prelude : responsibility and heartbreak
Jika ditanya bagaimana rasanya menjadi seorang ayah, maka sosok Hamdan Septian Erlangga yang waktu itu masih SMA akan menjawab kalau iya tidak akan tahu bagaimana rasanya itu setidaknya hingga ia berusia dua puluh lima tahun, sudah mapan, sukses, dan memiliki istri yang cantik.
Kenyataannya, jawaban atas pertanyaan itu justru didapat oleh Hamdan jauh lebih cepat daripada seharusnya. Bukan di usia dua puluh lima, melainkan di saat usianya masih menginjak tujuh belas tahun. Tidak ketika ia sudah mapan dan sukses, melainkan ketika dirinya masih berada di tahun terakhir masa putih abu-abu, pengangguran, dan baru selesai ujian. Yang betul hanya satu, ibu dari anak-anaknya cantik. But it was too complicated for him to claim her as his wife.
Lantas, bagaimana rasanya jadi seorang ayah? Bagi Hamdan, rasanya sulit untuk dideskripsikan. Terutama ketika ia menjadi seorang ayah di saat dirinya belum betul-betul siap untuk itu.
Yang Hamdan ingat, jantungnya berdegup begitu kencang ketika ia dikabari bahwa perempuan itu, perempuan yang sangat dicintainya, akan segera melahirkan. Hamdan sampai harus mengerjakan ujian dengan cepat agar bisa segera pergi ke rumah sakit untuk menemaninya melahirkan. Karena mau bagaimana pun, Hamdan adalah ayah dari anak yang dikandung perempuan itu, sehingga ia ingin berada di sisinya ketika anak mereka lahir.
Hamdan tidak terlalu mengerti perkara persalinan. Ia bukan dokter, ibunya tidak pernah membahas perihal itu, dan Hamdan juga tidak punya saudara perempuan sehingga pengetahuannya benar-benar minim. Tapi ketika Hamdan sampai di rumah sakit, katanya perempuan itu sudah berada di bukaan delapan. Sedikit lagi sebelum ia dapat melahirkan.
Syukurlah, Hamdan berhasil sampai tepat waktu untuk berada di sisi perempuan itu dan menemaninya selama proses persalinan. Meski ia masih memakai seragam sekolah dan mengundang tatapan penasaran dari perawat yang ada disana, Hamdan tidak peduli.
"Sakit banget ya?" Pertanyaan bodoh itu sempat Hamdan lontarkan padanya di tengah-tengah kontrasi.
Padahal, jawabannya sudah jelas sekali. Tapi karena gugup bukan main, Hamdan jadi mengajukan pertanyaan konyol tersebut. Untungnya, dia tidak marah dan justru menggenggam tangan Hamdan erat. Peluh sebesar biji jagung membasahi kening dan lehernya akibat menahan sakit. Saat itu Hamdan berpikir, jika sakitnya bisa dibagi, ia mau ikut menanggungnya.
"Nggak apa-apa, Idan. Aku masih bisa handle sakitnya," ia menjawab tegar. Hamdan sampai takjub karena dia bisa sekuat itu.
Didorong naluri, tangan Hamdan bergerak untuk mengusap perut besar perempuan itu. Ia tidak tahu apakah ini akan berhasil atau tidak, tapi Hamdan mau mengajak anak-anaknya bicara. "Cepat keluar ya...please don't make it hard for your mother."
Beruntungnya, tidak lama setelah Hamdan melakukan itu, perawat datang untuk mengecek. Lalu, mereka diberitahu kalau persalinan siap untuk dilakukan.
And boom! Tiba-tiba saja Hamdan berada di ruang persalinan dengan masih mengenakan seragam sekolahnya. Sebelumnya, tidak pernah sama sekali terbayangkan oleh Hamdan bahwa ia akan berada di situasi seperti ini. Menemani kekasihnya melahirkan mereka di tahun terakhir SMA.
Perasaan Hamdan benar-benar campur aduk ketika ia berada di persalinan itu. Ia menyaksikan sendiri bagaimana semua proses terjadi. Shock? Jelas. Saat itu adalah kali pertama Hamdan ada di ruang bersalin dan melihat orang melahirkan. Rasanya ia lemas sekali melihat banyaknya darah yang keluar. Tapi untuk perempuan itu, Hamdan mencoba untuk kuat dan bertahan disana. Membiarkan tangannya digenggam erat hingga rasanya Hamdan merasa kalau kuku menancap di telapak tangannya karena digenggam terlalu erat.
Hamdan mencoba menguatkan perempuan itu yang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan anak mereka. Di dalam hati, Hamdan berdoa agar proses persalinan berjalan lancar dengan kondisi ibu dan anak yang selamat.
Tanpa sadar, airmata menjatuhi wajah Hamdan begitu saja ketika anaknya lahir satu per satu. Iya, satu per satu, karena mereka dapat anak kembar. Sepasang laki-laki dan perempuan yang mungil. Tangisan mereka sahut-sahutan di ruangan itu dan mendengarnya membuat hati Hamdan bergetar.
"Ternyata...beneran kembar..." gumam Hamdan takjub. Airmata masih mengaliri wajahnya sementara ia melihat bagaimana perawat membersihkan dua bayi mungil itu dari darah sebelum membalut mereka dengan selimut berwarna kuning.
Dari hasil pemeriksaan USG yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya, mereka sudah tahu kalau akan punya anak kembar. Fakta itu sempat membuat mereka panik bukan main. It was already messed up when knew they will have a baby, and God gave them two. Tanggung jawabnya jadi dua kali lipat dan itu sempat membuat Hamdan stress parah memikirkannya. Ia takut tidak bisa menghidupi anak-anaknya, pun takut tidak bisa menyayangi mereka karena merasa asing dengan kehadiran keduanya yang di jauh di luar rencana.
Tapi sekarang, melihat dua bayi mungil itu sukses menimbulkan perasaan baru di hati Hamdan. Perasaan itu sukar dideskripsikan. Khawatir jelas masih ada, tapi kini diiringi oleh rasa kagum, ingin melindungi, dan sayang yang datang menggebu begitu saja.
Satu bayi diberikan perawat kepada perempuan itu yang masih lemas setelah mempertaruhkan nyawanya melahirkan mereka, sementara yang satu lagi diberikan kepada Hamdan yang dengan kaku menggendongnya.
Satu jari telunjuk Hamdan didekatkannya pada tangan mungil si bayi. Begitu telunjuknya langsung digenggam, Hamdan nyaris menangis tersedu-sedu. Ia tidak percaya sedang menggendong anaknya sendiri. Darah dagingnya. Semua terasa sangat surreal, tapi nyata.
"Mereka...kecil banget..."
Gumaman Hamdan tersebut mengundang tawa dari perempuan itu. Ia mendongak untuk menatap Hamdan dan tersenyum.
"Mereka masih bayi, makanya kecil."
"Iya, aku tau. Sorry udah ngomong nggak jelas. Perasaan aku campur aduk banget sekarang."
"Are you happy though? Do you...love them?"
Hamdan menganggukkan kepala. "Iya, aku happy banget. And of course I love them."
"Thank you."
"Jangan khawatir, oke? Aku emang punya banyak ketakutan tentang mereka. Takut nggak bisa ngerawat mereka dengan baik, takut nggak bisa sayang sama mereka, dan takut nggak bisa jadi ayah yang baik. Tapi sekarang, ngeliat mereka berdua, aku janji bakal berusaha. I'll try to be a good father for them and give them the best in life. I promise."
"Maaf..."
Kala itu, Hamdan tidak mengerti kenapa kekasihnya meminta maaf dan menangis. Ia hanya berpikir kalau dia sedang terlalu emosional setelah melahirkan. Tapi nyatanya, ada sesuatu yang lebih daripada itu.
***
"Yang mana anaknya?"
"Itu yang dua deketan."
"Beneran dua?"
"Kan kembar."
"Wow, keren." Harlan bertepuk tangan dan memberikan tatapan takjub kepada kakaknya. "Kok bisa kembar sih?"
"Kan di keluarga Ayah emang ada keturunan kembar. Mungkin karena itu."
"Berarti nanti Harlan bisa punya anak kembar juga dong, A?"
Hamdan mengedikkan bahu. "Mungkin," katanya. "Emang mau punya anak sama siapa sih? Gema?"
Mendengar nama itu, Harlan langsung merengut. "Apaan deh, ngapain bahas orang yang udah jauh."
Hamdan menahan senyum geli karena sang adik yang sensitif mendengar nama sahabatnya yang sudah pindah ke benua lain disebut. Padahal, sebelum berpisah mereka dekat bak perangko dan amplop, tapi kini malah bersikap sebagai musuh karena Harlan yang merasa terkhianati akibat ditinggal pergi.
Sekarang Hamdan dan Harlan ada di depan newborn nursery yang ada di rumah sakit ini. Dari jendela kaca yang ada di ruangan itu, mereka bisa melihat bayi-bayi sedang tidur di dalam boks yang disusun rapi. Salah dua dari bayi yang ada di dalam ruangan itu adalah bayi milik Hamdan yang baru saja lahir beberapa jam lalu.
Harlan baru datang karena ingin melihat keponakannya yang baru lahir. Namun, karena sedang waktunya istirahat baik bagi ibu dan anaknya, bayi kembar Hamdan pun harus berada di newborn nursery dulu dan mereka hanya bisa melihat bayi-bayi itu lewat jendela kaca ini.
"Mereka lucu banget. Kapan bisa dipegang?" Tanya Harlan yang sedang fokus melihat bayi-bayi itu hingga menempelkan wajahnya di kaca.
"Mungkin dua jam lagi. Nanti Aa tanya suster."
Harlan manggut-manggut. "Namanya siapa?"
"Belum ada."
Kali ini Harlan menoleh pada Hamdan dan mengernyit. "Kok bisa belum ada sih? Emang nggak disiapin apa?"
"Belum sempat. Nanti Aa mau diskusi dulu sama dia buat nentuin namanya."
"Hadehhh."
Hamdan ingin beralasan pada Harlan bahwa semua yang terjadi terlalu mengejutkan baginya dan perempuan itu, belum lagi mereka memiliki banyak tekanan dari berbagai pihak, sehingga tidak sempat untuk mendiskusikan perihal nama anak meski bisa dibilang itu cukup penting. Namun, sebelum Hamdan bisa menjelaskan apa-apa, suara dehaman justru membuat baik dirinya dan Harlan menoleh ke belakang.
Hamdan sama sekali tidak bisa menahan keterkejutannya ketika melihat sosok Hermawan Erlangga, ayah mereka, kini sudah berdiri di hadapannya. Padahal, Hamdan sama sekali tidak mengekspektasikan kehadirannya karena memang kondisi sang ayah yang tidak terlalu fit untuk datang kesini.
"Ayah...ngapain kesini?"
Hermawan tersenyum, sementara Harlan yang masih berada di samping Hamdan berujar, "Emangnya Aa pikir Harlan datang kesini sendiri apa? Kan Harlan nggak bisa nyetir, A."
"Tapi kan...Ayah lagi sakit. Terus, kenapa Ayah baru muncul?"
"Tadi Ayah ke toilet," jawab Hermawan. "Dan enggak, Ayah nggak apa-apa kok, masih kuat nyetir kesini. Lagian, Ayah mau liat cucu, masa nggak boleh?"
Sesaat Hamdan terdiam. Perasaannya jadi campur aduk lagi karena kehadiran sang ayah. Terutama ketika melihat senyumnya dan tatapan teduhnya, Hamdan merasa matanya memanas dan ingin menangis. Ia jelas merasa bersalah, tapi di sisi lain ia tidak bisa mengatakan bahwa ia menyesal atas kesalahan yang telah dibuatnya. Tidak, Hamdan tidak bisa menyesali kehadiran anak-anaknya.
Lidah Hamdan rasanya jadi kelu sehingga ia tidak mampu untuk mengatakan apa-apa guna membalas perkataan Hermawan tadi. Ia hanya berdiri kaku memandang pria itu. Lantas, Hermawan pun mendekat ke kaca, memosisikan dirinya di antara Hamdan dan Harlan, lalu memandang ke dalam newborn nursery.
"Yang mana bayinya?" tanya Hermawan.
Harlan menunjuk dua bayi di sudut ruangan yang dua-duanya memakai popok warna kuning. "Dua itu, Yah. Anaknya Aa beneran kembar. Cewek sama cowok."
"Alhamdulillah, mereka sehat-sehat. Gembul dan lucu." Hermawan merangkul Hamdan, kemudian menepuk-nepuk pundaknya. "Selamat ya, Dan, kamu udah jadi ayah sekarang. Kamu punya tanggung jawab baru dalam hidup kamu dan tanggung jawabnya dua kali lipat karena anak kamu ada dua."
Hamdan mengangguk. "Iya, Yah."
"Walau mereka datangnya di luar rencana, tapi kamu tetap harus sayang sama mereka dan rawat mereka dengan baik. Mereka hidup kamu sekarang."
Iya, Hamdan tahu itu. Di detik setelah ia memutuskan untuk mempertahankan mereka, Hamdan tahu kalau anak-anak itu akan langsung menjadi tanggung jawabnya. Setelah ini kehidupan Hamdan pasti akan berubah, kemungkinan drastis dan tidak mudah. Namun, Hamdan akan berusaha sekeras mungkin untuk memberikan yang terbaik bagi mereka. Janji itu sudah Hamdan buat pada dirinya sendiri serta pada perempuan itu dan Hamdan akan menepati janjinya dengan baik.
Setelah menyaksikan sendiri proses persalinan itu, perasaan Hamdan betul-betul campur aduk. Bahkan tadi, airmatanya baru berhenti jatuh setelah anak-anaknya dipindahkan ke dalam newborn nursery ini. Tapi sekarang, ketika ia dibawa ke dalam pelukan oleh ayahnya, airmata itu jatuh lagi tanpa bisa dibendung.
Hamdan senang, tapi juga sedih. Senang karena sang ayah masih menerimanya terlepas dari kesalahan dan masalah yang Hamdan timbulkan, dan sedih karena dalam pelukan ini Hamdan menyadari bagaimana tubuh ayahnya yang semula kuat kini sudah mulai menyusut karena sakit kanker otak yang dideritanya.
Hermawan mengusap-usap punggung Hamdan guna menenangkannya. "Kamu memang udah melakukan kesalahan, Nak. Tapi Ayah bangga karena kamu berani bertanggung jawab. Percaya sama Ayah, kamu pasti bakal jadi Ayah yang baik."
Dalam hati, Hamdan hanya bisa berdoa semoga saja hal itu benar adanya. Ia bisa jadi ayah yang baik dan bisa terus bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya kelak.
"Sekarang Ayah mau ketemu ibunya anak-anak kamu, boleh?"
Hamdan sedikit terkejut akan permintaan ayahnya itu usai mereka memisahkan diri dari pelukan tadi. Agak tidak menyangka karena ayahnya meminta itu.
Kepala Hamdan pun terangguk. "Iya, Yah, boleh. Dia baru dipindahin ke kamar rawat setelah tadi habis dari ruang observasi bersalin."
"Dia sama keluarganya?"
"Iya."
"Bagus kalau begitu."
"Memangnya kenapa, Yah?"
"Ayah mau kasih tau mereka kalau Ayah dan Ibu udah sepakat supaya kamu, dia, dan anak-anak kalian tinggal di rumah setelah pulang dari rumah sakit."
"Tapi, Ibu..."
Hermawan menyunggingkan senyum. "Itu Ibu kamu yang minta. Ibu kamu mau tinggal sama cucu-cucunya."
Mata Hamdan memanas karena keinginan untuk menangis muncul lagi.
Selama beberapa bulan ini, setelah masalah itu datang, hubungan Hamdan dengan orangtuanya bisa dibilang jadi tidak baik, terutama hubungannya dengan sang ibu. Walau masih tinggal serumah, namun kehadiran Hamdan seolah dianggap tidak ada. Ia bahkan sampai lupa kapan terakhir mengobrol hangat dengan ibunya. Yang pasti, sejak Hamdan pulang dengan membawa kabar tentang kehamilan pacarnya, ibu menolak untuk bicara lagi pada Hamdan dan menganggapnya tidak ada.
Belum lagi, ayahnya yang baru divonis sakit kanker otak pun membuat sang ibu jauh lebih sibuk mengurusi kesehatan ayahnya dan menolak untuk memikirkan masalah Hamdan. Di rumah, hanya Harlan dan ayahnya yang masih mau bicara dengan Hamdan dan menganggapnya ada. Walau hubungan mereka juga bisa dikatakan tak lagi sedekat dulu karena masalah ini.
Maka dari itu, Hamdan ingin menangis begitu tahu bahwa ibunya menerima Hamdan untuk pulang bersama anak-anaknya. Padahal, semula Hamdan pikir kalau sang ibu tidak akan pernah mau menerima kehadiran Hamdan dan anak-anaknya.
"Ibu udah maafin kamu."
Rasanya satu beban besar baru saja terangkat dari pundak Hamdan setelah ia mendengar apa yang disampaikan oleh ayahnya. Hamdan jadi tidak sabar untuk pulang ke rumah, memeluk ibunya, dan menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya.
Sekarang, Hamdan harus memenuhi permintaan ayahnya dulu, yaitu menemui dia yang juga ikut bertanggung jawab atas kelahiran dua bayi mungil itu. Bersama ayahnya, Hamdan pun berjalan menuju kamar perawatan, sementara Harlan memilih tinggal di depan newborn nursery dan masih ingin memandangi keponakannya. Harlan bilang, lebih baik ia memerhatikan keponakannya yang lucu daripada harus ikut menyaksikan urusan orang dewasa yang menurutnya memusingkan.
Jantung Hamdan berdetak kencang di sepanjang perjalanannya menuju kamar perawatan tempat perempuan itu dipindahkan. Di sebelahnya, Hermawan sesekali menepuk pundak Hamdan untuk meyakinkan dan menguatkannya. Sebab mereka tahu, pada pembicaraan yang akan berlangsung nanti, dua keluarga akan terlibat. Hamdan tahu, pembicaraannya nanti tidak akan mudah karena sedari awal permasalahan ini muncul, dua keluarga itu tidak pernah ada pada satu opini yang sama.
Setelah sampai di bangsal kebidanan yang ada di rumah sakit ini, Hamdan segera membawa ayahnya berjalan menuju kamar nomor 2 yang diingatnya sebagai kamar tempat perempuan itu dipindahkan setelah dari ruang observasi bersalin.
Hamdan mengetuk pintu kamar VIP itu sekali sebelum membukanya. Namun, begitu ia melongokkan kepala ke dalam kamar, kernyitan bingung muncul di dahinya mendapati bahwa kamar tersebut kosong dan tidak ada siapa pun disana.
"Kenapa, Dan?" tanya Hermawan.
"Kamarnya kosong, Yah. Kayaknya masih di ruang observasi. Ayah tunggu disini sebentar ya, aku mau liat dulu."
Saat itu, Hamdan masih belum memiliki pikiran negatif apapun. Jadi, ia berjalan cepat menuju ruang observasi bersalin tempat dimana perempuan itu berada sebelumnya. Begitu mendapati bahwa tidak orang yang dicarinya di ruangan itu, perasaan Hamdan mulai tidak enak. Namun ia masih berusaha untuk berpikir positif.
Mungkin tadi salah kamar. Mungkin tadi salah dengar, kamarnya bukan nomor 2.
Hamdan pun pergi menuju meja administrasi yang ada di bangsal kebidanan untuk bertanya pada perawat yang ada disana.
"Permisi, Sus. Saya mau tanya, pasien atas nama Kalani Pramusita Danuarji yang baru melahirkan, dipindah ke kamar mana ya? Saya lupa nomor kamarnya."
Perawat itu memeriksa data miliknya, lalu menjawab ramah, "Oh, kamar nomor 2, Mas."
Hamdan bingung. "Serius, Sus? Kenapa tadi saya ke kamar nomor 2 malah kosong ya? Mungkin ada kesalahan?"
Perawat itu kembali memeriksa data, bahkan Hamdan melihat kalau perawat itu membacanya berkali-kali. Lalu, ia memberikan jawaban yang masih sama. "Beneran kamar nomor 2 kok."
"Oh, oke. Makasih, Sus."
Jawaban dari perawat itu membuat jantung Hamdan berdegup dengan cara yang tidak menyenangkan. Ia kembali menuju kamar nomor 2 di bangsal kebidanan ini. Hermawan masih berada di depan pintu kamar ketika Hamdan kembali dan Hamdan langsung masuk begitu saja ke dalam sana tanpa menjelaskan kepada ayahnya mengapa ia terlihat gusar sekarang.
Begitu masuk ke kamar itu, Hamdan sadar bahwa kamar itu tidak hanya kosong, tapi juga tidak ada barang apapun milik pasien yang ada disana. Kamar itu seperti belum disentuh. Dan perasaan Hamdan mengatakan bahwa hal buruk akan terjadi.
Hamdan memeriksa toilet, berharap perempuan itu atau keluarganya ada disana, namun nihil. Tidak ada siapa-siapa. Bahkan saat Hamdan berusaha mencari ke kamar lain, bertanya pada dokter dan perawat yang lewat di depannya, serta berkeliling rumah sakit, yang dicarinya tetap tidak ada.
Hari itu, setelah melahirkan anak mereka, Kalani Pramusita Danuarji menghilang bagai ditelan udara. Meninggalkan Hamdan, meninggalkan dua bayi mereka. Dan ia pergi tanpa bisa dicari, tidak peduli sudah sejauh apa dan sekeras apa Hamdan berusaha untuk mencarinya.
Kala bagai ditelan bumi.
Kepergiannya tidak hanya membuat Hamdan harus memikul tanggung jawab atas anak-anak mereka sendirian, tapi juga membuat hati Hamdan hancur berkeping-keping, lebur, dan ia tidak tahu bagaimana cara mengutuhkannya lagi--atau apakah hatinya bisa benar-benar kembali utuh di kemudian hari.