ten : third encounter

2092 Kata
Sudah Hamdan bilang kan, jika ibunya telah merencanakan sesuatu untuk anak-anaknya, maka mereka tidak akan bisa menolak atau kabur dari rencana ibunya itu. Contohnya saja Harlan yang waktu itu terpaksa bulan madu dengan istrinya karena rencana sang ibu yang geram melihat mereka terlalu sibuk bekerja sampai tidak sempat bulan madu, padahal saat itu mereka pengantin baru. Kali ini, Harlan lah yang terjebak dalam rencana ibunya yang telah merencanakan sebuah pertemuan bagi Hamdan dan seorang perempuan yang katanya, anak dari teman perempuan ibunya. Jujur saja, Hamdan enggan sekali menghadiri pertemuan ini yang bisa dibilang adalah blind date. Pertama karena ia tidak pernah melakukan blind date sebelumnya, meskipun beberapa kali ibunya dan teman-teman Hamdan mencoba mengatur itu untuknya, tetapi Hamdan selalu menolak. Kedua, Hamdan merasa enggan karena memang ia merasa belum siap dan ini terlalu cepat. Dan yang ketiga, ibunya mengatur pertemuan di Toute la Journèe, restoran milik Jendra. Untuk alasan yang ketiga itulah yang membuat Hamdan paling malas. Sebab jika bertemu Jendra disana, sudah bisa dipastikan ia akan diledek habis-habisan. Membayangkannya saja sudah membuat Hamdan sebal. Ia hanya bisa berharap semoga saja temannya itu sedang tidak berada disana. Walau punya banyak alasan yang membuatnya merasa enggan untuk datang ke pertemuan itu, tetap saja Hamdan tidak punya pilihan lain. Ibunya pasti akan marah besar jika ia tidak datang. Karena tidak ingin membuat ibunya marah, maka usai jam kantornya selesai, Hamdan langsung menuju ke Toute la Journèe, restoran fine dining milik Jendra yang letaknya di lantai paling atas hotel bintang lima. Harapan Hamdan langsung pupus begitu ia memasuki restoran mewah itu. Sebab sosok Gajendra Luki Paramartha langsung terlihat begitu Hamdan baru melangkahkan kaki. Bahkan sepertinya, laki-laki itu menunggu Hamdan, seolah tahu kalau Hamdan memang akan datang ke restorannya. Jendra berdiri di dekat pintu masuk, persis di sebelah meja penerima tamu. Laki-laki tinggi itu langsung tersenyum menyebalkan pada Hamdan sembari bersiul-siul jahil. "Gue denger-denger ada yang mau blind date nih." Hamdan memutar bola mata. Sial, jika Jendra sudah tahu begini, berarti ibunya langsung memesan tempat lewat laki-laki itu. "Shut up, Jen," sungut Hamdan kesal. Jendra terkekeh. "Apa sih? Kok malah bete? Orang mau nge-date tuh harusnya senyum! Bahagia!" Mana bisa Hamdan bahagia karena ini bukan kemauannya sendiri. Hamdan terpaksa. Dan ia rasa, tidak ada orang yang bisa menjalani sebuah kencan dengan bahagia di saat mereka terpaksa seperti Hamdan begini. "Nggak usah banyak omong, Jen. Mending langsung bawa gue ke tempatnya." "Oh, udah nggak sabar nih?" ledek Jendra. "Padahal cewek lo belum dateng. Dengar kabar dari nyokap lo sih, katanya cantik banget, Dan. Wanita karir lagi!" "Ya, ya, terserah deh," ujar Hamdan oga-ogahan. Jendra tertawa lagi, tapi kali ini ia mengajak Hamdan untuk berjalan mengikutinya untuk lebih masuk ke dalam restoran Toute la Journèe yang interiornya serba mewah itu. "Nyokap lo udah pesan spot khusus yang paling romantis disini. Katanya, siapa tau kan karena suasananya romantis, kalian bisa saling kepincut di pertemuan pertama ini." "Jangan banyak berharap deh." "Duh, lo juga jangan skeptis dulu gitu. You don't know, siapa tau nanti malah tertarik dan emang ketemu jodoh." Hamdan hanya mengedikkan bahu saja menanggapi. Mereka pun sampai di sebuah meja kosong untuk dua orang yang kata Jendra tadi merupakan spot paling romantis di restoran ini. Meja itu memang diincar oleh banyak pasangan yang sedang berkencan karena letaknya yang bersebelahan langsung dengan sebuah jendela tinggi dan besar. Karena restoran itu terletak di lantai paling atas sebuah gedung tinggi, maka dari jendela itu terlihat pemandangan garis langit yang dihiasi gedung-gedung pencakar langit ibukota. Saat matahari masih bersinar seperti sekarang saja pemandangannya sudah indah, apalagi jika di malam hari. "Nah, nyokap lo pesan, katanya selama nge-date nanti lo harus baik, jangan dijutekin. Gue disuruh buat ngingetin lo dan memastikan kalau lo berperilaku baik selama nge-date disini. Hehehe." "Mending lo sekarang pergi deh, Jen. Lo berisik." "Iya nih, gue pergi. Tapi inget ya, harus baik! Jangan jadi kulkas dua pintu!" Jendra mengingatkan. Dengan jari telunjuk dan jari tengahnya ia membuat gestur menunjuk kedua mata, lalu menunjuk pada Hamdan. "I'm watching you..." Hamdan hanya mendengus, lantas membiarkan saja Jendra pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Kemudian, jadilah Hamdan duduk sendirian di meja itu. Berhubung ini sore hari, keadaan Toute la Journèe bisa dibilang sepi. Hanya beberapa meja saja yang terisi. Ada yang terisi oleh pasangan, dan ada pula yang sepertinya terisi oleh rekan kerja. Selagi menunggu orang yang akan dikenalkan oleh ibunya datang, Hamdan memilih untuk melihat pemandangan di luar jendela. Padahal belum juga orang itu datang dan pertemuan dimulai, tapi Hamdan sudah merasa bosan dan rasanya ingin pulang. Ketimbang bertemu dengan perempuan yang bahkan nama dan rupanya saja belum Hamdan ketahui karena ibunya tidak memberitahu (supaya kejutan, katanya), lebih baik Hamdan menjemput anak-anaknya di sekolah dan mengajak mereka makan bersama setelahnya. Yah, tapi saat ini Hamdan hanya bisa menjalani keadaan saja. It will pass, pikirnya. Hamdan pun sudah berniat tidak akan membuat pertemuan ini berlangsung lama. Ia sendiri berharap, semoga perempuan yang akan ditemuinya nanti adalah tipikal perempuan yang peka, sehingga jika nantinya Hamdan merasa tidak nyaman atau tidak cocok, mereka bisa langsung menghentikan pertemuan ini secara baik-baik. Ini memang harapan yang bodoh, namun Hamdan sendiri berharap semoga saja mereka memang tidak akan cocok. Semoga- "Loh? Pak Hamdan?" Hamdan tersentak ketika mendengar namanya dipanggil oleh suara yang tidak asing di telinganya. Lalu lebih tersentak lagi ketika ia menoleh dan mendapati sosok perempuan yang ia kenal sudah berdiri di hadapannya. Hamdan terdiam di tempat karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sementara perempuan itu justru tertawa dan bertepuk tangan geli. "Wahh...beneran Pak Hamdan ternyata," ujarnya takjub. "Well...Ambar?" tanya Hamdan lewat gumaman. Ambar mengangguk semangat, senyumannya kian lebar, "Yep, that's me!" serunya. "Sumpah deh, ini lucu banget. I can't believe how small this world is! Ini pertemuan ketiga kita yang nggak disengaja dan ternyata kamu orang yang mau dikenalin sama mamaku! Aneh banget nggak sih?!" Hamdan mengerjapkan mata. Oke...apa katanya tadi? *** Tanpa terasa, satu jam sudah berlalu sejak Hamdan dan Ambar duduk berhadapan di meja itu. Meski mereka sudah berhasil menguasai keterkejutan masing-masing dan berakhir mengobrol seperti biasa, bahkan tanpa rasa canggung sama sekali, tetap saja Hamdan merasa takjub sendiri dan tetap tidak menyangka. Bisa-bisanya, dari sekian banyak perempuan di negara ini, ibunya justru mengenalkan Hamdan dengan sosok Ambar Kusumaputri, perempuan yang sebelumnya pernah ditemui oleh Hamdan secara tidak sengaja beberapa kali. Pertemuan pertama mereka tidak terlalu berkesan baik karena keduanya ada di ruang BK sekolah untuk menyelesaikan urusan pertengkaran anak-anak, sementara pertemuan kedua jauh lebih berkesan karena tiba-tiba dan terjadi di kota lain, sementara pertemuan ketiga ini...Hamdan tidak tahu harus menjelaskannya bagaimana. It's too mindblowing. Semesta memang terkadang suka sebercanda ini. "Hey, kenapa sih daritadi ngeliatin saya sampe segitunya? Something wrong with my face?" Hamdan mengerjap, lalu menundukkan pandangannya karena pertanyaan yang diberikan oleh Ambar. Ia baru sadar jika sedaritadi dirinya terlalu memerhatikan Ambar yang sedang memakan dessert, lebih lama daripada seharusnya. Sial, Hamdan jadi salah tingkah sendiri karena tertangkap basah oleh Ambar. Padahal, Hamdan tidak memiliki maksud apa-apa. Walau harus mengakui jika Ambar hari ini terlihat secantik kemarin-kemarin. "Sorry, Ambar. Nothing's wrong with your face. Saya cuma masih nggak nyangka aja kita ketemu lagi disini," jelas Hamdan jujur. Ambar tersenyum. "Saya juga nggak nyangka banget. Saya pikir, kita nggak akan ketemu lagi setelah di Semarang waktu itu, walaupun kita sendiri udah tukeran kartu nama. Karena saya pikir, kita nggak akan ada alasan untuk ketemu lagi. Tapi ternyata, surprise! Kita ketemu lagi, malah di agenda blind date yang diatur sama ibu-ibu kita. It's so funny." Hamdan ikut tersenyum, menyetujui perkataan Ambar bahwa memang ini semua terkesan lucu. Sejujurnya sejak tadi, mereka juga sudah membahas ini dan menertawakannya. Obrolan mereka pun terfokus pada upaya ibu-ibu mereka yang gencar mencarikan jodoh. Lewat cerita Ambar, Hamdan jadi tahu kalau nasib mereka tidak berbeda jauh. Mereka sama-sama single parent. Bedanya, Ambar baru beranak satu dan anaknya pun masih berumur dua tahun. Setelah Ambar bercerai dengan mantan suaminya yang telah berselingkuh setahun lalu, ibunya mendesak Ambar untuk segera mencari pasangan lagi. Padahal, Ambar sendiri belum merasa siap. Ia juga sebenarnya hanya terpaksa datang ke pertemuan yang telah diatur oleh ibunya ini. "Tapi karena kita udah saling kenal, jadinya nggak terlalu canggung," ujar Hamdan. Ambar mengangguk setuju. "Saya juga lega kok karena ketemu sama orang yang saya kenal. Ngebayangin harus ketemu sama orang baru apalagi yang bikin ngerasa nggak nyambung diajak ngobrol, duh rasanya malas banget." "Syukurlah kalau kamu ngerasa nyambung ngobrol sama saya." "Dari kita ketemu di Semarang waktu itu, saya emang udah ngerasa nyambung ngobrol sama kamu." "Me too, actually." "Glad to hear that!" Di ujung ruangan, Jendra menyaksikan interaksi mereka berdua yang sedari diperhatikannya penuh oleh senyuman dan obrolan yang tidak terkesan canggung sama sekali. Hamdan sadar kalau sedaritadi Jendra memerhatikannya, juga tahu kalau lelaki itu diam-diam memberikan live report kepada ibunya. Namun, Hamdan mengabaikannya saja. "Jadi, kamu beneran mau cari istri nih? Waktu nyuruh aku kesini, mamaku emang nggak bilang siapa yang mau aku temuin, tapi mamaku cerita kalau orangnya mau cari istri sekaligus ibu buat anak-anaknya karena udah belasan tahun sendiri. Bener tuh?" Hamdan menghembuskan napas. "Nggak juga sih sebenarnya. Saya memang selama ini didesak untuk menikah oleh ibu saya, tapi selalu nolak karena merasa belum siap dan belum mau. Kemarin saya mutusin untuk memertimbangkan untuk menikah, tau-tau ibu saya langsung set up pertemuan ini. Saya aja kaget banget karena super mendadak, dan sempat sebal juga." "Yahh, ternyata ibu-ibu kita sama aja ya." "Iya." "Tapi kamu nggak perlu khawatir ya. Jangan karena sebelumnya kita udah kenal, kamu jadi merasa nggak enak sama saya. Kita sama-sama ngerti kalau cara ibu-ibu kita ngejodohin begini terlalu tiba-tiba dan belum tentu juga kita bisa cocok. So, take it easy. Saya nggak masalah kok kalau setelah ini kamu mau nge-ghosting saya." Hamdan diam dan berpikir. Apakah ia akan melakukan itu? Rasa-rasanya tidak. Hamdan memang akan merasa tidak enak pada Ambar jika melakukannya. Karena sebelum pertemuan ini terjadi pun, mereka sudah saling mengenal dan hubungan keduanya juga  bisa dikatakan baik. Hamdan dan Ambar bisa mengobrol dengan nyambung dan selalu saja ada topik pembicaraan yang mengalir di antara mereka tiap bertemu. Lalu, tidak tahu kenapa Hamdan tidak bisa berhenti takjub dengan pertemuan mereka sekarang. Ia bukanlah tipikal seseorang yang percaya pada kebetulan dan keajaiban, tapi sekarang rasanya Hamdan seperti ditampar. Tiga kali sudah ia bertemu dengan Ambar secara kebetulan, tanpa firasat, tanpa pula rencana. Untuk yang pertama kalinya Hamdan merasa jika ini ajaib. Tidak, tidak, Hamdan tidak bisa dibilang sudah menyukai Ambar. Tidak secepat itu. Hanya saja, Hamdan merasa kalau ini seperti pertanda yang diberikan semesta kalau seharusnya mereka memang terus memiliki hubungan. Seminimal-minimalnya, jadi teman. "Kamu sendiri gimana Ambar? Saya juga nggak mau kalau kamu merasa nggak enak hati sama saya. Kalau kamu pun nggak mau kenal saya lebih jauh, saya juga nggak masalah kok. You can ghost me first." Ambar tertawa, yang mana harus Hamdan akui jika tawanya terdengar segar di telinga. Ditambah lagi, ketika tertawa Ambar terlihat semakin cantik dan image juteknya ketika diam saja pun lenyap seketika. "Jujur nih ya, Hamdan," ujar Ambar serius sembari bertopang dagu. Ia memang sudah menanggalkan embel-embel 'Pak' karena Hamdan yang menyuruhnya. Katanya supaya mereka bisa lebih santai. "Saya bakal jadi orang paling munafik sedunia kalau bilang kamu itu nggak menarik. Kalau saya nge-ghosting kamu, saya bakal rugi banget!" Hamdan tidak tahu harus menjawab apa dan hanya menggaruk tengkuknya dengan canggung. "Eh don't get me wrong ya! Bukan berarti saya naksir kamu, karena nggak secepat itu juga. Setelah pernikahan saya kemarin kandas, saya sekarang jadi lebih selektif lagi untuk cari pasangan saya kelak, jadi saya nggak akan asal naksir orang. Untuk sekarang saya tertarik kenal kamu lebih jauh sebagai teman," lanjut Ambar. "Tapi saya nggak maksa kok. Kalau kamu emang nggak nyaman, bilang aja. Saya nggak akan tersinggung." Sepengamatan Hamdan, Ambar ini orangnya humble, santai, dan apa adanya. Berbeda dengan kebanyakan perempuan yang selama ini pernah Hamdan temui, biasanya ssecara terang-terangan akan mencari perhatian pada Hamdan dan bersikap kelewat manis yang kerap membuat Hamdan risih. Tapi...Ambar tidak. Untuk yang pertama kalinya, Hamdan merasa tidak risih bersama dengan perempuan yang berusaha dijodohkan dengannya. Jadi, tidak salah kan jika pada akhirnya Hamdan tersenyum manis pada Ambar dan menjawab, "Saya juga mau kok kenal kamu lebih jauh, sebagai teman baik. Saya juga nggak bisa bohong kalau kamu pun orang yang menyenangkan. Selain itu, tiga kali kebetulan begini rasanya udah cukup jadi pertanda kalau kita harus terus berhubungan, kan?"  Masih terlalu dini jika lewat pertemuan ini dikatakan bahwa Hamdan sudah mau membuka hatinya untuk orang lain dan menjalin hubungan yang serius, namun anggaplah ini langkah awal Hamdan untuk merubah sedikit kehidupannya. Dan pertemuan hari ini pun ternyata tidak buruk juga, bahkan dapat dikategorikan menyenangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN