Gadis itu membanting tasnya dan melempar sepatu setelah berada di kamar kosnya. Teman satu kamarnya yang telah lebih dulu datang, terkejut dengan tingkah Tiara yang membawa aura marah dengan wajah kusut itu.
"Hei, kenapa kamu, Tia?" tanyanya terheran-heran.
"Aku benci sama bos di kantor, dengan tingkahnya seperti itu sama saja dengan memecatku secara halus, kan?" Tiara menghempaskan tubuhnya dengan keras ke atas kasur.
"Bos-mu yang mana? Apa dia melakukan pelecehan?" tanya Hilda antusias.
"Ya sama sajalah!" Tiara menjawab dengan asal saking merasa kesal.
Hilda membelalakkan kedua bola matanya, ia sangat membenci segala macam bentuk pelecehan seksual karena hal itu sangat memberikan dampak buruk bagi mental manusia terutama terhadap wanita.
"Katakan padaku, siapa orang itu? Aku akan menghajarnya tanpa ampun!" seru Hilda tersulut emosi.
"Ya udah, cari sana si Attaya Mahendra!" pekik Tiara tanpa berpikir. Ia merasa kesal karena saat ini, dia telah menjadi pengangguran tanpa pesangon! Bagaimana caranya ia mengirim uang untuk ibunya?
Sedikit penyesalan menyelinap ke dalam hati Tiara, bagaimana pun ia telah mengambil tindakan tanpa berpikir panjang. 'Ah, semua gara-gara Attaya!' jerit batinnya. Ia memejamkan matanya, butiran bening luruh membasahi kedua pipinya yang mulus.
Teman sekamar Tiara merasa terkejut, geram sekaligus sedih. Tentu saja ia tahu siapa Attaya Mahendra, nama dan tampangnya selalu muncul di televisi dan menjadi ikon dari pengusaha muda berbakat yang sukses. "Attaya Mahendra yang itu kah?" tanya Hilda meyakinkan pendengarannya.
Gadis yang diajaknya bicara tidak mengatakan apapun. Ia hanya ingin sendiri meratapi nasibnya sebagai pengangguran baru. Padahal untuk diterima di sebuah bank swasta yang bonafide tidaklah mudah. Ia harus menjalani serangkaian tes yang rumit. Namun, dengan mudahnya ia mengambil keputusan hanya karena tidak menyukai didekati seorang lelaki dengan cara seperti itu.
"Hei, lelaki ini yang pacarnya model itu kan? Denada? Ya kan?!" Hilda berseru dari ranjangnya sambil browsing, mencari tahu tentang Attaya. "Bahkan mereka akan bertunangan!" pekik Hilda tidak percaya. "Dasar baji*ngan!" umpatnya kemudian.
Mendengar hal itu, Tiara semakin menekan kedua kelopak matanya. Sejenak ia merasa keputusannya keluar dari pekerjaan adalah keputusan yang tepat. Apa yang akan terjadi jika Denada tahu bahwa calon tunangannya memaksa untuk mendekati wanita lain? Tiara bergidik ngeri memikirkan hal itu.
"Sudahlah, aku mau tidur, rasanya lelah sekali hari ini," ujar Tiara seraya bangkit menuju kamar mandi. Ia berencana untuk tidur awal dan bangun siang karena besok tidak akan pergi ke kantor itu lagi.
◇◇◇
Pintu kos diketuk, Hilda yang telah siap untuk berangkat kerja merasa heran, karena mereka berdua nyaris tidak pernah kedatangan orang. Ia bergegas melangkah ke pintu sambil membuka rol rambut poninya.
Hilda ternganga lebar-lebar saat melihat sosok lelaki jangkung, berpakaian necis. Tentu saja ia mengenali lelaki itu meski dalam hatinya terkagum-kagum, ternyata aslinya jauh lebih tampan dan tinggi dibandingkan dengan sosok yang ia lihat di majalah dan televisi.
Namun, perkataan Tiara kemarin sore masih jelas dalam ingatannya. Ditambah, lelaki ini pula yang telah menyebabkan sahabatnya itu memutuskan keluar kerja dari tempat yang sulit diraihnya. Seketika emosinya timbul, dengan marah, Hilda mendorong kasar lelaki itu, ia mengusirnya dari sana.
"Pergi kamu! Dasar lelaki ^c***l*! Kamu telah melecehkan sahabat saya, ngapain kamu ke sini?!" hardik Hilda berang kepada lelaki itu.
Attaya sangat terkejut mendapat perlakuan kasar dari seorang wanita dan menuduhnya sebagai lelaki ^c***l* serta menuduh dirinya telah melakukan pelecehan.
"Apa kamu bilang? Pelecehan? Hati-hati kalau bicara, saya bisa tuntut kamu!" Attaya berang karena tuduhan itu.
"Laporkan saja kalau berani, hah? Pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi!" teriak Hilda.
Keributan kecil itu membuat penghuni kos yang masih berada di dalam kamar masing-masing, serentak membuka pintu untuk mencari tahu ada apa. Melihat situasi yang tidak menguntungkan bagi dirinya, Attaya segera melangkah pergi dengan perasaan dongkol luar biasa. Tujuannya datang hanya untuk menyatakan bahwa Tiara tidak perlu resign dari kantor dan ia tidak akan menginjakkan kakinya lagi di ruang Tiara agar gadis itu tidak merasa terganggu lagi.
Hal yang membuatnya susah tidur semalam karena merasa bersalah terhadap Tiara. Namun, teriakan wanita berpostur kecil itu membuatnya merasa kecewa. Ini berarti Tiara telah mengadukan hal yang tidak pernah dilakukannya kepada siapapun sepanjang hidupnya yaitu melakukan pelecehan!
Attaya merasa terhina dan ia sangat marah saat itu. Dalam hati kecilnya ia berjanji akan melupakan Tiara dan menganggapnya tidak pernah kenal.
"Heh, pelecehan ... cih," dengus Attaya setelah duduk di dalam mobil. Baru kali ini dirinya merasa sangat dipermalukan di depan umum dan ia tidak terima.
"Akan kubuat perhitungan dengan kalian berdua," desis Attaya kemudian sambil menginjak pedal gas dalam-dalam.
Saat Hilda menutup pintu sambil membantingnya dengan keras, Tiara telah duduk di pinggir ranjang. "Kamu emang dilecehkan siapa? Kok gak bilang aku?" tanya Tiara sambil mengernyitkan dahinya.
"Lah, kok aku? Kan kamu yang dilecehkan oleh Attaya Mahendra?!" seru Hilda kebingungan.
"Hah? Barusan kamu teriak mengusir orang, siapa?" tanya Tiara tidak kalah bingung.
"Ya Attaya lah! Pagi-pagi ngetuk pintu kamar orang, mau apa dia? Melecehkanmu lagi, gitu?" Hilda meraih tas kerjanya, ia telah siap untuk berangkat karena takut terlambat mengisi absensi.
Tiara terlonjak kaget sambil melotot. "Itu tadi pak Attaya? Hil, jawab aku, kamu teriak-teriak tadi menuduh pak Attaya telah melakukan pelecehan padaku?" tanya Tiara sambil menghampiri Hilda dan memegang lengannya.
"Iih, apaan sih." Hilda melepaskan genggaman tangan Tiara dari lengannya.
Tiara semakin membelalakkan matanya. "Ya ampun, Hil ... kenapa kamu menuduh orang seenaknya begitu? Lagian kapan pak Attaya melakukan pelecehan padaku, Hil?!" teriak Tiara mulai panik.
"Gila kali kamu ya? Kemarin sore kan kamu bilang begitu?" tanya Hilda mulai ragu-ragu.
"Ah, Hil ... aku gak pernah bilang kalau dia melecehkanku, ah! Kenapa jadi makin rumit begini sih?" Tiara membayangkan kejadian tadi saat Hilda teriak-teriak mengusir Attaya dengan mengatakan lelaki ^c***l* dan melakukan pelecehan.
Tiara terduduk dilantai dengan lemas, lalu ia menangis. Hilda semakin kebingungan. Ia memang tidak mendengar kalau Tiara mengatakan dilecehkan oleh Attaya. Justru kata-kata itu keluar dari mulutnya sendiri dalam bentuk pertanyaan dan ia ingat, tapi Tiara menjawab mengiyakan akan hal itu.
"Ya, trus gimana, kamu kan seolah mengiyakan waktu kutanya, kan?" tanya Hilda antara merasa bersalah dan tidak.
"Aah! Sekarang kamu nyalahin aku? Seharusnya kan kamu juga tidak bertindak gegabah dong? Kenapa harus berlebihan mengusir orang dengan menuduh seperti itu? Udah pasti ditonton orang kan? Trus kamu anggap benar tindakan seperti itu?" ujar Tiara dengan sangat kesal.
"Ya, maaf ... abisnya aku benci sama lelaki yang suka meremehkan wanita apalagi melecehkan," sahut Hilda.
"TAPI DIA TIDAK MELAKUKAN PELECEHAN!" teriak Tiara histeris.
Hilda terkejut dan hatinya merasa tergores pedih mendengar teriakan Tiara tepat di depan wajahnya.
Dor Dor Dor
Suara pintu dipukul dengan pergelangan tangan. Hilda merasa mendapat kesempatan untuk menghindar dari Tiara. Ia membuka pintu dan melihat pemilik kos berdiri di sana. Seorang wanita tambun yang temperamen.
"Kau pikir ini rumahmu sendiri hah? Pagi-pagi sudah ribut pake teriak-teriak segala! Pergi kalian dari sini! Beresin barang kalian!" usir Ibu kos dengan sangat marah kepada mereka berdua.
Tiara semakin menangis mendengar perkataan ibu kosnya. Hilda yang panik karena takut terlambat masuk kerja yang artinya ada pemotongan upah, menjawab. "Ya, kami pergi setelah pulang kerja. Terima kasih, Bu."
Gadis itu menutup pintu dan menguncinya. Ia membiarkan Tiara agar tenang dan mereka bisa bicara kembali setelah ia pulang kerja.
Tiara masih terus menangis sambil berpikir banyak hal, ia sangat marah pada keadaan yang tiba-tiba berubah drastis karena sikap impulsif dari Hilda. Ia bangkit lalu mulai mengeluarkan barang-barangnya dari lemari, lalu menyusunnya di dalam koper besar. Siang harinya, sudah tidak ada satu barangpun miliknya yang tertinggal.
Tiara keluar dari kos membawa koper besar, tas ransel dan tas cangklong yang berukuran besar. Ia menitipkan kunci kamar kepada penjaga kos lalu mencegat taksi, tak lupa mampir mengambil laundry dan melanjutkan perjalanan menuju kantor travel. Ia berharap, itulah hari terakhirnya di kota metropolitan meninggalkan Hilda dan Attaya Mahendra untuk selama-lamanya.
◇◇◇◇