thirteen : staycation

1744 Kata
Jala dan Lara sudah berbaikan sejak malam mereka tidur bertiga dengan papinya. Walau setiap hari kerjaan mereka tetap mendebatkan banyak hal, namun hubungan mereka sekarang dapat dikatakan kembali akur. Terlebih lagi mereka masih menjalani hukuman, jadi sepulang sekolah masih harus pulang ke rumah dan menghabiskan waktu berdua. Tidak hanya itu, Jala dan Lara juga masih memiliki tugas rumah yang harus mereka kerjakan untuk menggantikan tugas bibi asisten rumah tangga di rumah itu, sebagai salah satu hukuman juga. Seperti sekarang, Jala dan Lara baru saja selesai mengerjakan tugas rumah mereka. Hari sudah memasuki waktu petang, mereka pun sudah pulang sekolah sejak beberapa jam yang lalu. Namun, tugas rumahnya baru selesai mereka kerjakan di jam-jam sebelum Hamdan pulang. Yah, namanya juga remaja masa kini, mengumpulkan niat untuk melakukan tugas rumah pasti rerasa sulit. Keduanya jelas lebih memilih main game atau scrolling i********:. Setelah selesai mengerjakan tugas masing-masing, keduanya nongkrong di kamar Jala. Kalau lagi akur memang begitu, sukanya nongkrong di kamar satu sama lain. Entah di kamar Jala atau di kamar Lara. Kali ini Lara sedang mood untuk mendatangi kamar kakaknya. Kamar mereka berdua sendiri sangatlah bertolak belakang. Kamar Lara super feminim dengan d******i warna merah muda dan dekor ala kamar aesthetic di Pinterest, sementara kamar Jala didominasi oleh warna hitam dan abu-abu yang dihiasi dengan pernak-pernik game dan tidak lupa pula seperangkat PC gaming mahal. Meski kamar mereka sangat berbeda, namun keduanya merasa nyaman-nyaman saja ketika saling mengunjungi. Buktinya seperti sekarang, Lara sedang menguasai tempat tidur Jala sambil bermain ponsel, sementara yang punya kamar justru sedang sibuk di depan layar komputer. Ketika Lara melirik jam dinding yang ada di kamar itu, dilihatnya bahwa sekarang sudah hampir pukul enam sore. Akan tetapi, papi mereka belum pulang juga. "Papi sekarang tuh lagi sibuk apa gimana sih, A? Kok akhir-akhir ini sering pulang telat," ujar Lara. Tanpa menoleh pada saudara kembarnya, Jala menjawab, "Perasaan biasa aja dah. Papi pulang jam segitu-gitu terus." "Lo b**o apa gimana sih?" "Heh, jangan mulai ya!" Protes Jala. "Abisnya, masa nggak sadar Papi biasanya pulang jam berapa." "Dasar lo aja yang lebay. Kalau Papi pulang telat ya berarti sibuk di kantor." "Biasanya Papi tuh kalau lagi sibuk pasti bilang bakal sibuk dari hari ini sampai ini, terus lembur, dan semacamnya. Tapi ini kan enggak." "Lupa kali." Lara mendengus sebal karena Jala yang terkesan tidak peduli dan tidak merasa terganggu sama sekali, berbeda dengan Lara yang justru kepikiran. Padahal, hal ini bisa dibilang sepele. Akhir-akhir ini, Lara memang menyadari kalau papinya kerap pulang lebih sore daripada biasanya, tanpa bilang dulu sebelumnya kalau memang lembur atau ada pekerjaan tambahan di kantor. Padahal, biasanya sang papi selalu bilang perihal kesibukannya, entah itu jenis pekerjaan hingga rentang waktu sibuknya. Sedangkan sekarang, si papi hanya terlihat sibuk tanpa benar-benar bilang sibuk. Lara mungkin berlebihan, tapi ia jadi heran sendiri. Terlebih lagi, papinya yang biasa masih bisa menjemputnya pulang dari bimbel, pada minggu ini tidak bisa melakukannya sama sekali. "Eh, Ra." Lara menoleh ketika Jala memanggil namanya. "Kenapa?" Sang kakak kini sudah memutar kursi gaming-nya yang diminta dengan cara merengek sebulan pada Papi itu, jadi menghadap Lara. Ia pun sudah menghentikan permainannya di komputer. "Lo suntuk nggak sih hampir sebulan dihukum? Jadinya pulang sekolah nggak bisa kemana-mana." "Ya iyalah! Nggak perlu ditanya lagi," respon Lara terhadap perkataan Jala tadi. Selama dihukum nyaris sebulan, keduanya benar-benar menurut dan tidak pernah melanggar hukuman tersebut. Pulang sekolah ya langsung pulang ke rumah, kecuali kalau ada bimbel tambahan di luar jam sekolah. Karena itu, mereka sudah banyak menolak tawaran nongkrong dan pergi sepulang sekolah dari teman-temannya. Jadi, tentu saja kehidupan mereka selama masa hukuman ini terasa agak hambar. Jala menjalankan kursinya agar mendekat pada Lara yang masih berbaring di atas tempat tidur. Ada senyum yang mengembang di bibirnya ketika ia berkata, "Mumpung besok weekend, ajak Papi staycation enak nih. Gue butuh hiburan banget setelah nyaris sebulan jadi full anak rumahan." Wah, ide yang bagus. "Mau staycation kemana emang?" "Nginep di hotel bintang lima kek, ke Puncak, atau kalau Papi berbaik hati sekalian aja jalan-jalan bentar ke Singapur. Nanti lo yang ngomong sama Papi ya, soalnya kalau lo yang ngomong, pasti Papi bakal mudah luluh." Kali ini, Lara benar-benar setuju dengan ide Jala dan sama sekali tidak memiliki niat untuk mendebatnya. Ia justru mengacungkan kedua ibu jari pada sang kakak dan dengan mantap berujar, "Oke. Nanti gue ngomong ke Papi." Jala pun mengajak Lara high five. "Staycation here we go!" *** "Sorry Sayang, kalau weekend ini Papi nggak bisa. Minggu depan aja gimana?" Jala agak terkejut karena ternyata rayuan dari Lara tidak berhasil, Lara apalagi. Mereka baru saja selesai menyampaikan keinginan kepada papi mereka yang baru pulang dari kantor sekitar satu jam yang lalu. Bahkan Jala juga sudah sengaja memberi sang papi perhatian lebih guna menunjang rayuan Lara. Ia membuatkan teh hangat untuk papinya, bahkan dengan sangat murah hati menawarkan untuk memijat kaki sang papi yang pastinya lelah karena sudah seharian bekerja. Tapi nyatanya, teh hangat dan pijatan dari Jala, serta rayuan penuh kata-kata manis Lara tidak ampuh digunakan kali ini. Rencana mereka yang mengajak staycation, langsung ditolak oleh Hamdan. "Kalau minggu depan kan hukumannya udah selesai, Pi. Nggak suntuk lagi dong di rumah." Jala beralasan. Ia sudah berhenti memijat Hamdan, namun kedua kaki papinya itu masih berada di pangkuan Jala. Lara mengangguk setuju pada perkataan kakaknya. "Kita kan mau staycation karena suntuk jadi anak rumahan selama dihukum." "Iya, Papi tau. Tapi weekend ini Papi nggak bisa karena udah ada jadwal yang lain," jelas Hamdan. "Emangnya Papi mau ngapain?" Jala bertanya penasaran. "Biasanya Papi paling anti deh ngurusin kerjaan waktu weekend, kecuali kalau kepepet banget." "Ada ketemu sama orang." "Siapa, Pi?" Kali ini Lara yang bertanya. "Ya...siapa lagi kalau bukan orang yang...berhubungan sama pekerjaan Papi." "Ohhh." Jala manggut-manggut paham. "Yaudah kalau gitu, nggak apa-apa staycation nggak jadi. Tapi hukumannya jadi dipercepat ya, Pi? Hehe." "Yaudah, mulai Senin hukumannya selesai." "YESSSS!!!" Jala berseru semangat, senang karena akhirnya ia bisa nongkrong bersama teman-temannya lagi sepulang sekolah. Sebagai rasa terima kasih atas kebaikan hati papinya yang telah memberikan grasi atau pengurangan hukuman untuknya dan Lara, Jala pun kembali memijat kaki papinya. Membiarkan sang papi malam ini bersantai dan merasa sedikit rileks karena pijatan Jala, sambil minum teh herbal kesukaannya, dan menonton pertandingan sepak bola. Namun, berbeda dengan Jala yang bersemangat dan senang karena hukumannya dikurangi bahkan seketika lupa dengan rencana staycation, Lara justru tidak merasakan hal yang sama. Oke, Lara memang senang hukumannya berakhir lebih cepat beberapa hari daripada seharusnya. Namun, tidak bisa dipungkiri kalau Lara juga kecewa karena rencana staycation mereka untuk akhir pekan ini gagal. Lalu, lebih daripada dua hal itu, Lara juga merasa aneh pada papinya. Lara merasa bahwa jawaban papinya tadi ketika ditanya akan menemui siapa, terkesan ambigu. Entah ini karena Lara yang terlalu sensitif, atau memang sang papi yang ternyata berbohong, Lara tidak tahu. Tapi, selama ini sosok Hamdan Septian Erlangga tidak pernah berbohong pada anak-anaknya, sehingga Lara pun ragu untuk merasa begitu. *** Keesokan harinya, Lara mendapati Hamdan sudah pergi meninggalkan rumah pagi-pagi sekali. Kata bibi yang bekerja di rumah mereka, papinya sudah pergi satu jam sebelum Lara bangun. Berhubung hari ini weekend, Lara memang begadang nonton serial di Netflix semalaman sehingga pagi ini ia pun bangun kesiangan. Jala pun sepertinya tidak jauh berbeda, pasti kakaknya itu begadang main game, karena sekarang pun pintu kamarnya masih tertutup rapat dan mudah saja menebak kalau Jala masih ngorok di dalam sana. "Perginya tadi pake setelan gimana, Bi? Kayak mau ke kantor atau rapi biasa aja?" Tanya Lara Bi Darmi, asisten rumah tangga harian di rumah ini. "Rapi biasa aja, Dek Lara," jawab Bi Darmi. "Enggak pake jas, tapi pake kaos berkerah gitu sama celana panjang." Lara manggut-manggut mengerti. "Terus tadi Papi bilang nggak sama Bibi mau kemana?" "Enggak, Dek. Papi cuma pesan kalau tadi udah masak pastup buat Dedek sama Aa sarapan. Terus minta tolong sama Bibi buat angetin kalau kalian udah bangun." "Berarti beneran nggak bilang apa-apa mau kemana ya, Bi?" Bi Darmi menggeleng, kemudian bertanya, "Pastup punya Dedek mau diangetin sekarang nggak?" "Boleh deh, Bi." "Tunggu sebentar ya, Bibi panasin dulu." Lara mengangguk saja, membiarkan Bi Darmi pergi ke dapur untuk menghangatkan pastup buatan Hamdan agar bisa disantap Lara sebagai sarapan. Sementara Bi Darmi pergi ke dapur, Lara justru pergi ke teras belakang dan duduk di kursi rotan yang ada disana. Jujur saja, Lara sedang berpikir keras sekarang. Ia sungguh penasaran kemana papinya pergi hari ini. Karena tidak biasanya sang papi pergi pagi-pagi di akhir pekan begini. Lara tahu kalau papinya adalah orang yang sangat menghargai waktu istirhat sehingga waktu akhir pekan pun akan dimanfaatkannya sebaik mungkin. Kalaupun harus pergi, biasanya juga Jala dan Lara, atau minimal Bi Darmi akan diberitahu. Tapi untuk hari ini tidak. Padahal, kalaupun tidak sempat memberitahu Jala dan Lara pagi ini karena tidam mau membangunkan mereka, papinya bisa memberitahu semalam atau mengabari lewat pesan. Tapi ini tidak sama sekali, seolah memang tidak mau memberitahu kemana perginya. Aduh, Lara tahu dia berlebihan, tapi sejujurnya Lara sudah kepikiran sejak semalam. Ia tidak mau berprasangka buruk kepada papi sendiri, tapi entah kenapa Lara merasa kalau papinya bohong dan ingin merahasiakan perihal agendanya di akhir pekan ini. Jala mungkin tidak menyadarinya karena memang sifatnya tidak sepeka Lara, tapi Lara yang super sensitif selalu tahu jika ada perubahan kecil saja yang terjadi pada anggota keluarganya, terutama pada papinya sendiri. Karena tidak mau mati penasaran, pada akhirnya Lara mengambil ponselnya dan memutuskan untuk menghubungi seseorang yang diyakininya pasti tahu kemana papinya pergi hari ini. Lara sendiri tidak bisa bertanya langsung kepada sang papi karena takut papinya tidak mau jujur jika Lara bertanya langsung. Berbekal rasa penasarannya yang tinggi, Lara pun menghubungi nomor yang sudah tidak asing lagi baginya. "Halo? Om Rafael?" Sapa Lara begitu teleponnya tersambung. Dan yah, yang dihubunginya adalah Rafael, sekretaris papinya di kantor yang kebetulan sudah cukup akrab dengan anak-anaknya Hamdan. "Maaf ya, Om, kalau Lara ganggu Om dengan telepon tiba-tiba begini. Lara mau tanya sesuatu boleh nggak?" Di seberang sana, Rafael menjawab kalau Lara sama sekali tidak mengganggu dan boleh bertanya padanya. Maka tanpa basa-basi lagi, Lara pun mengajukan pertanyaan yang telah membuatnya penasaran semalaman, "Hari ini Papi ada urusan kerja apa ya, Om? Tumben banget Papi pergi weekend begini dan nggak bilang-bilang. Aku penasaran nih, abisnya agak nggak rela aja Papi pergi pas libur. Hehehe." Rafael langsung menyampaikan jawabannya. Begitu mendengar jawaban tersebut, Lara terkejut. "Jadi...Papi hari ini nggak ada urusan kerja sama sekali dan Om nggak tau Papi kemana ya?" Rafael mengiyakan. Sementara Lara tidak bisa berkata-kata. Oke, apa ini berarti papinya semalam baru saja berbohong?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN