Uncomfortable

1422 Kata
Jam Istirahat yang ditunggu-tunggu dengan resah oleh Tiara, akhirnya tiba. Ia berpamitan kepada Attaya untuk pergi ke toilet sambil mencangklong tasnya. Attaya memperhatikan gerak-gerik tubuh Tiara, ia mendengus kasar saat dirinya menyadari bahwa Tiara akan langsung kabur setelah dari Toilet. "Heh, anak itu ... udah gak sabar rupanya. Siapa sih yang berani ngajak Tiara?" gumamnya merasa geram. Dengan cepat ia memerintahkan anak buahnya untuk mencari tahu lebih jauh tentang gadis itu. Kemudian, ia berbalik ke arah pintu lift, keluar dan berjalan kaki menuju gedung sebelah. Memasuki restoran yang tadi disebutkan oleh Tiara, tapi ia tidak melihatnya di sana. Telepon genggamnya bergetar, ia merogohnya dari saku celana. "Ya?" Attaya menjawab cepat. "Di kantin bawah, Bos." Seseorang memberikan informasi. Lelaki itu memutuskan sambungan, ia tampak gusar. Dirinya tahu bahwa Tiara sengaja menghindarinya. Seandainya ia tidak punya ketertarikan yang teramat sangat, tidak akan sudi baginya untuk merasakan keresahan seperti ini. Namun, gadis itu telah membuatnya kalang kabut hanya dalam waktu sehari saja. Attaya melangkahkan kakinya cepat-cepat, menuju kantin dibawah gedung tempat gadis itu bekerja. Dirinya mengambil jalan melewati parkiram belakang lalu menuruni tangga. Kantin-kantin berjejer di samping tempat parkir motor. Tanpa menoleh kiri-kanan, Attaya terue menghambur ke arah kantin dan berhenti tepat di pintu masuk dari area belakang. Pria itu mengedarkan pandangan dan ia menemukannya. Tiara sedang menikmati makan siangnya sendirian. Attaya melangkah panjang-panjang, kehadirannya benar-benar memancing perhatian orang-orang. Bukan hanya dari pakaiannya yang necis dan keren, bukan juga dari ketampanannya dengan postur tinggi dan proporsional. Tapi karena semua orang tahu siapa dirinya. Tanpa ragu, Attaya menarik kursi dengan kasar di samping Tiara yang seketika menoleh karena terkejut. "Eh, Bapak ...," ujarnya seraya hendak berdiri untuk memberi hormat. "Duduk!" serunya tertahan. Tiara mengembalikan bokongnya pada kursi perlahan-lahan. Perasaannya sangat tidak karuan. Ia sempat melihat ke sekeliling dengan cepat dan menyadari semua mata sedang memandang ke arah mereka. Seketika pipinya merona merah. Gadis itu menundukkan wajahnya. Kini ia sudah tidak merasa lapar lagi. "Bapak untuk apa ke sini, semua orang jadi melihat kita," tegur Tiara. "Kenapa memangnya, mereka punya mata. Saya ganteng, kamu cantik. Wajar kalau jadi pusat perhatian." Tangan Attaya meraih bakwan goreng yang menganggur di atas meja lalu melahapnya pelan-pelan. Pemilik kantin yang menjadi tujuan Tiara ke sana, tergopoh-gopoh menghampiri meja mereka. "Bapak mau minum apa, Pak? Apa Bapak juga mau sekalian makan di sini?" tanyanya dengan ramah. "Ya, samakan pesanannya dengan wanita cantik ini," sahut Attaya seraya memandang lekat Tiara yang terperangah kepadanya. "Makanlah, makananmu masih banyak," ujar Attaya kepada Tiara. Gadis itu kembali menunduk, tangannya tidak henti-henti meremas rok kerjanya di kolong meja. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa harus seperti ini. Di mana ia bisa sembunyikan wajahnya saat memasuki kantor nanti dengan mata-mata yang memandangnya penuh cibiran. Tiara mendesah pelan, Kemunculan Attaya di kantin karyawan membuat orang-orang terperangah. Belum pernah terjadi sebelumnya jangankan komisaris, jajaran direksi saja tidak pernah terlihat di area bawah dan duduk di bangku bersama karyawannya. Desas-desus mulai berkumandang. Apalagi gadis itu masih dalam masa percobaaan kerja selama tiga bulan, semuanya sudah bisa diprediksi oleh Tiara. Ia merasa sangat tidak nyaman. Otaknya bekerja dengan cepat. Tiara bukan gadis yang tahan akan gunjingan, diam-diam ia berpikir untuk resign jika situasi tidak lagi mampu dikendalikannya. Mood gadis itu serta merta memburuk. Wajah cantiknya tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Alhasil, ia menjadi judes dan kaku. Tapi di mata Attaya, justru kekesalan Tiara membuatnya semakin menggemaskan. "Saya sudah selesai, Pak. Saya duluan ke atas," pamit Tiara setelah meneguk minumannya, Tepat saat pesanan Attaya dihidangkan. "Apa kamu tega membiarkan saya makan sendiri di sini hem?" Attaya mengatakannya dengan berbisik. Tiara menunggu orang yang menghidangkan makanan berlalu sebelum menjawab, "Bapak datang ke sini, sendiri. Saya tidak mengundang Bapak," tegas Tiara dengan suara tertahan. "Baiklah, setidaknya makanan ini biar dibungkus dulu, kasihan kan kalau ditinggal begitu saja, sementara banyak orang kelaparan di luar sana," sahut Attaya seraya memanggil pelayan kantin. Deg. Tiara duduk kembali dan terpana mendengar kalimat yang meluncur dari mulut billioner itu. Ia menoleh ke arah Attaya dengan tatapan tidak percaya. Namun, ia cepat menguasai dirinya. "Pak, tolong dibungkus, saya makannya di atas saja. Tolong juga sendoknya ya, terima kasih." Lelaki itu mengutarakan keinginannya dengan sopan. Tiara kembali terpana. Atasannya itu tidak seperti orang-orang yang berkedudukan tinggi lainnya, tidak ada kesan angkuh sedikitpun dari bahasa tubuh serta perkataannya. Gadis itu trenyuh dan ia rela menunggu makanan dibungkus serta mau tidak mau, mereka akan berjalan bersama untuk kembali ke lantai tiga. "Kamu yakin sudah kenyang?" Attaya menatap Tiara lekat-lekat. Gadis itu tergagap, dengan gugup ia menjawab, "Sudah cukup. Makasih." "Ayo, kita kembali ke ruangan," ajak Attaya setelah menyerahkan uang dan menerima bungkusan makanan. Tiara bangkit dari duduknya, ia hanya diam dan mendahului melangkah keluar dari kantin. "Lewat kiri," ujar Attaya kepada Tiara. "Gak mau, kami gak boleh memakai lift itu. Khusus direksi," jawab Tiara. Lift khusus itu terletak agak jauh dari lift untuk karyawan. "Ayo!" Attaya meraih pergelangan tangan Tiara dan menariknya ke arah lift khusus direksi. Tiara agak sempoyongan tangannya ditarik tiba-tiba. "Iya, tapi lepaskan tanganku," sahut Tiara, tapi tangan kokoh itu tetap menuntunnya. Setelah di dalam lift, lelaki itu baru melepaskan genggamannya. "Kamu gak boleh gak suka sama saya, nanti ujung-ujungnya jatuh cinta gimana?" Attaya menyunggingkan senyum. Tiara menggendikkan bahunya seraya membuang muka, ia sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa lelaki itu sangat menyebalkan dan mengganggu harinya. Wajah cantik itu masih keras seiring dengan bio ritmiknya yang turun dengan drastis. Pintu lift terbuka, tangan Attaya menahannya lalu ia mempersilakan Tiara untuk keluar lebih dulu. Hal ini terbalik dengan kebiasaan para karyawan di sana. Mereka akan membiarkan bos-bos mereka keluar lift terlebih dahulu. "Silakan, Cantik," gumam Attaya. Tiara mendengus kesal, perlahan ia mengerti bahwa lelaki itu tengah mendekatinya. Tapi ia tidak percaya kalau sang bos menyukai dirinya yang berlevel jauh dari Attaya. Pikiran buruk melintas, ia yakin bahwa atasannya itu mempunyai niat buruk kepadanya. 