Setelah semuanya berkumpul, Justin mulai menjelaskan tentang aturan permainan yang akan mereka mainkan. Karena sebelumnya, yang membuat konsep adalah Alena dan Justin. Maka dari itu, Justin lah yang ditunjuk untuk menjelaskan game tersebut pada yang lain.
"Game ini adalah game misteri dan petualangan. Setiap pemain diharuskan untuk membantu tokoh utama dalam memecahkan sebuah kasus kejahatan. Di sana, aku menaruh karakter Alena secara virtual sebagai pemandu sekaligus tokoh utama."
"Jadi maksudmu kita akan menjadi detektif di sana?" Tanya Alan memastikan.
Justin mengangguk. "Ya, kurang lebih seperti itu."
"Instruksi game selengkapnya akan muncul saat kalian memulainya. Kalau ada yang ingin bertanya, tanyakan saja sekalian saat kita bermain." Tambah Kim Joon.
Mereka semua sudah duduk di depan komputer masing-masing. Baik Alan maupun yang lain sudah memakai beberapa peralatan tambahan untuk game tersebut. Ada perangkat kepala dan bangku khusus untuk menjalankan efek tertentu. Jadi saat mereka berada di dalam game, mereka akan benar-benar merasa berada di dalam dunianya sendiri.
"Apa kalian sudah siap?" Tanya Justin. Ia akan memandu yang lain sebelum ikut bermain dengan mereka.
Mereka semua mengangguk dan memberi isyarat telah siap.
Alan sendiri cukup merasa gugup untuk memainkan game tersebut. Tapi demi mencari petunjuk tentang kakaknya, ia pun akhirnya bersedia bermain.
"Apa kalian mendengarku? Tolong jawab ya jika kalian mendengarnya."
"Ya ...." Jawab mereka serempak.
"Kita akan tetap terhubung dan bisa berkomunikasi melalui headset ini. Jangan sampai dilepas." Justin masih memantau mereka yang sudah lengkap memakai peralatan.
"Aku akan memulai game ini dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga." Tombol enter pun ditekan oleh Justin.
Game telah dimulai. Pandangan Alan yang tadinya gelap, kini berubah. Ia bisa merasakan tubuhnya berada di tempat lain. Ia berada di dalam sebuah rumah kayu sederhana. Lelaki itu menatap sekeliling rumah dan menyadari rumah tersebut mirip dengan rumah impian masa kecilnya. Lalu tiba-tiba tubuh Alan tak bisa digerakkan.
"Selamat datang di Alena's Secret game! Perkenalkan, aku Alena. Aku akan membantu kalian dalam bermain game ini." