"Laraaa, Laraaa, kenapa sih kok akhir-akhir ini cemberut terus?"
Bukannya menghilangkan wajah cemberutnya karena ditanya seperti itu, Lara justru mendengus dan kian cemberut. Di sebelahnya, ada Sean yang memiringkan kepala sembari bertopang dagu memandang Lara. Laki-laki itulah yang tadi mengajukan pertanyaan tersebut, tepat setelah bel istirahat kedua berdering.
"Yaelah, Ra, dari tadi pagi ngeliat lo cemberut terus, rasanya kayak gue yang diambekin."
"Ya, kan gue nggak lagi ngambek sama lo!" sungut Lara.
"Iya, gue tau. Gue juga ngerasa nggak punya salah kok. Makanya ini gue tanya kenapa? Cerita dong, princess."
Alasan Lara cemberut sepanjang hari ini sudah jelas, tentu saja karena perdebatannya dengan Jala di mobil tadi. Membayangkan bagaimana mereka berpelukan di sisa perjalanan menuju sekolah saja sudah membuatnya kesal, apalagi membayangkan gigihnya Jala yang mendebat Lara mengenai papi mereka yang harus menikah. Rasanya Lara jadi kesal pangkat sepuluh, alias kesalnya berkali-kali lipat.
Sean yang merupakan teman sebangku Lara tentu saja menyadari bad mood-nya perempuan itu. Selama lebih dari enam bulan duduk bersama sudah cukup untuk membuatnya paham dengan sikap dan sifat Lara.
"Jadi, kenapa nih, princess? Katanya gue sahabat lo, masa nggak mau cerita sih?"
"Idih, emang kapan gue bilang kalau kita sahabatan?"
"Nggak usah sok deh, di kelas ini lo kan cuma deket sama gue doang. Abisnya yang lain antara segan duluan mau dekat sama lo, atau ogah karena mereka antek-anteknya Anette."
Lara hanya bisa mendengus. Mau protes juga tidak bisa karena yang dikatakan oleh Sean benar. Di kelas ini, cuma Sean lah yang bisa dikategorikan sebagai teman dekat Lara. Berbeda dengan Jala yang supel dan punya banyak teman dari berbagai angkatan, Lara justru kebalikannya. Ia hanya punya sedikit teman karena banyak yang segan untuk berteman apalagi dekat dengan Lara, karena Lara yang kelewat pintar, latar belakangnya tidak main-main, susah didekati karena sifatnya yang tertutup, dan yang paling utama, Lara pelit ngasih contekan!
Di kelas ini, Sean lah satu-satunya yang tahan banting dan berani untuk berteman serta mengakrabkan diri dengan Lara. Jadi, Sean memang satu-satunya tempat Lara bisa bercerita ketika ia sedang punya masalah di rumah.
"Gue tuh lagi sebel banget, Sean. Pas di jalan ke sekolah tadi, gue berantem sama si Jala. Eh, enggak sih, udah dari kemarin berantemnya, tapi tadi lebih parah karena berantemnya di depan Papi. Jadi, di tengah jalan Papi berhenti terus nyuruh gue duduk sampingan sama Jala dan kita disuruh pelukan sampe sekolah! Males banget!"
Dari raut wajahnya, terlihat sekali kalau Sean menahan tawa karena cerita Lara.
"Emang berantemnya karena apa?"
Meski sebal pada Sean karena tahu temannya itu menahan tawa, namun Lara mengabaikannya saja dan lanjut bercerita, "Jadi, lo tau kan waktu gue sama Jala abis ditangkep polisi tuh? Nah kan masalahnya heboh ya sampe ke keluarga, Oma gue sampe dateng dan ngomel abis-abisan. Terus, Papi gue juga diomelin lah, dan Jala nguping. Katanya Oma nyuruh Papi buat segera nikah dan waktu gue denger Jala nanyain itu ke Papi, Papi tuh kayak ngasih lampu ijo gitu. Gue bete banget anjir, jadi gue bilang aja kalau gue nggak mau Papi nikah. Ujungnya malah Jala marah-marah ke gue, bilang gue egois, blabla, soalnya dia pro banget kalau Papi nikah. Jadilah, kita berantem dari kemarin sampe tadi pagi."
"Ra, lo serius nggak mau papi lo nikah?" itulah yang pertama kali ditanyakan oleh Sean usai Lara bercerita. Ia sudah tidak lagi menahan tawa dan kini ada di dalam mode serius.
"Iya, gue serius," jawab Lara mantap. "Gue nggak mau Papi nikah, Sean. Gue nggak mau punya mami karena gue butuh. I'm beyond fine without mommy's presence all my life."
"Tapi, Ra, coba lo pikir deh, emangnya bokap lo nggak butuh istri?"
Lara terdiam.
Sial, kenapa Lara rasanya seperti ditampar oleh kenyataan ya karena pertanyaan Sean itu? Demi apapun, Lara jadi semakin bete. "Ternyata lo sama aja ah kayak Jala. Nyebelin."
"Eh, Ra, mau kemana?!" tanya Sean panik begitu Lara tiba-tiba berdiri.
"Ke toilet!"
"Yaudah ayo, gue temenin."
"Nggak perlu!"
Sebelum Sean bisa menahannya, Lara sudah terlebih dahulu berjalan cepat, bahkan ia pun langsung berlari begitu keluar kelas karena takut Sean akan mengejarnya. Lara baru berhenti berlari begitu ia sudah berbelok ke koridor yang lain dan yakin kalau Sean tidak menyusulnya.
Lara sendiri sebenarnya tidak mau ke toilet. Ia cuma mengarang alasan saja agar bisa pergi dari Sean. Habisnya Lara sebal, reaksi Sean terhadap ceritanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Padahal Lara butuh validasi kalau pendapatnya benar, namun Sean justru lebih memihak Jala. Bagaimana Lara tidak kesal?
Karena itu, Lara mau sendirian sekarang. Ia ingin jalan-jalan mengelilingi sekolah hingga jam istirahat ini berakhir. Di saat sedang merasa kesal begini, biasanya Lara akan berjalan sembari sedikit menghentakkan kaki dan menundukkan kepala karena ia sibuk ngedumel. Tak terkecuali saat ini.
Sehingga ketika dirinya berbelok menuju koridor lain, Lara sama sekali tidak hati-hati dan tanpa sadar menabrak seseorang dengan cukup keras. Lara langsung menganga dan panik begitu sadar kalau yang ditabraknya adalah seorang guru.
"Ya ampun, Ibu, maaf! Saya nggak sengaja!" seru Lara panik. Syukurnya, guru yang dia tabrak tidak sampai terjatuh, hanya barang bawaannya berupa buku-buku saja yang berceceran di lantai.
Dengan sigap, Lara langsung mengambil buku-buku milik guru itu, kemudian kembali berdiri setelah semuanya Lara kumpulkan. Yang ditabrak oleh Lara ternyata Semira, guru bimbingan konseling tempo hari.
"Sekali lagi maaf ya, Bu. Tadi saya jalannya nggak hati-hati, Maaf banget, Bu."
Semira tersenyum pada Lara, yang mana membuatnya cukup lega sebab gurunya itu sama sekali tidak terlihat marah. "Nggak apa-apa, Lara. Salah saya juga karena tadi jalannya terlalu cepat."
"Kalau gitu saya bantu bawa barang-barang Ibu ya. Ibu mau kemana? Ke kantor?"
"Nggak perlu, Lara. Saya nggak mau ngerepotin kamu."
"Ih, nggak apa-apa, Bu. Ini sebagai permintaan maaf saya." Lara bersikeras.
Pada akhirnya, Semira pun tidak bisa menolak.
***
"Lara, makasih banyak ya karena udah bantu bawain barang-barang Ibu."
Lara yang baru saja meletakkan buku-buku milik Semira di mejanya yang ada di ruangan bimbingan konseling pun tersenyum dan mengangguk.
"Sama-sama, Ibu. Saya juga minta maaf lagi karena udah nabrak Ibu tadi."
"Kamu ini daritadi minta maaf mulu, padahal udah Ibu bilang nggak apa-apa."
Lara menggaruk tengkuknya canggung. Bagaimana tidak mau minta maaf terus, ia kan sudah menabrak seorang guru, yang menurut Lara bisa saja jadi masalah yang fatal. Untungnya ia menabrak Bu Semira yang baik hati, andai menabrak guru killer, mungkin Lara sudah kena omel habis-habisan.
Kalau Bu Semira justru baik. Bahkan di sepanjang perjalanan mereka dari koridor menuju ruang BK pun, Semira mengajak Lara mengobrol. Hingga Lara pun tahu kalau guru bimbingan konseling itu baru saja mengisi kelas s*x-education untuk siswa kelas dua belas. Buku-buku yang dibawa oleh Semira tadi pun adalah buku-buku mengenai materi itu.
"Kalau gitu saya permisi dulu ya, Bu," ujar Lara. Ia memang sudah tidak sabar ingin cepat-cepat keluar dari ruangan yang cukup membuatnya merasa traumatis. Walau Semira baik, namun Lara tetap tidak suka berada di ruang BK.
"Eh, nanti dulu Lara. Saya mau ngobrol sebentar sama kamu, boleh?"
Waduh, kenapa nih? batin Lara yang otomatis panik. Siapa juga kan yang tidak panik karena tiba-tiba mau diajak mengobrol oleh guru bimbingan konseling?
Lara tentu tidak bisa menolak. Begitu dipersilahkan duduk, Lara menarik kursi yang berhadapan langsung dengan kursi Semira dan duduk disana.
"Lara, gimana kabarnya? Nggak digangguin Anette lagi, kan?"
Lara menggeleng. "Enggak, Bu. Kita udah baik-baik aja."
Jawaban yang tidak sepenuhnya benar, namun tidak juga sepenuhnya salah. Setelah bertengkar waktu itu, Lara dan Anette memang sudah tidak saling mengganggu lagi, tapi bukan berarti hubungan mereka berkembang jadi teman. Saat di acara Albert saja Anette hampir menyenggol Lara lagi, andai saja Jala tidak mencegahnya. Tapi itu kan tidak perlu diketahui Semira. Bisa gawat kalau pihak sekolah tahu beberapa siswanya sempat ditangkap polisi karena terkena razia di kelab malam.
"Bagus deh kalau begitu," ujar Semira diiringi senyum lega. Namun, senyuman itu hanya bertahan sedetik dan langsung diganti dengan raut serius. Semira berujar lagi, "Sebenernya Ibu mau ngomongin hal yang lain sih, Lara. Berhubung kita nggak sengaja ketemu, jadi Ibu sekalian mau nanya dan minta tolong sama kamu."
"Tentang apa ya, Bu?"
"Tentang Jala."
HAH.
Lara kaget, sekaligus penasaran. "Duh, maaf Bu, ini kembaran saya bikin ulah apa lagi ya?"
Semira meringis. "Saya baru dapat laporan dari guru yang mengajar di kelas Jala, kalau Jala dan beberapa temannya bolos kelas di dua jam terakhir. Selama seminggu ini, mereka udah beberapa kali begitu. Kamu tau?"
Lara menggelengkan kepala. Ini benar-benar informasi baru. Kalau papi mereka sampai tahu, Jala pasti akan mendapat hukuman tambahan.
"Apa saya perlu kasih tau Papi, Bu?"
"Kalau itu terserah kamu, Lara. Tapi untuk sekarang, pihak sekolah masih mau menegur siswa-siswanya secara langsung, kalau masih berlanjut baru kami akan melibatkan pihak orangtua. Nah, yang mau Ibu tanya, kira-kira kamu tau nggak mereka bolos kemana? Perkiraan Ibu, mereka perginya nggak jauh dari area sekolah. Karena tas-tas mereka juga masih ditinggal di kelas."
Lara langsung berpikir dimana sekiranya Jala dan teman-temannya membolos. Walau sering ribut, tapi Jala dan Lara cukup banyak berbagi cerita antara satu sama lain, termasuk Jala yang sering menceritakan tentang kehidupan bersama teman-temannya. Jadi, Lara mencoba mengingat-ingat apakah Jala pernah menyembut tempat 'rahasia'-nya.
Tidak butuh waktu lama hingga lampu ide muncul di kepala Lara. Ia menjetikkan jari dengan semangat, lalu dengan yakin menyampaikan kepada Semira, "Kayaknya saya tau mereka dimana, Bu!"
***
Area belakang sekolah adalah area yang paling jarang dijamah oleh para siswa. Selain karena disana hanya ada gudang, di area belakang sekolah uga tumbuh sebuah pohon beringin besar yang katanya angker sehingga tidak ada yang berani kesana.
Siswa-siswa yang bolos pun biasanya tidak akan lewat area belakang ini dan lebih memilih tembok samping sekolah. Karena di area belakang, temboknya lebih tinggi dan bagian atasnya juga dipasang kawat-kawat tajam. Selain itu, temboknya pun licin karena berlumut dan banyak ditutupi oleh sulur-sulur yang berasal dari si pohon beringin, juga tanaman gantung yang entah kenapa tumbuh hingga hampir menutupi semua bagian tembok.
Namun, Lara ingat kalau Jala pernah bercerita ia dan teman-temannya menemukan jalan rahasia di tembok belakang sekolah. Katanya, ada sebuah lubang di tembok itu yang muat untuk dilalui satu orang. Lubang itu tertutup oleh sulur tanaman sehingga dalam sekali lihat, orang-orang tidak akan tahu. Jika melewati lubang itu, maka bisa langsung sampai ke luar sekolah, tepatnya langsung sampai ke sebuah warung. Jala bilang, ia dan teman-temannya sering nongkrong disana.
"Kamu yakin, Lara?"
Lara mengangguk. "Seratus persen yakin, Bu. Mereka pasti kabur kesana."
Sekarang, Lara sudah berada di area belakang sekolah bersama Semira, serta beberapa satpam sekolah. Mereka siap untuk menggebrek Jala dan teman-temannya yang diyakini kabur lewat lubang itu.
"Oke, ayo kita liat kesana."
Perkataan Semira itu menjadi aba-aba bagi mereka untuk mulai berjalan. Melewati pohon beringin, kemudian sampai di tembok yang tertutupi sulur tanaman paling tebal. Pak satpam yang berjalan paling depan pun menyibak sulur tanaman tersebut, hingga terlihatlah lubang yang memang bisa dilewati oleh satu orang.
Satu per satu, mereka masuk ke lubang itu. Ternyata memang benar, ada sebuah warung yang langsung terlihat. Warung itu tidak begitu besar, namun penuh oleh supir angkot, tukang ojek online, dan...beberapa siswa berseragam SMA.
"TERNYATA MEREKA BENER DISINI, BU!"
Seruan Lara itu membuat para siswa berseragam SMA disana menoleh dan seketika membelalakkan mata dengan horror melihat siapa yang datang. Di antara mereka ada yang sedang merokok, main game, ngopi, sedangkan Jala baru saja menggigit sebuah pisang goreng ketika Lara berseru.
Semira berdecak dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan muridnya. "Bawa mereka semua balik ke sekolah, Pak," perintah Semira pada petugas keamanan sekolah yang dibawanya.
Semua siswa-siswa nakal itu langsung ditangkap dan dibawa kembali menuju sekolah. Terlihat sekali kalau semuanya menatap penuh dendam pada Lara, terutama Jala. Begitu berjalan melintasi kembarannya itu, Jala menggeram, "Laraaaa, lo cepu bangetttttt!"
Lara hanya bersiul-siul dan memberikan flying kiss pada Jala. Itulah ganjarannya kalau si Aa membuat adiknya kesal.
"Terima kasih banyak ya, Lara, karena udah mau kooperatif bantuin Ibu nangkap mereka. Karena kamu, Ibu jadi tau jalan rahasia dan tempat bolos mereka," ujar Semira sembari menepuk-nepuk pelan bahu Lara usai para siswa nakal itu berlalu.
Lara memberikan cengiran lebar pada gurunya itu. "Iya, Ibu, sama-sama. Emang udah seharusnya saya bantu membasmi kenakalan. Apalagi kalau yang nakal kembaran saya sendiri. Tolong dihukum secara maksimal ya, Bu."
Semira terkekeh, takjub karena Lara yang begitu semangat ingin kembarannya dihukum.
"Tenang aja, mereka pasti dihukum."
"Oh ya, kalau nanti Ibu butuh bantuan saya lagi, langsung panggil saya aja ya, Bu. Saya pasti siap bantu kapanpun!"
"Kalau gitu, mulai hari ini kita bisa jadi partner pembasmi kenakalan ya?"
"Bisa dong!"
Semira merangkul Lara dan mereka pun berjalan kembali menuju sekolah diiringi senyuman.
Karena bertemu Bu Semira, mood Lara hari ini jadi membaik. Ia senang karena bisa menangkap Jala yang nakal, juga senang karena merasa akrab dengan Semira yang hari ini secara resmi menjadi guru yang menurutnya paling menyenangkan.