Happy Reading and Enjoy
“Hallo, selamat siang” sapa suara bass dari seberang sana, aku tau dia seorang laki laki karena memang sudah diberitahu oleh Jeremy, tapi tak pernah tau kalau suaranya itu seberat itu, membuat otakku membayangkan kalau dia adalah pria sexy.
“Siang, dengan Bapak Reynald Orlando, betul?” tanyaku dengan nada formal.
“Betul, ada yang bisa dibantu?” tanyanya.
“Begini, saya dapat kontak anda dari Jeremy Ardian….”
“Ohh iya, Mbak Gigi yah?” Potongnya.
“Betul pak”
Kami mengobrol sejenak dan menentukan kapan dia ada waktu untuk bisa mengecek apartemen agar pria bernama Reynald itu bisa mengira-ngira ukuran apartemen perlengkapan yang akan dibeli dan kiranya cukup.
Karena memang Jeremy kerjanya tidak pasti dan harus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, jadilah dia menitipkan kunci pada pihak Resepsionis di tower’nya.
Jeremy sudah memberikan pengarahan singkat, gambaran singkat tentang bagaimana penggambaran apartemen yang dia dan Amel inginkan. Dan terpaksa aku harus memberitahu pada Reynald permintaan Jeremy dan Amel. Kenapa sh Jeremy tidak langsung berbicara saja dengan orang itu? Uhhhh….
Kami mengakhiri obrolan setelah menentukan kapan dan dimana kami akan bertemu nanti, dan aku meminta untuk langsung untuk bertemu di apartemen saja, dia mengiyakan.
Reynald tampaknya adalah sosok yang ramah, terdengar dari cara bicaranya, atau memang hanya formalitas saja aku tidak tau. Dan belum ada gambaran seperti apa wajah Reynald karena memang Jeremy tidak menyebutkan spesifikasi orangnya, atau umurnya berapa.
Didengar dari suaranya, mungkin Reynal berusia 30an, yang jelas sudah matang dan dewasa, dan tentu saja mapan jika dilihat dari profesi yang ditekuninya.
***
Aku bergegas menuju Apartemen Jeremy, karena sungguh diluar dugaan kalau hari ini macet, dan aku berangkat dari perusahaan penerbit karena hari ini aku memiliki jadwal untuk membicarakan konsep n****+ yang sekang ku garap.
Sempat ada Demo sampai jalanan macet hampir setengah jam tidak bisa putar arah, dan itu membuatku sedikit kesal dan frustasi. Aku memang sempat mengabari Reynald kalau mungkin aku akan datang terlambat, tapi tetap saja merasa tidak enak karena memberikan kesan buruk diawal pertemuan kami.
Aku menguncir rambutku, tidak menggunakan make up selain sun block, mascara dan lipstick, sedikit berantakan. Sungguh awal yang buruk untuk bertemu orang asing, Huffttt.
Aku meminta kunci pada resepsionis dan sedikit ada kendala karena belum mendapatkan konfirmasi dari Jeremy, aku berada disana lebih lama lagi.
Seseorang menepuk bahuku ketika aku menunggu didepan meja resepsionis.
“Gigi?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Ah… saya Reynald” kalau difilm kartun mungkin akan ada adegan rahang jatuh, karena Reynald jauh dari kata biasa apalagi jelek, namun dia tampak dewasa dengan kemeja yang di kenakannya dengan lengan yang digulung sebatas siku membuatnya tampak lebih tampan dimataku. Dan seperti bayanganku, dia sexy.
“Ohh Maaf lama, pak?” aku menjabat tangannya, lalu mbak-mbak resepsionis langsung datang dan memberikan kuncinya dan sedikit meminta maaf.
“Jangan panggil pak dong, Panggil Rey aja” katanya seraya tersenyum ramah. Aku menangguk lalu mengajaknya untuk ke lantai 7, dimana apartemen Jeremy berada.
“Maaf udah buat Kamu nunggu lama” jawabku ketika kami masuk ke apartemen.
Ruangannya sedikit pengap, mungkin karena sudah lama tidak dimasuki, sudah ada AC juga tapi disegala penjuru ruangan itu masih benar-benar kosong.
“Lumayan besar ya” katanya setelah melihat lihat sekitar.
Aku mengangguk setuju.
Apartemen dengan 3 kamar ini cukup besar, dan luas, pemandangan yang disajikan dari balkon cukup memanjakan mata, apalagi kalau malam hari.
“Jeremy udah ngasih tau gambaran kasarnya sama kamu?” tanyanya menghadapku, aku mendongak dan seketika itu juga manik mata kami bertubrukan, warna matanya agak ke abu-abuan namun tidak terlihat begitu jelas jika dilihat dari jauh.
Aku langsung menoleh, menolak untuk bertatapan langsung dengannya.
“Sudah” jawabku singkat.
“Oke” gumamnya.
Dia melihat beberapa tempat termasuk kamar yang akan diisi, sedangkan aku bersandar pada dinding bercat putih menatap punggung lebarnya yang akhirnya menghilang dibalik pintu kamar walaupun pintu tidak tertutup.
Aku mendesah pelan…
Dia adalah salah satu godaan terberatku beberapa hari kedepan.
Reynald adalah sosok yang sulit diabaikan keberadaannya.
Setelah tragedi mengerikan yang sangat ingin ku lupakan sampai saat ini. 2 tahun aku berjuang bangkit lagi setelah kejadian itu, dan sekarang semuanya baik-baik saja. Aku mampu mengenang tanpa menangis kali ini.
Aku bersyukur akan hal itu.
“Mau berangkat sekarang?” Tanya Reynald yang entah sejak kapan berada di hadapanku.
Aku mulai me-record kegiatanku hari ini, Reynald pun ikut memperkenalkan diri sebagai partner ku bekerja kali ini.
Reynald benar-benar seorang desain interior yang sepertinya sudah bergelut dalam pekerjaannya itu sejak lama karena dengan lihainya dia memilih beberapa perlengkapan yang tampaknya sesuai dengan konsep yang Jeremy paparkan tanpa merasa bingung.
“Okey, sekian dulu, nanti dilanjut di apartemen setelah semua barang sampai” tutupku.
“Kamu seorang vloger?” Tanya Reynald ketika aku bergerak menuju ke arahnya yang tengah memilih sofa, berwarna coklat.
“Ya gitu deh” setelah menjawab, Reynald langsung menatapku lekat, aku menoleh menghadap apapun agar tidak menatap matanya. Rasanya…. Aneh ketika ditatap secara intens oleh seorang pria.
“Gigi Dasty?” tanyanya tak yakin.
Aku mengangguk dengan kening yang berkerut samar.
“Ahhh” gumamnya.
“Kamu mau pilih itu?” tanyaku padanya, dan memilih mengacuhkan percakapan kami dan tampaknya Reynald sedikit tau diriku.
Dia mengangguk.
“Kenapa? Kamu nggak suka?” tanyanya.
Aku menggeleng,
“Bagus kok, suka” jawabku “kayanya Jeremy sama Amel juga suka”.
Aku bergeser ketika melihat kursi kerja berwarna hitam. Aku mendekati kursi tersebut dan menyentuhnya
“Mau beli?” tanyanya di sampingku dan seketika aku menoleh.
“Iya, pengen ganti yang baru aja” jawabku lalu mengatakan pada keryawan toko untuk mengambil satu kursi kerja seperti yang aku tunjuk.
Aku perlu sebuah penyegaran agar studioku tidak lagi membosankan, aku baru saja mengganti cat di studio seminggu sebelum acara lamaran.
***
Amel menggerutu ketika tamu mulai ramai berdatangan, kedua pihak keluarga sepakat untuk mengadakan resepsi di kampung halaman dan di Jakarta. Di kampung halaman kami hanya khusus untuk keluarga dan tetangga dekat walau pada akhirnya Amel tetap saja mengenakan kebaya seharian, foto, dan beberapa proses adat jawa lainnya, selayaknya resepsi adat pada umumnya.
Mama sudah mewanti-wanti Amel dan Jeremy agar tetap melaksanakan resepsi di kampung halaman kami.
“Capek banget kak” gerutunya setelah menyambut tamu yang cukup banyak.
Walaupun tak ada undangan yang disebar, tetap saja acara hajatan ini akan tetap ramai di datangi ratusan orang.
“Sabar lah” ujarku padanya setelah menyeruput kuah soto.
“Tau gini resepsi di Jakarta aja”