Sampai di kota yang dijuluki kota hujan, Tiara turun dari travel kemudian memesan taksi online menuju rumah ibunya yang hanya berjarak tiga kilometer saja dari sana. Datang tanpa memberitahukan terlebih dulu kepada wanita setengah baya yang telah melahirkannya, Rubyah. Ibunda Tiara Kusuma.
"Loh, kamu pulang dengan membawa semua barangmu?" ujar Ruby sambil memeluk putri satu-satunya itu.
"Iya, Bu. Aku resign dari kerja, mau melamar kerja di sini saja," sahut Tiara.
Ruby menghela napas, ia paham bahwa telah terjadi sesuatu kepada putrinya itu. Kalau tidak, tidak mungkin dia melepaskan pekerjaan di Bank swasta terkemuka yang menjanjikan jenjang karir bagus dengan gaji tertinggi di antara perusahaan-perusahaan besar lainnya. Namun, ia tidak akan mencecar putrinya yang baru datang itu dengan pertanyaan-pertanyaan.
Wanita itu membantu membawakan beberapa tas travel lalu membawanya ke kamar Tiara semasa masih sekolah dulu. Kamar kecil yang bersih dan rapi dengan ranjang mungil yang hanya cukup untuk satu orang saja. Tiara duduk di atas kasur sambil memandang ke sekelilingnya.
Rumah usang yang sempit itu menyimpan banyak kenangan masa kecilnya yang ceria. Satu-satunya yang menjadi masalah bagi dirinya adalah ketiadaan seorang ayah di sepanjang hidupnya. Namun, ia memiliki seorang ibu yang hebat, yang mampu berperan sebagai seorang ibu sekaligus seorang ayah baginya.
"Sudah makan belum? Ibu buatin telur dadar ya? Ibu gak belanja hari ini." Ruby bergegas ke dapur, memecahkan dua butir telur dan mengocoknya lalu menaburkan bumbu dan potongan daun bawang.
Melihat wajah putrinya yang sedih, perasaannya sedikit terganggu. Ia sungguh ingin tahu apa yang terjadi tapi kelihatannya Tiara tidak ingin bercerita sementara ini.
"Makan, Nak. Ayo," ajak Ruby kepada Tiara.
Gadis itu bangkit dari kasurnya, beranjak keluar kamar menghampiri meja makan yang bertaplak pastik dan sisinya menempel pada tembok dengan dua buah kursi kayu model lama.
Ruby mengambilkan nasi dari magic jar lalu menghidangkannya di meja. Kemudian ia ikut duduk di sana. "Makanlah," ujar Ruby.
"Ibu gak makan?" tanya Tiara sambil memotong telur dadar.
"Ibu sudah makan tadi di sekolah. kebetulan ada anak yang ulang tahun, ibu dapat nasi kotak." Ruby menatap putrinya lekat-lekat. "Memangnya sudah melihat-lihat ada lowongan kerja di mana saja?"
"Nanti dicek, Bu," sahut Tiara, ia merasakan kekhawatiran ibunya karena belum punya pekerjaan. "Jangan khawatir, Bu. Tiara pasti dapat pekerjaan."
"Iya, itu harus, Nak. Setidaknya kamu bisa mengurus dirimu sendiri. Kamu tahu sendiri penghasilan ibu hanya cukup untuk makan sederhana saja, tidak bisa melakukan apapun tanpa punya tambahan uang," timpal Ruby dengan padangan mata menerawang.
Sepanjang hari itu, Tiara hanya merebahkan diri di atas kasur yang sempit. Pikirannya kembali mengingat saat terakhir di kantornya. Lelaki itu, Attaya ... ia sangat merasa bersalah atas ulah teman kosnya yang telah menuduh Attaya melakukan pelecehan s****l sambil teriak-teriak. Gadis itu merinding. Ia tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki semua itu. Selebihnya Tiara berharap tidak akan bertemu lagi dengan Attaya.
◇◇◇◇◇
Di sebuah mansion mewah, seorang lelaki memakai kaus base ball duduk sendirian di balkon dengan kedua kaki diangkat ke atas lurus-lurus, bersandar pada pembatas tembok. Pada wajahnya tampak kegusaran dan kesal. Teringat bagaimana gadis dengan suara cempreng meneriakinya, seolah-olah dia adalah penjahat kelamin. Perempuan itu telah mempermalukannya dan ia tidak tahu bagaimana caranya agar perempuan itu mendapatkan pelajaran yang setimpal.
"Atta?! Ditunggu ayahmu di bawah. Kamu kenapa di sini terus?" tanya seorang wanita dengan rambut panjang ikal dan berdandan bak artis, glamour sekaligus angkuh.
"Ada apa sih, Ma?" tanya Attaya dengan enggan.
"Turun saja dulu, jangan sampai ayahmu teriak-teriak. Mama risih kalau begitu." Elaina melangkah menuruni tangga kembali.
