Hari Pertama Kerja
Suatu hari yang cerah di kota Yogyakarta. Gadis manis dengan rambut di kuncir seperti kuda sedang menunggu angkot di pinggir jalan.
Dia sudah mulai gelisah karena menunggu hampir satu jam namun angkutan tak kunjung datang.
Semua orang yang lewat di sekitarnya menyapa dengan ramah. Bagaimana tidak, gadis manis bernama Nala Inayah Shaki sering dipanggil Nala adalah anak dari penjual gudeg terkenal di Yogyakarta.
Kedua orang tuanya memintanya untuk melanjutkan kuliah bisnis namun dia menolak. Nala sudah menentukan jalan hidupnya sendiri, dia akan menjadi seorang juru masak di rumah sakit Al-Fathan Medical Center.
Selain menjadi juru masak, dia juga memiliki misi yaitu mengejar cinta dari salah satu dokter yang ada di rumah sakit itu.
Dokter yang belum Nala ketahui namanya sudah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Mereka bertemu ketika Nala hampir terserempet mobil saat menyelamatkan anak kucing yang ada di tengah jalan.
"Nala, kamu ngapain di situ hah? Udah kayak gembel saja," panggil sahabat Nala dari dalam mobil.
"Jangan merusak suasana hatiku yang sedang cerah ceria seperti cuaca hari ini, Maemunah!"
"Issshhh, gaya banget kamu. Yuk bareng aku saja, aku antar sampai rumah sakit."
"Tidak, terimakasih. Aku mau naik angkot saja," tolak Nala dengan sopan.
"Nanti kamu telat di hari pertama kerja, bisa-bisa langsung dipecat. Gagal deh mengejar cinta dokter tampan."
Nala berpikir kembali, benar apa yang dikatakan sahabatnya. Dia tidak boleh datang telat, apa lagi hari pertama masuk kerja.
"Ya udah deh, terpaksa aku terima tawaran kamu."
"Mulutmu La, aku sumpel pakai kaos kaki baru tahu rasa."
Nala masuk ke dalam mobil sahabatnya sejak masih dalam perut Mama mereka.
"Mohon maaf ya Malika bukan kedelai pilihan, mulut sexy begini mau kamu sumpel pakai kaos kaki bau kamu itu?!" Gadis itu, menggoda sahabatnya dengan memonyongkan bibirnya
Malika hanya mencebik, malas menanggapi kenarsisan sahabatnya.
"Kamu bawa tas gede isinya apa itu?"
"Nasi gudeg."
"Buat Pak Dokter?"
"Bukan."
"Terus buat siapa?"
"Buat aku bagi ke pak satpam dan bagian kebersihan rumah sakit."
Malika mengernyitkan keningnya, dia kadang bingung dengan isi otak dari sahabatnya.
"Kenapa nggak di kasih buat Pak Dokter atau pekerja di bagian dapur?"
"Buat apa kasih Pak Dokter? Pasti dia sudah kaya bisa beli makanan enak setiap hari. Kalau pekerja bagian dapur, mereka juga sering mencicipi berbagai macam makanan enak setiap hari," jelas Nala pada Malika.
Walaupun kelakuannya sering tidak masuk akal, Nala memiliki hati yang baik. Dengan orang yang membencinya saja, jika orang itu sedang kesusahan pasti akan dibantunya.
Sesampainya di parkiran rumah sakit, Nala berpamitan pada Malika setelah membagi satu kotak nasi gudeg. "Hati-hati dijalan Malika kesayangan Nala."
"Iya, semoga lancar hari pertama kerjanya."
Kedua gadis itu berpamitan dengan heboh, hingga orang yang ada di sekitarnya menatap aneh ke arah mereka.
Nala tidak pernah peduli omongan orang lain. Dia sangat cuek, namun perhatian dengan orang yang disayanginya.
"Selamat pagi semua."
"Selamat pagi, Bu."
"Perkenalkan nama saya Sandra Dewinta, biasa di panggil dengan Bu San-San. Saya di sini menjabat sebagai kepala dapur rumah sakit kurang lebih 8 tahun. Kita per singkat saja ya acara perkenalan ini, jadi untuk karyawan magang kalian harus mematuhi semua aturan yang berlaku di rumah sakit ini ..."
Nala mendengarkan arahan dari atasannya dengan serius. Dia tidak mau sampai melakukan kesalahan, apalagi tugasnya memasak untuk orang sakit. Bisa bahaya jika salah memberikan bahan atau bumbu karena nyawa lah yang akan jadi taruhannya.
"Apa ada pertanyaan dari penjelasan saya?" Tanya Bu San-san.
"Tidak ada Bu, sudah sangat jelas!" Jawab berbarengan 6 karyawan magang. Sudah termasuk Nala.
"Baiklah kalau begitu, saya sudah membagi kalian menjadi 3 kelompok, bisa di lihat di papan pengumuman. Setelah itu, silahkan bergabung dengan ketua Chef masing-masing."
"Baik, Bu."
Nala berjalan paling belakangan untuk melihat daftar kelompok yang ada di papan. Dia ini paling malas kalau disuruh berdesakan. Menurutnya buat apa berdesakan, kalau bisa melihat belakangan.
"Hai kita satu kelompok," sapa seorang gadis berhijab.
"Iya, nama aku Nala. Kamu siapa?"
"Aku Arumi, salam kenal Nala."
"Salam kenal juga Arumi."
Nala senang ketika mendapatkan teman seperti Arumi. Gadis manis berhijab itu kalem sekali, pasti tidak akan julid, batin Nala.
"Halo chef salam kenal, Nama saya Nala dan teman kelompok saya Arumi."
"Halo anak-anak cantik, nama saya Bu Riska. Jangan panggil Chef, panggil saja Bu Riska ya."
Mereka berdua mengangguk, lalu Bu Riska meminta Nala membuat masakan untuk pasien balita. Sedangkan, Arumi bertugas membuat dessert untuk para karyawan rumah sakit.
Hari pertama kerja, dia berhasil mendapatkan pujian dari kepala dapur dan chef nya karena menciptakan masakan sangat enak dan sehat.
Nala juga menyulap dessert biasa menjadi hidangan mewah. Dia sedikit merubah komposisi bahannya setelah berkonsultasi dengan Bu Riska tentunya.
"Arumi rumahnya di mana?" Tanya Nala saat mereka sedang berjalan ke arah lobby rumah sakit.
"Aku tinggal di daerah dekat sini. Di kampung bukan di komplek."
"Alah tinggal di mana saja yang penting aman dan nyaman."
Arumi tersenyum, dia bersyukur mendapatkan teman sebaik Nala. Sejak berangkat dari rumah tadi dia sempat khawatir jika mendapatkan teman kerja yang tidak ramah dan galak.
"Benar sekali, kalau Nala tinggal di mana?"
"Aku tinggal di kampung belakang kampus XX."
"Memangnya belakang kampus XX ada kampung ya?" Tanya Arumi dengan polosnya.
Nala terbahak melihat wajah serius Arumi. Dia sangat jahil, baru juga beberapa jam mendapatkan teman baru langsung di jahili olehnya.
"Udah gak usah dipikir terlalu keras, buat apa sih? Kapan-kapan kalau libur main aja ke rumahku ya?"
"Oke, nanti Nala juga main ke rumah aku ya?"
"Siap!"
Arumi menemani Nala sampai mendapatkan angkutan yang akan mengantar sampai depan komplek perumahannya. Nala memang aneh, punya fasilitas yang diinginkan semua gadis seusianya. Dia malah menolak, lebih suka berdesakan dengan penumpang lain.
"Mama sayang, Nala pulang ..."
"Cah Ayu kamu ini kalau masuk ke rumah, jangan teriak begitu gak sopan! Ucap salam dulu, baru masuk rumah."
Nala terkekeh saat mendapatkan omelan Eyang putri yang berkunjung ke rumahnya.
"Assalamualaikum Eyang, Sayang."
"Waalaikumsalam, Cucu cantik. Kamu dari mana jam segini baru pulang?"
Nala mendekati Eyangnya, meminta tangan untuk di cium. Lalu Nala duduk bersandar di bahu Eyang putri. Sangat manja sekali.
"Nala habis pulang kerja, apa aku belum cerita sama Eyang kalau sekarang sudah kerja?"
"Bukannya kamu kuliah, Sayang? Kok malah kerja.”
"Nala kerja aja Eyang, capek kalau sekolah terus."
"Sekolah tinggal duduk saja bilang capek!"
Sebelum Eyang tambah mengomel dan membuat kepala Nala pusing. Dia memilih kabur menuju kamarnya, saat ada panggilan masuk pada ponsel Eyang. Sepertinya Mamanya belum pulang dari butik, jika Papa dan Kakaknya sudah bisa dipastikan akan pulang sebelum makan malam di mulai.
Nala mempercepat langkahnya menaiki tangga, badannya sudah pegal. Dia akan beristirahat sebentar. Setelah itu, membantu Eyang menyiapkan makan malam. Nala ini sangat mencintai dapur hingga menyebut dapur adalah belahan jiwanya.
“Hah capeknya badan aku,” Nala merebahkan tubuh pada ranjang empuknya. “Eh aku tadi lupa tanya sama Bu Riska kenal atau tidak sama dokter tampan itu?” gerutu Nala dengan menepuk keningnya.
Dia sempat mengambil foto wajah dokter dari samping saat pertama bertemu. Meskipun blur, masih bisa dikenali jika orang itu kenal dengan Pak Dokter.
Dia mendesah kesal karena sibuk di dapur hingga sore. Sampai lupa jika ingin mencari keberadaan ‘Dokter Dingin Incaran Nala!’.