Di Angkat Lalu Di Banting

1908 Kata
Setelah dirawat selama 4 hari, besok Nala diperbolehkan pulang ke rumah karena kondisinya sudah membaik. Dokter yang merawatnya salut melihat semangat gadis bertubuh mungil itu untuk segera pulih. Saat dokter visit, Nala selalu bertanya kapan boleh pulang? Dia juga mengatakan jika sudah rindu sekali dengan kompor dan panci yang ada di dapur. “Adek, mau di bawakan makan siang apa?” “Mau batagor dong, Kak. Yang ada di depan komplek ya.” “Kejauhan, Sayang. Kakak ini lagi ada di restoran, masak harus pulang dulu. Batagor yang lainnya saja ya?” “Gak mau, rasanya gak sama kayak punya Pak Imam.” “Coba tanya sama Mama mau di bawain apa?” “Mama mau batagor juga katanya.” “Gak percaya!” “Yeee ... dibilangin juga. Oh iya, Kak. Beliin lima bungkus ya.” “Banyak banget, emangnya habis?” “Disini selain ada Nala dan Mama. Ada juga Ibu Hani dan Mbak Embun.” “Oh, lagi ada tamu ya?” “Hmmm ...” “Ya udah, Kakak tutup teleponnya.” “Okay, Akak.” Setelah menutup telepon dari Kakaknya, Nala kembali ikut berbincang dengan ketiga orang yang sedang menunggunya. Hani dan Embun sudah sejak pagi berkunjung ke rumah sakit, selain ingin menjenguk Nala. Mereka juga akan memeriksakan kandungan Embun. Saat Embun memberi tahu soal kabar kehamilannya, Nala langsung berseru heboh. Sampai kena tegur Mamanya. Gadis itu, mengatakan jika Embun sedang kewalahan menjaga ketiga anaknya Nala siap untuk menjadi sus infal. Membuat Embun dan Hani terkekeh bersama. “Nala nanti kalau belum benar-benar sehat gak usah berangkat kerja dulu ya.” “Gak bisa, Buk. Bisa bahaya nanti,” jawab Nala dengan sedikit cemas. “Apanya yang bahaya, Nak?” tanya Hani. “Nanti malah Gak jadi gajian kalau bolos terus, bahaya buat kantong doraemon milik Nala,” terangnya dengan sangat lucu. Membuat Mamanya mencubit pipinya. “Hahaha, kamu ini lugu sekali sih, La. Tenang saja soal gaji biar jadi urusan, Mbak.” “Mbak Embun serius?” Nala berseru dengan mata berbinar. Sejak kemarin dia sangat cemas jika tidak bisa mendapatkan gajinya secara utuh. “Seribu rius, Nala cantik,” jawab Embun dengan terkikik geli melihat ekspresi wajah Nala. “Maaf ya Bu Hani dan Mbak Embun, Nala memang suka bicara sesuka hatinya,” ucap Husna, Mama Nala. “Tidak apa-apa Bu, saya suka sekali dengan putri kecil Bu Husna. Selain cantik, dia juga pandai sekali memasak. Saya dan keluarga pernah sekali mencoba masakannya. Mereka semua mengatakan jika masakan Nala tidak jauh berbeda dengan masakan chef restoran bintang lima,” terang Hani membuat kedua pipi Nala merona. “Benar sekali Tante Husna, Nala itu selain cantik dan pandai memasak juga sangat baik. Minggu kemarin, dia tidak sengaja bertemu dengan adik dan anak saya waktu di mall. Dia mau membantu menjaga anak-anak saya hingga membuatnya terkena masalah,” sambung Embun. “Bukan salah Trio A kok, Mbak. Foto jalan-jalan itu hanya dijadikan alasan saja untuk membully Nala. Kalaupun tidak ada foto tersebut pasti mereka tetap akan mencari alasan yang lain.” “Benar, Bu Hani dan Mbak Embun. Kejadian ini bukan salah dari keluarga Al-Fathan. Lagi pula Dokter Ace sudah memberikan sanksi tegas bagi pelakunya. Semoga saja setelah ini lingkungan kerja di rumah sakit ini dapat kembali menjadi penuh cinta dan kasih. Dengan begitu saya bisa tenang melepas putri saya untuk bekerja kembali,” tutur Mama Nala. Perbincangan keempat perempuan itu harus berakhir ketika dokter kandungan yang akan memeriksa Embun menelepon. Embun dan Hani pamit pada Nala dan Mamanya. Setelah kepergian keluarga pemilik rumah sakit, Kakak Nala datang membawa batagor pesanannya. “Kak Danesh lama sekali, tamunya keburu pergi,” omel adiknya dengan bibir mencebik. “Tadi ‘kan sudah Kakak kasih tahu kalau lebih baik beli batagor yang ada di sekitar restoran tapi kamu gak mau. Ya, jangan salahkan Kakak kalau datangnya lama.” “Udah ngak papa, Nala makan dulu saja. Mama mau ke masjid dulu. Jangan berantem!” Kedua Kakak beradik itu mengacungkan kedua jempolnya secara bersamaan. Mamanya tidak percaya jika mereka tidak akan berdebat. “Batagor sebanyak ini sayang banget kalau gak dihabiskan,” seru Nala dengan menuangkan 2 bungkus batagor sekaligus ke piringnya. “Bilang saja mau kamu habiskan sendiri!” “Jangan ngegas dong! Lagian kalau sudah di beli memang harus di makan. Mubazir, nanti batagornya sedih.” Sebenarnya yang bicara dengan ngegas itu adalah Nala. Tapi dia selalu saja menyalahkan Kakaknya, memang seperti itu ‘kan kalau anak terakhir? Tak terkalahkan! “Kepalanya masih suka pusing, Dek?” Nala menggeleng, dia tidak bisa menjawab karena mulutnya sudah penuh sekali dengan batagor. Membuat Danesh mendengkus, adiknya susah sekali kalau dibilangin. Selalu saja makan dengan penuh. Sebentar lagi pasti dia akan tersedak dan menangis. “Jangan banyak-banyak! Kalau mulutnya udah gak muat di kunyah dulu Adek!” Tangan Nala melambai-lambai, dia meminta minum dengan bahasa isyarat pada Kakaknya. “Pelan-pelan, Dek. Astaga kamu ini bandel sekali,” omel Danesh, panik karena Nala tersedak kentang yang sedang dia makan. “Uhuk ... uhuk.” “Keluarkan saja, Sayang. Jangan ditelan, makin nyangkut nanti.” Nala menggeleng, dia tidak mau memuntahkan batagornya. Padahal matanya kini sudah berair membuat Danesh makin panik. “Adek, keluarin batagornya!” Seru Danesh lagi, kini dia sudah memijat tengkuk adiknya. Saat Nala masih kekeh mempertahankan batagor yang ada di tenggorokannya. Ace masuk dengan membawa beberapa berkas. Dia kaget melihat keadaan Nala sedang tersedak dengan wajah sangat pucat. “Nala kamu kenapa?” tanyanya dengan jongkok di depan Nala. “Dia tersedak tapi tidak mau memuntahkan batagornya. Sudah tahu kalau nyangkut tetep aja mau ditelan,” terang Danesh pada Ace. Ace duduk di sebelah Nala, tangannya ikut memijat tengkuk Nala. Beberapa saat kemudian batagor yang membuat Nala tersedak keluar semua. Jatuh ke styrofoam, bekas wadah batagor. Nala menangis menggigit lengan Kakaknya, dia mengatakan berulang kali jika Kakaknya jahat dengannya membuat Ace ikut kebingungan dengan tingkah gadis itu. Namun tidak dengan Danesh karena dia sudah sangat hafal dengan kelakuan Adiknya. “Sudah biarkan saja, dia memang selalu begitu ketika makan batagor,” ucap Danesh pada Ace. “Dia masih kesakitan?” “Sudah tidak, tapi masih sedih karena batagornya dia muntahkan,” jawab Danesh. Kini dia sudah memeluk Nala yang kehabisan tenaga. Selama Nala membersihkan sisa air matanya, Danesh menjelaskan pada Ace jika adiknya makan batagor akan memenuhi mulutnya sampai tidak bisa bicara. Saat itu terjadi dia akan tersedak tapi tetap mempertahankan batagor yang ada di mulutnya. Ketika dipaksa untuk memuntahkan, Nala akan mengamuk dan menangis. Karena dia merasa sangat bersalah sudah membuang makanan favoritnya. “Memang sangat aneh, mungkin hanya Adikku saja yang melakukan hal itu.” “Tapi bahaya sekali jika sering tersedak.” “Memang benar apa yang kamu katakan tapi kami bisa apa? Anak bandel ini sangat susah sekali di bilangin!” “Kakak, ngomongin orang kok di depan orangnya langsung. Gak sopan!” omel Nala. Dia malu sekali dengan kelakuannya. Kenapa juga disaat tersedak harus ada Pak Dokter di sekitarnya? Harusnya dia itu menunjukkan sikap anggun dan elegan di depan calon imamnya. “Ngak mau di lanjutin makan batagornya, nanti keburu dingin gak enak.” “Udah gak selera,” jawab Nala dengan mata terus memandang ke arah piring berisi batagor. “Yakin gak mau?” “Hmmm.” “Kalau begitu Kakak habiskan semuanya. Lagi pula Dokter Ace juga mau memakan batagor ini. Iya ‘kan, Dok?” Ace mengangguk, sejak tadi menahan senyum dengan sikap jual mahal Nala pada batagor. Dia ingin sekali ikut menjahili Nala seperti yang sedang dilakukan sang Kakak. Danesh berdiri mengambil piring bersih untuk Ace, sementara Nala dalam hatinya sedang merutuki keputusannya menolak melanjutkan acara makannya. Jiwanya sudah meronta-ronta, sangat tidak rela jika pesanannya di habiskan oleh Kakak dan Pak Dokter. “Enak rasanya, beli dimana?” tanya Ace saat sudah mencicipi batagor. “Depan komplek, ini langganan Nala. Rasanya memang enak sekali.” Kedua orang itu menghabiskan batagor tanpa memperdulikan perasaan Nala, padahal dia sangat berharap sekali di tawari oleh Kakaknya. Paling enggak di suapi satu sendok saja, seperti yang biasa Danesh lakukan. Sejak tadi Nala hanya menunduk, dia memilin ujung baju rumah sakit hingga lecek. Kedua orang yang ada di depan dan sebelahnya masih tidak sadar jika gadis kecil yang sedang sakit sangat sedih. “Adek kenapa, pusing lagi?” tanya Danesh, saat melihat Nala terus saja menundukkan kepalanya. “Hikss ... hikss ...” “Loh kok nangis kenapa. Yang sakit bagian mana?” “Kakak jahat!” ucap Nala dengan terbata. Danesh dan Ace saling pandang, mereka masih tidak sadar jika Nala menangis ulah dari mereka. “Kakak bikin salah apa lagi, Sayang?” Danesh ingin memeluk Nala, Namun tangannya langsung ditepis oleh adiknya. “Nala marah sama Kakak!” ucap Nala, dia berdiri langsung pindah ke ranjang pasien dengan membawa tiang infusnya sendiri. Danesh masih terus membujuk Adiknya agar mau berhenti menangis. Sementara Ace sudah pamit sejak tadi, karena ada ada jadwal operasi. Hingga Husna kembali dari masjid Nala masih menangis. “Kakak kenapa jahil sama adiknya?” tegur Husna pada anak sulungnya. “Aku gak jahil, Ma. Tiba-tiba Nala nangis sendiri, ngambek gak mau bicara,” jawab Danesh meraup wajah frustasinya bingung dengan kelakuan adiknya. Mama Nala mendekati ranjang putrinya, dia langsung mengusap wajah Nala yang sudah memerah. “Adek kenapa nangis, ada yang sakit atau apa?” “Kakak jahat!” “Adek diapain sama Kakak?” “Batagor punya Nala di habisin semua sama Kakak,” jawabnya dengan kembali menangis. Mendapat pelototan dari Mamanya, Danesh menggeleng. Dia bahkan sudah meminta izin pada Nala sebelum memakan batagor. “Kakak, harus belajar peka dengan bahasa perempuan. Tidak semua kata ‘Gak Mau’ itu berarti 'Tidak'. Bisa jadi berarti mau tapi harus dengan bujukan,” terang Husna pada anak lelakinya. Danesh hanya mendengkus, dia tadi sudah menjelaskan pada sang Mama jika Nala tidak mau memakan batagor. Makanya dia membantu menghabiskan dan menawarkan pada Ace. Ternyata dia telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Nala tidak benar-benar menolak namun dia mau di bujuk. Memang perempuan sangat merepotkan sekali! “Selamat sore,” ucap seorang Bapak-bapak yang sangat Nala kenali. “Selamat sore,” jawab Husna dan Danesh. “Pak Imam?” teriak Nala. “Bapak tahu kalau Nala sedang sakit?” “Maaf sebelumnya, Bapak ngak tahu kalau Non Nala sedang sakit. Jadi belum sempat menjenguk. Ini tadi dapat pesanan dari Dokter Ace, katanya disuruh nganter batagor ke kamar VVIP 6 rumah sakit Al-Fathan Medical Center.” “Dokter Ace?” gumam Nala. “Iya, Non Nala,” jawabnya dengan menaruh satu plastik besar ke meja tamu. Nala yang awalnya tiduran di ranjang langsung berdiri menuju ke arah meja. Dia membuka plastik dengan tergesa. “Sepuluh bungkus. Banyak sekali, Pak?” “Oh iya, tadi Dokter Ace pesan. Kalau Non Nala makan jangan buru-buru di kunyah baru di telan. Jangan sampai tersedak,” ucap Pak Imam. Membuat Nala tersenyum malu-malu dengan perhatian Ace. “Elehhh udah besar juga pakai acara di kasih tahu cara makan yang benar,” cibir Danesh. “Iri bilang bos!” ucap Nala. “Satu lagi pesan dari Pak Dokter.” “Apa?” tanya Nala dengan wajah berbinar, sepertinya sebentar lagi dia akan terbang. “Non Nala sudah umur 18 tahun masak gara-gara batagor di makan orang lain nangis sampai ileran,” ujar Pak Imam sungkan dengan Nala dan keluarganya. “Hahahahaha, rasain! Makanya jangan ileran. Kamu itu tadi baru juga diangkat langsung dibanting ke inti bumi yang paling dalam. Sakitnya tuh di sini!” “Kakak!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN