Kegabutan Nala

1684 Kata
Kondisi Nala sudah sangat membaik namun masih harus menghabiskan sisa cuti yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Selama masa pemulihan, bukannya istirahat dia justru open order toko online miliknya. Para pelanggan setia yang rindu dengan berbagai macam pastry yang diciptakan olehnya langsung memesan dalam jumlah banyak. “Pagi, Mama cantik,” sapa Nala. “Pagi, Sayang,” jawab Husna, mengecup kening anak perempuannya. “Maafin Nala ya Mama, Sayang. Dapurnya untuk beberapa hari ini aku kuasai dulu.” “Tidak masalah, Nak. Tapi jangan terlalu banyak mengambil pesanan. Kamu ini masih masa pemulihan. Seharusnya banyakin istirahatnya bukannya bekerja seperti ini.” “Hehe, Nala jenuh, Ma. Tiap hari harus rebahan terus yang ada bisa stres nanti aku.” “Baru juga di kasih libur 1 minggu sudah bilang jenuh.” Nala hanya terkekeh mendengar protesan dari sang mama melanjutkan pembuatan pesanan pastry dari pelanggan setianya. Dia membuka pesanan hanya sampai besok, karena hari terakhir dia cuti akan di habiskan untuk beristirahat. Nala sudah closed order sejak kemarin karena saking banyaknya pesanan yang masuk. Semalam Karim dan Danesh meminta sarapan dengan croissant pastry buatan Nala. Jadilah kini Husna membantu Putrinya memasukkan adonan yang sudah siap ke dalam oven. Meskipun dia yang mengajari anaknya memasak tetap saja semua masakan buatannya dan buatan Nala akan berbeda rasanya. Kalau kata orang-orang rumah, bagaikan langit lapisan satu dan lapisan tujuh. “Harum sekali, Sayang,” ujar Mama Nala, saat mengambil pastry yang sudah matang. “Yang itu pesanan Tante Adel, Ma. Minta dibanyakin isiannya jadi lumer-lumer sekali.” “Semua ini Tante Adel yang pesan?” “Hmm, katanya mau ada acara keluarga di rumahnya. Memangnya Mama gak diundang?” Husna menggeleng, dia saja baru tau dari Nala jika tetangga sekaligus sahabatnya akan mengadakan acara di rumahnya. “Mungkin acara keluarga inti makanya gak undang para tetangga.” “Sepertinya sih begitu, Ma,” jawab Nala yang masih sibuk membuat adonan. “Oh iya, Ma. Nanti bisa minta tolong apa tidak?” ucap Nala lagi. “Apa, Sayang?” “Ada pesanan lasagna dari Mbak Embun, katanya dia sedang ngidam. Bisa gak nanti kalau Mama berangkat ke butik bawa lasagna sekalian. Biar nanti supir Mbak Embun ambil di sana. Soalnya kalau ambil ke rumah kasihan kejauhan.” “Memangnya sudah kamu buatkan?” “Sudah aku bikin tadi, Nala simpan di lemari penghangat makanan.” “Baiklah, nanti kamu siapkan saja.” “Terima kasih Mama, Sayang,” ucap Nala dengan nada girang. Setelah Croissant pastry yang akan di buat sarapan telah siap. Husna kembali ke kamarnya untuk bersiap berangkat ke butik. Nala berterima kasih kembali pada Mamanya karena sudah membantu memasukkan pastry yang sudah jadi dalam box. Kini dia memanggil supir, meminta tolong untuk mengantar pesanan ke rumah Tante Adel. Rumahnya berada satu komplek dengannya hanya dipisahkan enam rumah. Dia juga memasukkan pesanan Embun yang sudah di siapkannya sejak subuh tadi. Sengaja membuat banyak, biar bisa dibagi dengan keluarga Al-Fathan yang lain. Semalam Embun mengatakan selama kehamilan ke empatnya ini, dia sering ditinggal keluar negeri oleh suaminya. Jadi, sementara waktu dia tinggal bersama kedua orang tuanya yang berarti akan satu rumah dengan Pak Dokter. “Enak banget, Dek. Masih ada gak? Mau aku bawa ke kantor.” “Iya, Papa juga mau dong, Sayang. Kalau bisa bungkus 6 ya,” ucap Papa Nala mengikuti anak lelakinya minta dibawakan bekal croissant pastry. “Banyak banget mintanya, kalau segitu ya enggak ada. Semalam Akak sama Papa nggak bilang kalau mau bungkus juga jadinya hanya buat sedikit saja.” “Lupa kalau pagi ini Papa ada meeting sama klien di restoran, Sayang.” “Ya sudah kalau begitu buat Kakak saja. Bekal untuk tinjau lokasi proyek nanti siang,” ucap Danesh, si pecinta pastry. Apalagi ini buatan adiknya sendiri. “Bagaimana, Pa?” tanya Nala. “Memangnya masih sisa berapa, Nak?” Nala sedikit berfikir, dia juga lupa masih ada berapa croissant pastry yang dia buat tadi. “Kalau sama yang ada di meja makan masih sisa 5.” “Cukuplah, itu buat bekal Kakak. Papa besok aja lagi bawanya,” jawab Danesh meminta papanya mengalah. “Baiklah kalau begitu, buat Kakak saja. Lagian kalau Papa bawa gak akan cukup.” Nala mengangkat kedua jempolnya ke arah Papa dan Kakaknya. Mama Nala tersenyum sambil menikmati sarapan. Memang kedua lelaki di rumah ini selalu berebut masakan Nala. Untung saja hari ini Karim mau mengalah dengan Danesh, sehingga tidak terjadi perdebatan di pagi hari seperti biasanya. *** “Halo, Mbak Embun.” “Halo, Nala. kamu sedang apa?” “Sedang bersantai, baru saja selesai membuat pesanan untuk hari ini.” “Pasti banyak sekali orderan yang masuk ya, La? kamu pandai sekali dalam hal urusan masak.” “Ramai sekali, Mbak. Nala saja sudah closed order sejak kemarin. Takut keteteran membuat pelanggan kecewa. Apalagi senin sudah mulai kerja kembali.” “Alhamdulilah, lalu bagaimana keadaanmu sekarang? Jangan sampai kecapekan, kamu ‘kan masih dalam masa pemulihan.” “Alhamdulilah, Nala sudah sangat sehat, Mbak.” “Terima Kasih untuk lasagna yang sudah kamu buat untukku, La. Rasanya luar biasanya enaknya. Aku sampai menghabiskan sendiri yang ukuran besar.” “Sama-sama, Mbak. Syukurlah kalau Mbak Embun suka. Nala ikut senang juga.” “Tapi ada yang ngambek gara-gara gak kebagian lasagna buatanmu.” “Siapa Mbak? sepertinya aku sudah membuat banyak.” “Pak dokter mu. Dia baru saja pulang dari luar kota. Bagiannya dihabiskan sama Aksa, kini dia sedang merajuk seperti anak kec ...” Sambungan telepon tiba-tiba saja terputus saat Embun menjelaskan pada Nala. Dia mencoba menghubungi Embun lagi namun tidak dijawab. Mungkin saja salah satu dari ketiga anaknya tiba-tiba rewel makanya Embun menutup teleponnya begitu saja, pikir Nala. Nala mengingat ucapan yang baru di katakan oleh Embun. Pak Dokter ngambek karena tidak kebagian lasagna buatannya. Benarkah itu? Nala tersenyum sendiri, dia sedang membayangkan wajah tampan Ace sedang merajuk pasti sangat lucu. Badannya terasa lelah setelah membuat banyak pesanan hingga membuatnya ketiduran di sofa ruang tamu dengan TV yang masih menyala. Dia sedang berada di rumah sendirian, semua orang pergi bekerja. Hanya ada satpam dan Bibik yang sedang membereskan tanaman milik Mama Nala. “Nala bangun,” ucap Malika yang kesekian kalinya. Sejak tadi dia sudah berusaha membangunkan sahabatnya itu namun tak kunjung bangun juga. “Hmmmmm,” akhirnya Nala menggeliat dengan merentangkan kedua tangannya ke atas. “Dasar kebo, susah banget di bangunin!” omel Malika. Dia kini sedang memakan stik bawang buatan Nala. Sekedar informasi, semua camilan yang ada di rumah adalah karya tangan ajaib Nala. “Malika bukan kesayangan Nala, sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Nala dengan suara serak. “Sejak ada tirex beranak badak bercula empat.” “Hah?” Nala mengerutkan kening mendengar jawaban Malika. “Kamu ini dari tadi aku bangunin susah banget padahal