'Apalagi yang diinginkan seorang pria dari wanita?' pikir Tiara. Tiara menghempaskan diri ke atas kursinya. Jam istirahat belum selesai tapi ia harus terjebak kembali ke kantornya hanya karena ia menolak untuk menemani bosnya makan. Gadis itu mulai membenamkan diri memeriksa transaksi-transaksi dan laporan, ia sama sekali menganggap di ruangan itu tidak ada orang selain dirinya. Dengan sengaja ia mengabaikan Attaya. Attaya membuka bungkusan makanannya dan mulai menikmati hidangan itu secara perlahan, sambil memperhatikan gerak-gerik Tiara. Semakin dipandang, wanita itu semakin membuatnya terpesona. Segala sesuatu yang ada pada Tiara sangat indah di pandangan mata Attaya. Di bilik sebelah mereka, beberapa pasang mata dengan setia memperhatikan mereka, meskipun sambil bekerja tapi sesekali mereka menoleh ke arah ruangan yang hanya terbatasi oleh kaca. Hal itu sangat diketahui oleh Tiara dan ia pun sangat memahami apa yang ada di dalam benak mereka. Para seniornya di kantor itu. Menyadari bahwa Attaya betah seharian berada di ruangan Tiara, Gadis itu mengambil sebuah keputusan besar. Dia bertekad untuk mengundurkan diri. Ia akan membuat surat resign segera dan menyuruh salah seorang temannya yang mengantarkan surat itu ke bagian HRD besok pagi! Semuanya karena ia tidak tahan dengan rumours yang pasti timbul bahkan sedang terjadi saat ini. Tiara semakin menenggelamkan diri, Ia membuat file dan beberapa petunjuk untuk orang yang nanti akan menggantikan posisinya di sana. Sementara Attaya juga punya kesibukan sendiri dengan laptop dan teleponnya, tanpa meninggalkan ruangan itu sama sekali. Menjelang pukul empat sore, kembali Tiara merasa gelisah. Ia ingin segera pergi dari sana dan tidak akan kembali. Sebuah keputusan yang serampangan, tapi baginya itu adalah keputusan terbaik. 'Masih banyak pekerjaan lain' batinnya menghibur diri. Gadis itu membereskan mejanya setelah ia menyusun pekerjaan yang memudahkan bagi karyawan lain nantinya, lalu ia bangkit dan menatap tajam kepada Attaya. "Sudah selesai hari ini, saya harus segera pulang. Terima kasih," pamit Tiara kepada Attaya yang terperangah mengalihkan tatapanya dari laptop. "Oh, ayo saya antar pulang," ujar Attaya seraya berdiri. "Tidak! Saya tidak ingin diantar. Saya mau pulang sendiri. Terserah kalau Bapak mau pecat saya, silakan. Permisi," tandas Tiara dengan mimik wajah keras dan dingin. Gadis itu membalikkan badannya, lalu melangkah ke arah tangga dan menuruninya dengan cepat. Attaya terdiam mematung, ia tidak mengira kalau Tiara akan semarah itu kepadanya. 'Tapi, apa salahku? Bahkan dia tidak melihat aku sebagai atasannya di sini' batin Attaya merasa kebingungan dan tidak mengerti. Attaya membereskan barangnya, sebelum meninggalkan ruangan itu, ia menghampiri meja Tiara dan memeriksanya karena ia heran melihat Tiara sangat sibuk dari sejak jam istirahat tadi. Lelaki itu semakin tercenung, ia memahami hasil pekerjaan Tiara, bahwa gadis itu dengan rapi telah menyusun laporan dan catatan agar orang lain bisa langsung memahami tugas-tugasnya. 'Dia keluar kerja? Tapi kenapa?' batin Attaya kecewa. Sejenak ia merasakan tubuhnya lemas. "Tiara, aku tidak akan pernah beranjak darimu," gumam Attaya penuh tekad.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN