Not Interested
Seorang gadis memakai seragam kerja tengah melintasi antrian di kantornya, ia baru saja membantu salah seorang nasabah untuk mengaktifkan mobile banking dari mesin ATM yang terletak di sayap kiri kantor Bank itu.
"Maaf, Pak. Ini antrian saya, Bapak kok nyerobot saja!" hardik seorang ibu kepada bapak-bapak yang sudah tidak sabar mengantri menuju Teller.
Bapak itu tampak pura-pura tidak mendengar sehingga ibu yang tidak rela menyerahkan tempat antriannya naik pitam. "Pak, pura-pura tidak mendengar ya? Ini antrian saya!" teriak sang ibu membuat orang-orang di sekitarnya menoleh.
"Saya ada urusan, buru-buru," sahut lelaki itu tak acuh dan tidak merasa malu.
"Memangnya saya tidak punya urusan juga?!" teriakan wanita setengah baya tersebut semakin kencang dan berhasil membuat bapak itu emosi.
"Ngomong yang bener dong, kenapa harus teriakin saya?!" seru bapak itu.
Tiara segera menghampiri mereka karena situasi sudah mulai panas. "Selamat pagi Bapak, Ibu. Baiknya tidak diperpanjang, Bapak silahkan antri kembali, Ibu mari ikut saya, saya yang akan melayani Ibu. Mari, Bu," ajak Tiara dengan ramah dan sopan.
Gadis itu membawa wanita yang masih emosi ke depan counter-nya. "Silakan tunggu di sini ya, Bu. Saya masuk dulu," ujar Tiara seraya memasuki pintu menuju counter tempat dirinya bekerja.
"Silakan ... Selamat pagi, Bu. Apa yang bisa dibantu?" Tiara menangkupkan kedua telapak tangannya di depan d**a^.
Seorang pria muda, berpenampilan necis dan bugar melihat semuanya dari depan pintu lift. Lelaki tampan itu tidak menyembunyikan perasaannya bahwa ia sangat terpana melihat sosok gadis yang sangat cantik dan anggun tapi sekaligus memiliki ketegasan dalam sikapnya.
"Pak Atta, mari ikut saya, Pak." Seorang pria berusia empat puluh tahunan mempersilakan Attaya memasuki lift yang telah terbuka. Lift khusus disediakan untuk para nasabah VIP dengan predikat Prioritas.
Attaya tidak bergeming dari tempatnya berdiri. "Pak, saya boleh minta sesuatu?" tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari sosok Tiara meskipun hanya bisa dilihat olehnya dari samping.
"Oh boleh, Pak. Bapak butuh apa?" tanya pria itu merasa heran karena nasabah besarnya itu melihat ke arah salah satu counter.
"Saya ingin dilayani oleh dia," ujar Attaya seraya menunjuk ke arah Tiara.
"Tapi Pak. Anak itu belum berpengalaman, dia masih belum tiga bulan di sini, kinerjanya masih dalam tahap evaluasi," tuturnya.
Attaya menoleh kepada lelaki yang selalu melayaninya, tatapannya begitu tajam menusuk, membuat lelaki itu merinding.
"Saya harus konsultasikan dulu dengan managernya, Pak," jawabnya.
"Lakukan sekarang, saya bersedia menunggu di atas." Attaya membalikkan badannya lalu memasuki lift yang terbuka.
Lelaki itu mengangguk hormat, kemudian ia menuju ruangan di belakang counter teller yang berjejer. "Selamat pagi, Pak. Nasabah VIP bernama Attaya Mahendra meminta Tiara yang anak baru itu untuk melayaninya. Ada-ada saja ... keinginannya kan jelas menabrak aturan. Saya sudah bilang itu anak masih dalam pengawasan karena belum tiga bulan kerja di sini," Dia nyerocos panjang lebar.
"Bapak bilang Attaya Mahendra?" tanya manager yang mengurus area lantai satu.
"Iya, Pak. Attaya Mahendra. CEO pertamba--," belum selesai dia bicara, dipotong oleh sang manager. "Saya tahu siapa dia. Beliau juga salah satu pemegang saham di sini. Hati-hati mengomentari nasabah, terutama orang-orang VIP. Turuti apa yang diminta. Beliau berhak akan hal itu. Segera lakukan pemindahan untuk Tiara." Manager meraih telepon di atas meja menghubungi bagian HRD.
Lelaki itu tergugu di tempatnya, ia hapal nama-nama pemegang Saham lalu ia ingat sebuah nama yang tertera pada board di tuang kantor direkturnya; A. Mahendra. 'Ah, diakah? Attaya?' seketika ia bergidik. Perkataannya tadi sangat kasar. Bagaimana kalau Attaya tahu apa yang diucapkannya kepada sang manager? Bisa-bisa dirinya sudah harus keluar kerja bahkan saat itu juga.
"Cepat bawa Tiara ke atas, panggil Nurul untuk menggantikan Tiara," perintah manager kepadanya.
Sejak saat itu, Tiara dengan resmi bekerja di lantai tiga, tujuh puluh persen ia bekerja untuk Attaya di sana. Gadis itu tidak banyak bertanya kenapa dia tiba-tiba dipindah tugaskan ke atas. Dia hanya berkonsentrasi untuk mempelajari segala hal baru dalam pekerjaannya.
Keesokan harinya, Attaya datang lagi ke sana dan langsung menuju lantai tiga. Ia melihat Tiara sudah duduk dibalik meja kerjanya sambil melihat layar komputer dengan kedua alisnya yang bertaut.
"Ada masalah?" tanya Attaya seraya duduk di depan Tiara.
"Selamat pagi, Pak," Tiara segera berdiri sambil menyapa Attaya dengan sikap menangkupkan kedua telapak tangan di depan d**a sambil sedikit membungkuk hormat. Gaya salam khas yang seragam dari Bank tersebut.
Attaya menyunggingkan senyum, tidak henti-hentinya ia terpana melihat gadis itu. Kecantikannya membius otak, hingga wajah Tiara terus bertahta di benaknya.
"Uh, tidak ada masalah, Pak. Hanya saya ... tidak ada yang dikerjakan lagi di sini," sahutnya tanpa ragu.
"Oh itu ... sebenarnya minatmu apa? Seperti ... lebih suka pekerjaan di bidang apa?" Attaya mencondongkan tubuhnya ke depan. Bersikap santai.
"Sebenarnya, yang kuinginkan menjadi dokter, tapi mama tidak setuju karena faktor biaya. Saya harus bekerja dulu agar bisa mewujudkannya," tutur Tiara. Tidak ada nada penyesalan dalam suaranya. "Tapi ... kalau makan gaji buta seperti ini, gak enak juga, Pak," lanjutnya.
Lelaki itu terkekeh pelan, alih-alih menenangkan dirinya karena debar jantung yang tidak beraturan. "Jadi, kamu mau ambil kuliah lagi, ngulang dari awal di fakultas kedokteran?" tanya Attaya dengan serius.
"He he, kalau ada kesempatan sih, Pak. Kalau gak, ya sudah, yang penting bisa merawat mama di masa tuanya, saya sudah happy, kok." Gadis itu tersenyum sangat manis membuat Attaya terdiam sejenak saat memandangi senyumannya.
"Pak? Bapak kenapa?" Tiara kebingungan melihat lelaki yang mempekerjakannya terdiam tanpa berkedip menatapnya.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa ... hanya saja, kamu sangat cantik," sahut Attaya agak berbisik.
Senyum Tiara berkembang. "Ah itu, saya sudah tahu, Pak," ujarnya sambil terkekeh kecil.
Tiara Kusuma, seorang gadis yang masih berusia 23 tahun, baru lulus strata satu dari fakultas ekonomi pada perguruan tinggi negeri dengan hasil gemilang. Terlahir tanpa pernah mengenal ayahnya, karena sang ayah meninggal saat dirinya masih di dalam kandungan Ruby.
Tinggal di sebuah rumah mungil yang sangat sederhana dengan seorang ibu yang bekerja sebagai guru sekolah dasar, membuat mereka hidup dalam keadaan serba kekurangan. Beruntung, Tiara bisa menyelesaikan kuliahnya karena ia mengikuti program anak asuh yang digagas oleh sebuah organisasi wanita-wanita sosialita di mana program mereka lebih concern pada kelangsungan pendidikan bagi anak-anak kategori tidak mampu tapi berprestasi.
Attaya Mahendra, lahir dari orang tua yang telah dijuluki sebagai konglomerat turun-temurun. Keberadaannya yang tidak mempunyai adik ataupun kakak menjadikan dirinya tumbuh dalam suasana kesepian, kegiatan sehari-harinya hanya diisi dengan berbagai pelajaran dan olah raga.
Lelaki berusia 27 tahun itu, baru saja diserahi tanggung jawab besar setelah kembali dari mengenyam pendidikan di Amerika. Ayahnya, Mahendra, memanggil pulang dan menyerahkan tambang miliknya untuk dikelola oleh Attaya.
"Siang ini, temaniku makan siang di luar." Nada suara Attaya antara mengajak dan memerintah.
Tiara tertegun, ia sedang berpikir apakah menemani makan termasuk dalam salah satu tugasnya? "Saya sudah ada janji, sih ...," elak Tiara mencoba menolak secara halus.
"Janji makan siang juga?" tanya Attaya mengangkat sebelah alisnya.
"Iya," sahut Tiara pendek.
"Kalau gitu, aku ikut makan bareng kalian," ucap Attaya dengan santai. "Janjian makan di mana?" tanyanya kemudian.
"Di bazaar, gedung sebelah," sahut Tiara asal sebut.
"Baazar, memang ada tempat makan?" Dahi Attaya mengernyit.
"Eh, maksudnya ... di gedungnya kan ada restoran," kelit Tiara, teringat pada restoran Mewah yang sering ia lewati saat pulang kantor.
Attaya memicingkan matanya, restoran di gedung yang di maksud oleh gadis itu tentu saja bukan tempat biasa seorang karyawan bisa bersantap di sana, kecuali ingin menguras habis gajinya dalam sebulan.
Ia merasakan desiran aneh di dalam hatinya. Kecurigaannya bahwa Tiara pasti di ajak seseorang minimal selevel direktur perusahaan. Wajah tampannya seketika memanas, perasaannya merasa sangat terganggu.
"Siapa yang mengajakmu pergi ke sana?" tanya Attaya dengan nada tajam.
Tiara mengerjapkan matanya, ia terkejut mendengar pertanyaan lelaki itu yang baginya sudah bukan urusan siapapun di kantor ini, karena apa yang akan dilakukannya bukan masalah pekerjaan.
"Kenapa Bapak ingin tahu?" Tanpa sadar, Tiara bertanya merasa heran dan ketus.
"Ya kan saya mau gabung, saya harus tahu dong, supaya gak kaku nantinya," elak Attaya yang melihat sorot mata kekesalan dari gadis itu.
"Sebenarnya lokasi masih tentatif, Pak. Kami belum memutuskan secara pasti," jawab Tiara mulai kebingungan mencari alasan.
"Baik, aku akan tunggu di sini sampai dapat kabar kepastian di mananya," keukeuh Attaya, sorot matanya menantang.
Tiara semakin kebingungan. Ia tidak mengerti kenapa seorang CEO punya begitu banyak waktu luang malah ingin menunggu receh seperti dirinya.
Tiara menghela napas panjang. "Tolong beri aku pekerjaan supaya aktif otakku dan kebutuhan pembuangan energi juga berjalan," pinta Tiara. Ia berharap lelaki di hadapannya itu segera pergi dari sana.
Gadis itu mulai merasa risih saat orang-orang yang melewatinya, meskipun hanya satu-dua orang, menatap dengan pandangan aneh. Sejak Attaya duduk di hadapannya.
"Pasti sebentar lagi, gosip santer di sini," gumam Tiara dan Attaya mendengarnya dengan jelas.
"Gosip apa? Tentang kita?" cetus attaya tepat sasaran.
Tiara terdiam. Ia benar-benar merasa risih sekarang. Tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakannya, sementara orang yang memindahkan dirinya dari lantai satu ke lantai tiga, terus duduk di hadapannya. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengusir orang itu.
Dengan gelisah, gadis itu terus-menerus melirik jam berlogo Bank yang tergantung di dinding. Dirinya hanya ingin segera kabur dari sana saat jam istirahat tiba.
"Kamu kenapa? Tidak suka saya di sini?" Attaya selalu bisa menebaknya dengan tepat.
"Bu-bukan begitu, saya cuma tidak ingin menjadi pembicaraan orang," ujar Tiara setengah berbisik.
"Kenapa mesti jadi gunjingan? Ini kantor saya juga dan kamu bekerja di sini, apa salahnya dengan hal itu? Apa kalau kita satu kantor, kamu di sini, saya di luar, gitu?" Attaya merasa kesal karena gadis itu tidak terlihat tertarik kepadanya.
'Apakah dia punya pacar? Tidak. Aku harus menaklukannya.' batin Attaya, yang tidak juga beranjak dari kursi di depan Tiara.
◇◇◇