Lelaki itu menurunkan kedua kakinya dari tembok pembatas, mengikuti Elaina menuruni tangga dan terkejut melihat Denada dengan kedua orang tuanya sedang mengobrol dengan ayahnya.
"Atta! Akhirnya muncul juga. Jangan kebanyakan melamun, sebentar lagi mau punya istri kok, he he he." Mahendra terkekeh bahagia diikuti oleh Brata, calon mertuanya Attaya.
"Malam, Om. Malam Tante," ujar Attaya kepada kedua orang tua itu tanpa melirik sedikitpun pada Denada yang sedang menatapnya dengan mata berbinar, berharap di sapa, minimal dengan senyum. Tapi wajah Attaya tampak mengeras dan sinis.
"Kalian kenapa? Lagi marahan kah?" tanya ibunya Denada sambil melirik pada Attaya dan putrinya bergantian.
"Enggak kok, Mi ... biasa, Atta memang selalu pasang wajah jutek kaya gitu kok," sambar Denada.
"Ini loh, Atta ... mereka kemari mau menetapkan tanggal pertunangan kalian. menurut papa, tiga bulan lagi, karena kan butuh persiapan yang matang. Gimana menurutmu? Ingin dipercepat tidak?" tanya Mahendra kepada putranya.
Wajah Attaya merah padam. Ia tidak suka dijodohkan seperti itu, lagi pula, sedikitpun ia tidak pernah tertarik pada Denada, jangankan menjadi tunangannya, pacar pura-purapun dia tidak mau. Tapi, ia tidak mungkin menolak mentah-mentah saat itu, ia tidak ingin mempermalukan kedua orang tuanya.
Attaya bangkit berdiri sambil berkata, "Terserah!" Kemudian ia berlalu menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya sambil membanting pintu.
Wajah Mahendra merah padam menahan malu dan marah kepada putra semata wayangnya. Begitupun Elaina. Ia sangat geram terhadap sikap Attaya yang sangat tidak sopan kepada tamunya.
Kedua orang tua Denada merasa tersinggung, tapi putri mereka terlihat baik-baik saja. Sama sekali tidak terganggu oleh perlakuan buruk Attaya.
"Maafkan Attaya, dia kalau lagi asik bekerja terus diganggu, moodnya pasti buruk seharian. Maaf ya, lagi pula pembicaraan mendadak seperti ini, tentu mengagetkan dia karena tidak ada pembicaraan sebelumnya kan, Dena?" tanya Elaina kepada Denada.
"Iya, Ma, kita memang belum membicarakannya," sahut Denada sambil menunduk.
"Apa kamu bilang? Jadi kalian belum bicarakan tunangan?!" seru ibunya Denada tidak percaya.
"Memalukan! Pulang!" hardik ayahnya Denada dengan kesal kepada putrinya. Dia baru sadar bahwa mereka dikerjai oleh putrinya sendiri.
Denada semakin menundukkan wajahnya, ia memang sengaja memohon kepada ayah dan ibunya untuk membicarakan tanggal pertunangan. Karena menurutnya, jika kedua orang tua dilibatkan maka Attaya tidak bisa mengelak lagi. Tidak disangka ternyata sikap Attaya malah menyinggung kedua orang tuanya.
Ketiga tamu yang datang mendadak itu undur diri dari hadapan Mahendra dan Elaina. Mereka menahan malu dan ketersinggungan hingga rasanya ingin menggali tanah dalam-dalam dan masuk ke dalam.
Sepeninggal mereka, Mahendra berteriak hingga suaranya terdengar ke tiap sudut mansion itu, memanggil putranya. "ATTA! KEMARI KAU!"
Attaya berlari menuruni tangga membawa kekesalan yang sudah menumpuk sampai ubun-ubun. Ia berdiri di hadapan ayahnya. "Papa, aku menolak dijodohkan! Sedikitpun aku tidak pernah tertarik pada Denada, apalagi dengan pergaulan bebasnya yang suka gonta-ganti lelaki. Kenapa kalian begitu otoriter? Ini kan hidupku? Kenapa kalian tega menjerumuskan anaknya ke dalam penderitaan?" papar Attaya panjang lebar.
"DIAM!" teriak Mahendra dengan melotot kepada putranya, sementara Elaina ternganga mendengar ucapan Attaya.
"Menikah tidak harus sama orang yang kamu suka! Ini bukan masalah suka atau tidak! Tapi ini terkait kelangsungan hidup keluarga! Paham?!" hardik Mahendra dengan napas tersengal-sengal.
"Aku menolak!" tegas Attaya sambil berbalik, dia hendak kembali ke kamarnya. Namun, tiba-tiba ia mendengar ibunya berteriak, "PA! Papa! Atta panggil dokter! Pa, pa, tenang Pa ... aduh gimana ini. Atta! cepar panggil dokter!"
Dengan sigap Attaya menelepon dokter keluarga sambil menatap ngeri pada ayahnya yang megap-megap sambil memegang dadanya dengan wajah kesakitan.
◇◇◇◇◇