aku mau ajak kamu melihat gosip terbaru yang ada di komplek ini!” seru Malika. “Gosip apa?” “Kamu tahu tidak anaknya Tante Adel hari ini lamaran.” Nala menggeleng, dia meminum jus jeruk Malika. Membuat yang punya mendelik kesal karena Nala menghabiskannya langsung. “Pantas saja hari ini Tante Adel pesan pastry ternyata buat acara lamaran. Tapi kok Mama gak diundang?” “Beliau pesan pastry sama kamu?” “Hmmm, banyak sekali.” “Kamu mau ikut mencari informasi apa tidak? soalnya Mama aku juga tidak diundang pasti ada sesuatu yang penting.” Nala tersenyum dengan menaik turunkan kedua alisnya. Sudah lama sekali dia tidak kepo dengan urusan tetangganya karena sekarang sudah sibuk bekerja sebagai juru masak. Keduanya bergegas menuju ke rumah Malika. Dia sudah memberi tahu pada Bibik jika akan pergi bermain. Dengan membawa sepeda listrik milik Malika, keduanya mengatur strategi agar mendapat informasi yang akurat. Rumah Malika hanya selang 6 rumah dari rumah Nala tepatnya di depan rumah Tante Adel. Suasana rumah memang sudah ramai. Sepertinya memang sedang ada acara besar. Tapi kenapa tidak mengundang para tetangganya? Itulah yang membuat Malika kepo lalu mengajak Nala untuk mencari tahu. Apalagi sahabatnya memang sedang gabut menjalani masa cutinya. “Apakah ini aman? Tidak akan terlihat dari rumah Tante Adel,” tanya Nala saat berada di balkon kamar Malika. “Kamu tenang saja, ini aman kok. Memang kacanya kalau dari sini terlihat terang tapi di lihat dari depan warnanya hitam,” jelas Malika. “Papamu memang sudah niat sekali ya, buat mengintip keadaan rumah Tante Adel?” “Sembarangan kamu kalau ngomong! Memang desainnya seperti itu bukan bertujuan buat ngintip tetangga,” omel Malika pada sahabatnya. Nala terkikik geli, dia memang sangat senang menjahili Malika. Saat dia kembali melihat ke bawah langsung terkejut dengan keberadaan Ace. Apalagi Ace memakai pakaian rapi membuat Nala semakin penasaran. “Itu Pak Dokter,” tunjuk Nala. “Pak Dokter incaran kamu?” “Iya, kenapa dia juga ikut hadir. Bukannya hari ini dia ada jadwal praktek sampai malam?” “Apa dia masih saudara dari calon besan Tante Adel ya? Duhhh aku jadi penasaran sekali,” seru Malika, karena jika dilihat dari balkon kamarnya taman belakang yang dijadikan tempat acara tidak terlihat. “Udah pada masuk, Lika. Ngak kelihatan lagi deh!” “Padahal udah kepo sekali aku. Gak bisa hidup tenang kalau gak lihat apa yang sebenarnya terjadi." “Iya, apalagi ada Pak Dokter yang ikut datang.” Kedua gadis itu berpikir sangat keras, bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam rumah Tante Adel? Mencari tahu yang sebenarnya terjadi. Mereka melakukan ini karena Tante Adel adalah orang tua yang selalu membanggakan anaknya dengan menjatuhkan anak orang lain. Nala dan Malika sering menjadi sasarannya, karena kedua gadis itu tidak pernah tampil glamor seperti anaknya. Hingga akhirnya, Nala menemukan ide yang sangat luar biasa. Membuat Malika berseru senang. Keduanya bergegas ke luar rumah. Menuju ke taman komplek yang berada di belakang rumah Tante Adel. “Kalian sedang apa di sana?” “Waduh kita ketahuan, Nala!” seru Malika. “Pura-pura saja kita tidak melihatnya. Kita teruskan saja main bonekanya,” ucap Nala. “Lagi ngintip ya?” tanya lagi orang yang sangat dikenali Nala. “Bukannya kamu masih dalam pemulihan? Seharusnya istirahat bukannya menguntit tetangga!” tegurnya lagi. Membuat wajah Nala berubah merah karena malu dengan kelakuannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN