersaudara, dan sama seperti aku dan Amel. Kakak laki-laki Jeremy juga belum menikah. Tapi aku belum pernah bertemu dengannya, hari ini tidak bisa hadir karena sedang pergi ke luar kota. “Thanks kak” jawabnya dengan senyum lebar. *** Kembali ke rutinitas yang melelahkan namun mengasikkan itu selalu menjadi yang ku rindukan, karena memang pekerjaanku biasanya hanya duduk diam di rumah, sambil memainkan laptop, menulis naskah satu atau dua jam, lalu syuting untuk content youtube’ku 2 hari setelah acara lamaran Jeremy-Amel aku langsung kembali ke Jakarta sedangkan Amel masih berada di kampung halaman kami. Amel menelfon kemarin, katanya Jeremy membeli sebuah apartemen yang akan mereka tempati setelah mereka menikah 2 bulan lagi. Dan katanya apartemen tersebut belum ada isinya sama sekali, sampai aku diminta untuk mengawasi seorang desain interior dan membeli barang-barang yang diperlukan saja. Karena memang Jeremy sedang mengupayakan pembangunan rumah impian mereka segera diselesaikan, dan setelah itu mereka akan menyewakan apartemen tersebut. Begitu katanya.  Jeremy juga sudah mentransfer sejumlah uang untuk membeli perlengkapan yang akan digunakan nantinya, seperti lemari, ranjang, sofa, perlengkapan masak dan lain lain. Jeremy mengirimkanku kontak seseorang, dia mengatakan bahwa ini adalah teman kakaknya, seorang desain interior. “Hallo, selamat siang”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN