SEPULUH

1056 Kata
Happy Reading and Enjoy Aku menggerakkan kursi kerjaku ketika aku mulai kehabisan ide. Setelah mengedit video yang akan ku upload untuk besok, tentang pernikahan Amel-Jeremy dan akhirnya selesai, aku mulai menggerakkan jariku dengan lincah di atas keyboard laptopku, menuangkan ideku yang sudah menumpuk dikepala. Aku terbiasa dengan suasana studio yang nyaman dan sunyi karena memang ku rancang dengan kedap suara, dan ada perlengkapan lain seperti Playstation, speaker, dan ada rak buku yang cukup tinggi dan sudah mulai penuh. Ku rasa, aku perlu menambahkan rak lagi untuk menambah koleksi bukuku yang ku beli dan sekali baca lalu menjadi pajangan setelahnya. Aku memainkan phonselku sejenak sebelum akhirnya membuka file dokumen dan menuangkan ideku kembali, itu adalah salah satu caraku agar tidak cepat bosan dan ide akan tetap mengalir. Reyorland mulai mengikuti anda. Aku mengerit ketika nama itu muncul dilayar phonselku, Siapa Reyorland? Karena merasa penasaran dan merasa familiar dengan nama itu, aku membuka profilnya dan seketika itu juga otakku mengingat pria mempesona yang hingga saat ini tak mampu ku tatap matanya. Dia seolah punya kekuatan sederhana yang mampu menjerumuskan seseorang agar jatuh dalam pesonanya, atau hanya aku saja yang merasakannya. Aku membuka gallery online bernama i********: itu, hampir semua fotonya adalah hasil kerjanya, dan gambar apartemen Jeremy ada disana. Hampir seminggu ini aku melukapannya, melupakan perkatanyaanya yang sampai sekarang aku tak mengerti maknanya. Satu foto terselip dan baru beberapa hari yang lalu dan tertelan beberapa foto hasil desainnya. Itu adalah foto aku yang memungguninya. Dan ada komentar dari Hansen dan ku lihat dari waktu komentarnya, itu baru beberapa jam yang lalu. Aku baru ingat kalau aku belum mengatakan apapun pada Hansen, mungkin nanti malam atau besok aku akan mengajaknya bertemu untuk membicarakan satu hal itu. Kembali pada Reynald, pria itu terlalu misterius, atau karena memang kami baru saja saling mengenal satu sama lain, apalagi hanya komunikasi yang penting-penting saja yang kami lakukan, itupun hanya beberapa hari saat pengerjaan apartemen Jeremy. Notifikasi w******p ku masuk, dan aku mengerit melihat nomor yang tertera. Gigi Aku mengerit, tidak ada Id Name’nya, tidak ada profilnya dan aku enggan membalasnya. Aku kembali menutup aplikasi chat tersebut setelah membaca dan membiarkannya, kembali masuk ke akun Instagramku. Ini Reynald. Lanjutnya yang kembali muncul pada notifikasi pada bagian atas layar phonselku. Aku baru saja memikirkan pria itu dan tiba-tiba Reynald mengirimkan pesan singkat. Oh mas Reynald, kenapa mas? Tanyaku membalasnya. Namun chat tersebut tak kunjung dibalas hingga aku mulai bosan menunggu. *** “Gue bener-bener kehabisan ide, Na” aku mendesah frustasi di ruang meeting kecil yang biasa untuk pertemuan singkat yang biasa kami para penulis gunakan untuk bertemu dengan editor. “Kenapa sih, lo mbak, uring-uringan mulu” aku mendesah lalu menyanggah kepalaku dengan kedua tangaku, rambutku sudah acak-acakan karena sejak tadi aku acak. Aku belum bisa bercerita pada siapun, termasuk Amel maupun Mama. Kepalaku terasa pecah jika seperti ini terus. Sejak semalam, aku tak bisa berkonsentrasi untuk menulis, sejak Reynald chat dan sampai saat ini masih belum ada balasan darinya ditambah dengan komentar Hansen diinstagram Reynald yang ku lihat semalam. “Pusing gue sumpah” ujarku. “Dihhh, pusing-pusing mulu, tiap ditanya kenapa malah geleng-geleng, mabok ya lo mbak?” Tanya Regina yang akhirnya gemas juga dengan kelakuanku. Aku memilih diam dan menelungkupkan kepalaku diatas meja, membiarkan Regina yang gemas sendiri dengan kelakuanku hari ini. “Ah udah ah…. Gue mau balik ke atas” gerutunya, lalu ku dengar bunyi kursi berderit, bergesekan dengan lantai. Dan aku mengerang seketika. Niat awal aku ingin mendiskusikan tentang n****+ yang sedang ku kerjakan dan mendadak semuanya kacau karena mood ku yang benar-benar kacau. *** Aku duduk dikursi berbentuk telur yang ada dibagian belakang rumahku, menikmati semilir angin, dan awan yang kebetulan mendung. Kakiku ku tekuk dan telingaku ku sumpal dengan headphone, alulan lagu milik Cold play benar-benar menenangkan ketika otakku sedang stress seperti saat ini. Derap kaki yang terdengar sayup-sayup melangkah masuk ke dalam rumah membuatku mengerit dan membuka mataku melihat siapa yang datang. “Kak” panggilnya dari dalam rumah, aku dengan malas menginjak lantai yang terasa dingin dan ternyata gerimis sudah mulai turun, rumput di halaman belakang mulai terlihat basah. “Hem” jawabku dan memungut n****+ yang sudah terjatuh dan phonselku. “Hai” Amel mengecup pipiku lalu melangkah ke dapur. Rumahku bukan rumah yang terlalu besar, berlantai satu dengan halaman belakang yang cukup luas lengkap dengan kolam renang kecil yang cukup berguna untuk merileks-kan tubuh. “Hai Jer” sapaku pada Jeremy yang tampaknya tengah mencari Amel, “noh di dapur” lanjutku lalu langsung masuk ke dalam studio untuk meletakkan n****+ bacaanku pada tempatnya. “Lo kenapa deh kak?” Tanya Amel yang tiba-tiba masuk ke dalam studio yang pintunya kebetulan tidak tertutup. “Pusing gue dek” ujarku lalu duduk di kursi kerjaku, mulai membuka laptop untuk memulai mengedit video. Amel mulai menyalakan Tv besar yang memang sudah ada distudio, yang tersambung dengan Playstation. Amel dan Jeremy adalah pasangan aneh yang selalu suka bermain game bersama, menghabiskan waktu libur bersama hanya untuk mengotori studioku berakhir dengan omelanku karena studioku yang berantakan. Apalagi jika remah-remahan makanan ringan bertebaran dikarpet, bukan karena aku pecinta kebersihan atau bagaimana. Tapi karena memang studio itu ada banyak alat elektronik dan juga tumpukan buku yang harus ku rawat agar tidak dimakan semut dan akhirnya rusak. Tapi namanya juga anak bandel, jadi walaupun sudah diomeli akan tetap mengulanginya dihari berikutnya. Jeremy juga sudah sangat sering main ke rumah ini. mungkin karena sama-sama senang bermain game juga yang membuat mereka merasa sangat cocok satu sama lain. “Jangan diberantakin” Amel hanya bergumam pelan lalu memanggil Jeremy untuk mulai bermain, dan aku yakin mereka akan berjam-jam berada disini. Aku memilih berlalu ke dalam kamar dari pada menyaksikan mereka bermain PS. Ku ambil kapas dan menetesi benda putih itu dengan cairan pembersih wajah, namun satu tanganku bergerak membalas pesan yang baru saja masuk. Ketika aku memilih merebahkan diriku diatas ranjang setelah membersihkan sisa-sisa make upku hari ini phonselku berdering, dan nama Papa terpampang disana. “Assalamualaikum Pa” sapaku seraya menempelkan phonselku ditelinga. “Waalaikum salam” jawab beliau. “Kenapa pa?” tanyaku, biasanya Papa sangat jarang menelfon kecuali aku yang menghubungi beliau terlebih dahulu. “Kamu punya pacar Kak?” aku mengerit. “Kenapa emangnya pa?” “Kemarin malam ada yang minta ketemu dan nglamar kamu ke papa” Seketika aku tertegun. Siapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN