twelve : good day bad day

2334 Kata
"Lara, gue nggak nyangka ya lo bisa secepu ini! Benar-benar pengkhianat! Lo nggak bisa lagi jadi tempat curhat gue kalau gini ceritanya!" Kuping Lara rasanya panas karena sedaritadi mendengar Jala ngomel-ngomel mulu. Mulai dari mereka baru masuk taksi online, lalu di sepanjang perjalanan menuju rumah, dan kini ketika sudah sampai rumah pun, Jala masih ngomel-ngomel panjang macam kereta api yang remnya rusak. Untungnya tingkat kesabaran Lara sore ini sedang tinggi sehingga ia mampu mengabaikan semua omelan tersebut. Jala sudah berkoar-koar sepanjang jalan Anyer sampai Panarukan, Lara diam saja. Sekalipun menanggapi ia hanya berujar, "Nyenyenyenye." Jala tambah sebal dibuatnya. "Lo tau nggak, gue sama temen-temen gue jadi dihukum gara-gara lo, Laraaa. Mana temen-temen gue pada ngambek, mereka semua kesel karena gue punya kembaran SUPER CEPU." Kali ini kesabaran Lara sudah habis. Ia mulai sebal dengan Jala yang terus mengikutinya sambil mengomel, bahkan hingga Lara masuk ke kamar. "Awas aja ya kalau lo sampe ngadu Papi! Gue makin nggak terima! Nanti gue bakal-" "Bakal apa hah?!" Tanya Lara galak dan memotong omelan Jala. Jala pun tidak jadi melanjutkan omongannya dan terdiam, sebab Lara yang berjalan terus maju mendekatinya hingga jala jadi berjalan mundur perlahan. Kecil-kecil begini, Jala tetap merasa takut pada Lara karena kembarannya yang sudah mengikuti taekwondo sejak SD, sekarang sudah memegang sabuk hitam. Tidak jarang ketika mereka bertengkar, dengan mudahnya Lara membanting Jala. "Lo dari tadi bacot banget ya, Jalandra! Padahal udah jelas salah karena bolos, lagaknya kayak yang paling bener sedunia!" Omel Lara. "Lo nggak bisa ngomongin gue ini itu, karena tindakan gue bener! Jadi, terima aja tuh hukuman karena udah bolos! Bilangin sama temen-temen lo yang otaknya pada miring itu, kalau nggak mau dihukum ya jangan bolos! Bukannya malah nyalahin gue!" Jujur, Jala jadi kicep karena Lara yang balik marah-marah begini. Ia bahkan tidak memiliki daya untuk balas mengomel lagi. Bahkan, Jala sekarang sudah tersudutkan di dinding karena Lara yang seperti hendak melakukan kabedon kepadanya. "Lo tenang aja, gue nggak akan ngadu ke Papi kok," lanjut Lara. "TAPI, mulai hari ini gue resmi jadi antek-anteknya Bu Semira. Kalau lo berani macem-macem lagi di sekolah, gue pastiin lo bakal ketangkap sama gue dan Bu Semira!" "LO JAHAT BANGET SUMPAH!" Protes Jala merengek. "Bisa-bisanya lo mau jadi pasukan guru yang jadi musuh nomor satu di sekolah! Gila ya?!" "Heh, Bu Semira itu baik ya! Cuma anak bandel doang yang nganggep dia sebagai musuh!" Jala berdecih. "Terserah dah. Bete banget gue sama lo." Setelahnya, Jala sedikit mendorong Lara agar dia bisa pergi dari kamar kembarannya itu. Sebelum benar-benar pergi, Jala berujar lagi, "Jangan ngomong sama gue sampai batas waktu yang gue tentukan. Lo malesin banget." "SIAPA JUGA YANG MAU NGOMONG SAMA LO!" Begitulah, akhirnya pertengkaran mereka berlanjut sampai batas waktu yang belum ditentukan. *** "Gimana tadi waktu ketemu Ambar, Dan? Lancar?" Haduh, Hamdan belum juga benar-benar sampai ke rumahnya, ia masih di dalam mobil dan baru saja selesai memarkirkan mobilnya di garasi, namun ibunya sudah menelepon untuk menanyakan itu. Terpaksa Hamdan tidak langsung turun dan memilih menjawab telepon ibunya di mobil. Ia tidak mau Jala dan Lara mendengar percakapan ini. "Nggak gjmana-gimana, Bu. Gitu aja," jawab Hamdan sekenanya. "Masa jawaban kamu cuma begitu sih? First impression kamu sama Ambar gimana? Cantik kah? Baik kah? Nyambung nggak kalian ngobrol bareng?" "Ya...dia baik, cantik juga kok, semua orang pasti menilai begitu. Ngobrol juga nyambung-nyambung aja karena sebelumnya kita pernah ketemu." "Oh ya?! Jadi kalian sebelumnya udah saling kenal?!" Mendengar ibunya jadi sesemangat ini, Hamdan jadi menyesal bilang. "Kalau gini namanya jodoh, Dan!" "Ya ampun, Bu, mikirnya kejauhan banget. Baru juga ketemu berapa kali dan belum terlalu kenal." "Makanya kan kenalan, Dan." "Iya, emang kenalan, Bu. Tapi kalau habis kenalan kan jadinya teman, tapi Ibu mikirnya udah jauh banget sampe jodoh begitu." "Loh emang kenapa? Ibu percaya aja itu tuh tanda yang Maha Kuasa. Buktinya sebelum Ibu kenalin, kalian udah kenal duluan. Tanda-tanda jodoh itu, Dan." Hamdan menghembuskan napas, paling malas jika ibunya sudah berpikir terlalu jauh dan banyak berharap begini. "Aku sama Ambar baru temenan, Bu." "Ibu sama ayah kamu dulu juga awalnya temenan, Dan." "Bu..." Di seberang sana, Hamdan mendengar ibunya tertawa. Sepertinya beliau senang setelah meledek anak sulungnya. "Iya, iya, sekarang temenan dulu ya," ujar Ratna. "Tapi Ibu senang loh kalau impression kamu ke Ambar nggak terlalu buruk. Ini bisa jadi awal yang bagus. Biasanya kan kamu paling nggak suka kalau dijodoh-jodohkan. Pokoknya, Ibu selalu doakan yang terbaik buat kamu dan anak-anak ya, siapapun jodoh kamu nanti." "Iya, Bu, terima kasih doanya. Tapi untuk sekarang tolong rahasiakan dulu ini dari anak-anak ya, Bu? Terutama Lara. Aku nggak mau mereka mikir macam-macam duluan." "Kamu tenang aja, Ibu juga paham kok kalau mereka nggak bisa langsung dikasih tau." Hamdan bernapas lega. Merasa sedikit aman karena ibunya cukup kooperatif untuk merahasiakan ini dari anak-anaknya. Hamdan sendiri sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi Jala dan Lara jika tahu kalau Hamdan baru saja bertemu dengan seseorang yang mau dijodohkan dengannya. Ia sendiri menebak kalau kemungkinan besar Lara tidak akan senang. Karena Ambar merupakan tante dari seseorang yang pernah bertengkar dengannya di sekolah. Entah bagaimana kelanjutan hubungannya dan Ambar nanti, Hamdan belum tahu. Kalaupun hubungan mereka akan berlanjut, biarlah sambil jalan Hamdan memikirkan bagaimana menjelaskan kepada anak-anaknya nanti. Untuk sekarang, lebih baik mereka tidak tahu dulu. Usai bertelepon dengan ibunya, Hamdan pun keluar dari mobil dan langsung masuk ke rumahnya. Dari kabar yang dia dapat dari anak-anaknya, Hamdan tahu kalau mereka berdua sudah pulang sejak tadi. Hamdan sendiri baru sampai sekitar pukul tujuh malam, sedikit terlambat dari biasanya karena pertemuan dengan Ambar. Hamdan sengaja pulang membawa makanan dari Toute la Journèe untuk makan malam Jala dan Lara. Biasanya, kalau Hamdan bilang akan membawa makanan, mereka pasti sudah menunggu di ruang makan. Namun, kali ini tidak. Hamdan tidak menemukan Jala dan Lara disana. Tidak pula di ruang keluarga tempat dimana mereka biasanya menonton bersama. Setelah meletakkan makanan bawaanya di meja makan, Hamdan pun langsung naik ke lantai dua untuk mencari kedua anaknya. Kamar Jala dan Lara tertutup rapat. Yang pertama kali didatangi Hamdan adalah kamar Jala. Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu dan mendapati putranya itu sedang sibuk di depan komputer. Lampu kamar Jala mati, hanya menyisakan lampu warna-warni yang ada di sekitar meja komputer yang memang didesain khusus untuk gaming. Suara tembak-tembakan terdengar, Jala sedang fokus main game. Sadar pintu kamarnya terbuka, tanpa menoleh Jala langsung marah-marah. "APA SIH, UDAH GUE BILANG GUE NGGAK MAU NGOMONG SAMA LO SAMPAI BATAS WAKTU YANG BELUM DITENTUKAN. JANGAN MUNCULIN MUKA LO JUGA, GUE MA-" Omelan Jala tidak berlanjut begitu ia menoleh ke pintu. Ia langsung terdiam mendapati bahwa yang membuka pintu kamarnya bukanlah Lara, melainkan papinya yang baru pulang. "Hehe." Jala terkekeh canggung, lalu langsung menghentikan permainannya. Ia pun melambaikan satu tangan. "Hai, Papi, baru pulang ya?" Hamdan geleng-geleng kepala karena ia memiliki firasat buruk terhadap anak-anaknya sekarang. Tanpa menjawab, Hamdan beralih ke kamar Lara yang persis berada di sebelah kamar Jala. Sama seperti tadi, Hamdan juga membuka pintu tanpa mengetuk. Kali ini yang terjadi lebih ekstrem. Ada sebuah buku yang melayang, nyaris mengenai Hamdan, diiringi dengan seruan galak Lara, "JANGAN GANGGU GUE!" Hamdan shock berat. Sementara Lara yang kemudian sadar bahwa yang nyaris dilemparnya dengan buku tulis bukannya Jala, melainkan papinya sendiri pun ikut terkejut. Lara langsung berlari menghampiri Hamdan untuk memeluknya. "Ya ampun, Papiiii, sorry. Aku pikir tadi Aa yang ganggu. Maafffff." Hamdan menghembuskan napas. Seketika kepalanya pusing. Ditatapnya secara bergantian Lara yang masih memeluknya dan Jala yang masih cengengesan canggung di dalam kamar. Satu pertanyaan Hamdan, "Kalian masih berantem ya?" *** Ambar Kusumaputri Halo, Hamdan, ini Ambar. Saya disuruh mama untuk chat kamu, soalnya saya abis diomelin karena saya punya nomor kamu tapi kamu nggak punya nomor saya? kata mama saya, "Suruh Hamdan save nomor kamu juga dong, biar lancar komunikasinya!" Hadehh dasar ibu-ibu??‍♀️ Hamdan Septian E. Ini sudah saya save ya...Ambar. Ambar Kusumaputri Thank you! Have a good rest anyway! Hamdan Septian E. Nggak bisa rest dulu...lagi pusing karena anak saya berantem. Ambar Kusumaputri Berantem kenapa? Hamdan Septian E. Biasalah, debat remaja. Bingung saya harus gimana biar mereka baikan lagi... Ambar Kusumaputri Santaiiii ajaaa. Saya mau ngasih saran tapi sebenernya saya belum punya anak remaja, anak saya masih kecil kan. Tapi berkaca dari cara kakak saya ngedidik anaknya yang lagi berantem, coba deh ajak quality time bareng malem ini. Kamu temenin mereka. Mungkin bakal ampuh. Hamdan Septian E. Thanks sarannya. Nanti saya coba. Ambar Kusumaputri Good luck! Hamdan Septian E. Thank you :) Sekitar setengah jam sudah Hamdan duduk di tepi tempat tidurnya dan berbalas pesan dengan Ambar sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk sehabis mandi. Jujur saja, sewaktu membaca pesan pertama Ambar tadi, ada sedikit senyum yang terukir di bibirnya karena merasa lucu dengan cara Ambar yang tidak biasa ketika mengirimkan pesan pertama. Di pertemuan mereka tadi, Hamdan memang sempat menyimpan nomornya di ponsel Ambar, namun Ambar tidak melakukan hal yang sama sehingga perempuan itulah jadi yang pertama mengirim pesan. Hamdan meletakkan ponselnya ke atas kasur, sebab ia rasa percakapannya dan Ambar tidak akan diperpanjang lagi. Lalu, Hamdan meletakkan handuknya di gantungan selagi memikirkan saran yang diberikan Ambar tadi. Hamdan tidak bohong ketika bilang ia sedang pusing karena anak-anaknya bertengkar. Kenyataannya memang begitu. Hamdan pusing karena Jala dan Lara yang tadi berdebat lagi ketika Hamdan baru pulang dari kantor. Sekarang, mereka berdua sedang Hamdan suruh makan berdua dan jika sudah selesai, mereka harus menghabiskan waktu berdua pula di ruang keluarga tanpa ada yang boleh masuk ke kamar sebelum Hamdan suruh. Mereka juga tidak diperbolehkan untuk memegang ponsel masing-masing. Dan sudah cukup lama Hamdan membiarkan mereka seperti itu. Saran dari Ambar tadi sudah cukup banyak memberikan inspirasi bagi Hamdan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ketika Hamdan keluar kamar dan datang ke ruang keluarga, dilihatnya Jala dan Lara sedang duduk berjauhan di sofa. Keduanya bersidekap dan sama-sama merengut. Hamdan rasanya ingin meringis sekaligus tertawa. Mau bertengkar bagaimana pun, tetap saja mereka kembar, sampai gestur tubuh mereka sekarang pun sama. "Jala, Lara." Keduanya menoleh secara bersamaan ketika Hamdan memanggilnya. "Sini, ikut Papi." Tanpa menjawab, Jala dan Lara menurut. Mereka mengikuti Hamdan berjalan menuju kamarnya. Setelah mereka sampai disana, Hamdan justru naik ke atas ranjang king size miliknya dan berbaring disana, tepat di tengah-tengah. Melihatnya justru membuat Jala dan Lara bingung. Tapi kemudian, Hamdan menepuk dua sisi kosong di kanan dan kirinya. "Sini, kalian berdua tiduran juga. Malam ini kita tidur bertiga ya." Mata Lara langsung berbinar. "Asiiiikkk, tidur sama Papi!" Serunya semangat dan ia segera bergabung untuk berbaring di sisi kiri Hamdan, memeluk manja papinya. Sementara Jala justru merasa aneh dan canggung. "Masa tidur bertiga sih, Pi? Udah gede giniii. Kalau temen-temenku tau aku masih tidur sama Papi, bisa diejek habis-habisan." "Sini." Hamdan menepuk lagi tempat kosong di sebelahnya. "Dulu juga kamu malah sering minta tidur bertiga." Jala mengerucutkan bibir, tapi pada akhirnya tetap menurut dan berbaring di sisi kosong Hamdan yang satunya. Sudah lama sekali mereka tidak seperti ini sehingga Jala yang merasa sudah dewasa pun merasa geli sendiri jika harus tidur dengan papinya lagi, berbeda dengan Lara yang justru senang bukan main dan langsung mendusel manja pada sang papi. "Ihhhh, Papi, kenapa rangkul-rangkul gini sihhh!!! Geli dan awkward banget!!!" Protes Jala ketika Hamdan merangkulnya agar ia bisa lebih dekat lagi. "Kamu tuh anak Papi, jadi apa salahnya?" Jala tidak menjawab, tapi diam-diam bergidik. "Papi mau kita tidur bertiga malam ini supaya ngerasa lebih dekat satu sama lain. Habisnya Papi pusing banget kalian berantem dari pagi sampe ke malem. Papi nggak mau anak-anak Papi berantem terus. We are family, remember? We should and always have each other's back. Jadi, kalian nggak boleh sering-sering berantem. Ingat, Papi nggak selamanya hidup di dunia. Kalau Papi nggak ada, kalian cuma punya satu sama lain. Karena itu, harus terus akur dan saling sayang ya." "Papi kok ngomong gitu sih? Aku nggak suka cara Papi ngomongnyaaa," rengek Lara. Ia pun mengeratkan pelukannya pada Hamdan dan membenamkan wajah di ceruk leher papinya itu. "Kita harus selalu sama-samanya bertiga. Titik!" Hamdan tertawa kecil dan menciumi punya kepala Lara. "Tapi kalau kalian berantem terus, bisa-bisa Papi malah darah tinggi, terus sakit." "Enggak lah, Pi. Kita nggak akan ngebiarin itu terjadi," ujar Jala. "Makanya kalian jangan berantem terus. Papi maunya liat kalian selalu akur." Hamdan menoleh pada Jala dan bertanya. "Bisa, kan?" "Bisa, Pi." "Lara?" "Iya, bisa." "Oke, Papi anggap kalian udah saling memaafkan ya. Nah, sekarang kita pindah posisi, Lara jadi di tengah. Terus kalian pelukan and tell how much you love each other." "Papiii!!!" Hamdan tentu tidak menerima protes dan langsung bangkit untuk merubah posisi agar Lara kini berada di tengah. Lalu, mau tidak mau Jala dan Lara berpelukan, persis seperti tadi pagi. Dan kali ini, ditambah mereka saling mengungkapkan sayang. "Lara, I love you so much. You are the best sister I've ever had," ujar Jala yang ditutup dengan bisikan, "Tapi boong." "I love you too, Aa. Can't imagine my life without you because you are so important to me," balas Lara yang juga ditutup dengan bisikan yang hanya bisa mereka berdua dengar, "Najis banget ew." Melihat anak-anaknya, Hamdan tertawa saja. Ia merasa geli sekaligus senang karena merasa usahanya cukup berhasil untuk mendamaikan Jala dan Lara. Di sisa malam itu, mereka pun menghabiskan waktu bersama di kamar sang papi. Dimulai dari menonton TV, hingga berbagi cerita tentang hari mereka masing-masing. Jala bilang harinya sedang buruk dan menyebalkan, sementara Lara bilang kalau hari ini ia melalui hari yang seimbang antara baik dan buruk. Ketika anak-anaknya balas bertanya mengenai harinya, tanpa ragu Hamdan menjawab kalau harinya baik-baik saja dan sama sekali tidak buruk walau cukup melelahkan. Hari ini, Hamdan menyaksikan anak-anaknya bertengkar dan berbaikan. Lalu, Hamdan juga ditakjubkan oleh kuasa semesta yang mempertemukannya dengan orang baru yang sebenarnya sudah dikenal. Yang terakhir, Hamdan senang karena malam ini bisa berkumpul dengan anak-anaknya dan tidur bersama mereka. Penutup dari hari Hamdan sebelum ia tertidur malam ini adalah sebuah pesan yang masuk ke ponselnya tepat setelah ia memastikan kedua anaknya sudah tidur duluan. Pesan itu dari Ambar. Ambar Kusumaputri Gimana? Mereka udah baikan? Tanpa sadar dan entah kenapa, Hamdan tersenyum membacanya. Hamdan Septian E. Udah. Saran dari kamu berhasil. Thanks to you...Ambar.?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN