Terbangun pagi-pagi saat hujan baru saja reda. Udara sejuk membuat gadis yang ingin melupakan peristiwa kemarin dan cukup mengguncang hatinya itu, merasa segar dan bugar. Ia mengucek matanya yang terasa gatal sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk bersandar pada tembok lalu meraih telepon genggamnya. Ada pesan masuk dari salah seorang temannya yang semalam ia hubungi.
'Tia, udah siap belum, bawa berkas lamarannya ya, aku tunggu langsung dilokasi, ok? See you,'
Tiara melompat bangun dan tergesa-gesa ke kamar mandi. Ia memang sudah meminta pekerjaan pada temannya itu, tapi tidak disangkanya kalau begitu cepat harus walk in interview.
Mandi hanya dengan mengguyur air, tanpa sabun, ia meraih handuk dan cepat-cepat kembali ke kamarnya. Baju-baju kerjanya memang belum ia turunkan dari koper. Kini ia kesulitan memilih pakaian karena terlipat dan menumpuk. Alhasil, baju yang tidak ingin dipakainya ia lempar ke segala arah sampai menemukan yang cocok untuk interview.
Tiara memilih blouse berwarna putih s**u^, memadankannya dengan rok A line selutut. Lalu ia menyampirkan scarf pada leher bajunya sekedar memberi aksen manis pada penampilannya.
Tanpe memakai bedak, ia hanya membubuhkan krim pagi dan pelembab yang sekaligus berfungsi sebagai foundation. Tidak lupa menyapukan maskara dan blush on tipis, terakhir lipstik berwarna nude, membuat wajahnya tampil mewah walaupun kosmetik minimalis yang diterapkannya.
Map, tas, telepon genggam yang dimasukkan ke dalam tas, sepatu pantofel setinggi tiga sentimeter lalu menyisir rambutnya dengan jari-jemari. Setelah puas dengan hasilnya, Tiara melesat keluar dan mencegat taksi untuk ke kantor temannya, Fika.
Pagi-pagi memang macet di mana-mana apalagi di kota yang selain dijuluki kota hujan tapi juga sering disebut sebagai kota seribu angkot atau angkutan kota tersebut menambah panjang kemacetan. Dengan gelisah, Tiara bolak balik melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Hari pertama interview adalah hari yang menentukan pada penilaian kedisiplinan. Ia begitu resah karena yakin akan gagal dalam penilaian itu.
Terbersit sekilas dalam benaknya, ingin turun dari taksi dan pindah mengendarai ojek pangkalan. Namun, bagaimana dengan rambutnya yang khawatir akan acak-acakan dan kusut serta tampak kusam? Ia bergidik membayangkan hal itu.
Telepon genggam Tiara berdering. Tertera nama Fika di sana, jantungnya berdebar-debar merasakan tidak enak hati karena pasti Fika kecewa padanya. Sudah satu jam berlalu dari jam yang telah ditentukan. Dengan perasaan putus asa, ia mengangkat telepon.
"Halo, Fika ... sorry banget ini macet berat, Fik," sapa Tiara sekaligus menjelaskan keadaannya.
"Oh, tapi kamu sudah di jalan ya? Santai aja, Tia. Interview di undur jadi jam sepuluh. Soalnya kami kedatangan pimpinan dari Jakarta. So, pihak HRD ada meeting sampai jam sembilan. Kamu kabarin kalau udah sampai ya! Bye, Tia." Fika memutuskan sambungan dengan tergesa-gesa.
"Oh my God! Thanks a lot!" gumam Tiara tertahan, yang seketika merasa ada beban berat dan terlepas begitu saja dari pundaknya.
Kini, ia bisa duduk dengan posisi melorot di jok belakang, tidak lagi merasa tegang seperti tadi. Sambil melihat suasana lalu lintas, Tiara kembali teringat peristiwa memalukan yang dilakukan oleh teman sekemarnya waktu kos kemarin.
Hilda memang sangat keterlaluan sampai membuat Tiara merasa sangat malu dan merasa bersalah kepada Attaya. Ia tidak sanggup membayangkan jika suatu saat bertemu dengan Attaya entah di mana, rasanya ingin menggali tanah dan mengubur diri di sana. Tubuh Tiara merinding. Ia berharap bisa melupakan semuanya dan tidak akan pernah bertemu dengan lelaki itu lagi di dunia manapun!
Tidak disadarinya, ia telah memasuki kawasan perkantoran yang membuat gadis itu membelalakkan matanya. "Ini Pak kantornya?" tanya Tiara kepada sopir taksi yang mengantarkannya.
"Iya, Mbak ... di sini. Nah yang Mbak mau datangi, gedung yang tengah-tengah itu Mbak," sahut sopir taksi sambil menunjuk gedung yang masih jauh dari mereka saat itu.
"Wow, saya gak tahu ada kompleks perkantoran yang keren di kota ini," decak kagum Tiara tidak bisa ia sembunyikan.
"Iya, Mbak ... pemiliknya salah satu konglomerat muda di negeri ini." sahut sopir taksi.
Tiara tidak begitu mempedulikan perkataan pak sopir karena ia sibuk mengagumi bangunan gedung yang bergaya klasik modern. Sampai-sampai ia lupa untuk menghubungi temannya kalau sudah sampai.
Taksi berhenti di depan lobby setelah memutari taman yang berbentuk lingkaran dan ada patung kuda di tengah-tengahnya. Membuat area tersebut terlihat megah dan mewah.
Gadis itu turun dari taksi setelah membayar argo yang cukup mahal baginya. Lalu ia turun dan merogoh telepon genggam dari tasnya. Merasa tidak menemukan benda itu, Tiara mencarinya dengan melihat ke dalam tas sambil berjalan perlahan. Akhirnya ia menemukan telepon genggamnya dan BUGH! Tubuhnya menabrak seseorang dengan keras. Telepon genggamnya terlempar dan jatuh ke atas lantai beton.
Tanpa memperhatikan dengan siapa ia bertabrakan, Tiara justru lebih mempedulikan barang berharga yang dimilikinya itu. Benda pipih itu jatuh dengan keras dan melihat dari bentuknya yang sudah menjadi dua bagian, Tiara yakin kalau gawai tersebut rusak parah dan tidak bisa dipakai lagi.
Seketika matanya memerah saat mengambil pecahan telepon genggamnya. Satu per satu, titik air mata jatuh dari sudut mata indah itu. Kemudian, dengan menunduk menyembunyikan tangisnya, Tiara melangkah menjauhi lobby sambil menggenggam gawai yang telah hancur layarnya.
Lelaki yang bertabrakan dengan Tiara, terkejut setengah mati melihat gadis yang dikenalnya. Ia juga melihat jelas bagaimana gadis itu terlihat panik saat kedua matanya mengikuti arah telepon genggamnya melayang di udara lalu terjatuh dengan keras, termasuk titik air mata yang membasahi pipinya yang merona.
Ia terpaku beberapa saat sebelum menyadari bahwa gadis itu melangkah menjauhi tempat ia berdiri tanpa menoleh sedikitpun kepadanya. Padahal ia merasa yakin bahwa dirinya akan dicaci maki oleh wanita itu.
Setelah tersadar dari lamunannya, lelaki itu segera mengejar Tiara sambil memanggil nama gadis itu. "Tiara ... maafkan aku, aku gak sengaja menabrakmu!" serunya yang semakin mendekati gadis itu.
"It's oke, gak apa-apa, Kok." sahut Tiara tanpa menoleh sedikitpun.
"Biar aku ganti HP-nya ya? Maafkan aku, Tiara ...." Lelaki itu hampir menjejeri langkah Tiara dan saat itu Tiara berbalik karena menyadari satu hal. "Dari mana tahu nama--." Kalimat Tiara berhenti saat kedua bola matanya menangkap sosok lelaki yang ingin dihindarinya sambil membelalak.
"Ka-kamu?!" Tiara tergagap. "Ah, kenapa harus bertemu orang yang aku sangat malu karenanya, ya Tuhaan ... la--larii ...." ujar Tiara kepada dirinya sendiri. Dia lari menuju arah keluar dari area perkantoran tersebut.
Tidak berpikir panjang, lelaki itupun ikut berlari mengejar Tiara. "Tiara! Berhenti!" seru lelaki itu. Melihat sang bos mengejar seorang wanita, keamanan dengan sigap menangkap Tiara dan meringkus gadis itu yang terus berontak minta dilepaskan.
"Lepaskan dia! Siapa yang suruh kalian menyentuhnya?!" Teriak lelaki itu sambil menarik lengan Tiara dan memeluknya erat-erat. "Jangan berontak kalau gak mau diringkus satpam-satpam itu," bisik lelaki yang tidak lain adalah Attaya Mahendra, si pemilik area perkantoran di sana.
"Sudah, bubar ini masalah pribadi saya." Attaya meminta semua orang yang melihat ke arahnya membubarkan diri. Kemudian ia menggandeng Tiara menuju gedung paling depan dan memasuki lift khusus direksi yang terletak di samping pintu lobby.
Karena merasa sangat malu hingga tidak berani mengangkat kepalanya yang pasti sedang dilihat orang-orang, Tiara terus menyembunyikan wajahnya pada d**a^ lelaki itu. Ia menghirup aroma maskulin dari tubuh Attaya yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
Setelah berada di dalam lift, Attaya memeluk gadis itu semakin erat. "Kenapa kamu harus lari sih? Kamu tahu gak, aku mencarimu kemana-mana, tidak peduli dicaci maki dan diusir orang, aku rela asal bisa menemukanmu. Tolong jangan lari lagi dariku," ucap Attaya bertepatan dengan pintu lift terbuka.
Attaya menggandeng Tiara menuju sebuah ruangan yang rupanya tempat ia berkantor saat berada di sana. Setelah masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu, lelaki itu memapah Tiara menuju sofa. "Sudah gak ada orang, kamu boleh menampakkan wajah cantikmu," ucap Attaya dengan lembut.
Perlahan Tiara membuka matanya dan mulai menoleh ke depan. Ia melihat ruangan yang begitu luas dan mewah, membuatnya terpana hingga mematung di tempat. Attaya menarik perlahan pinggang ramping Tiara dan membawanya duduk di kursi sofa yang berlapis kulit.
Gadis itu akhirnya duduk, tapi ia tidak bicara apa-apa seakan tenggorokannya tercekat.
"Maafkan aku." Attaya mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
◇◇◇◇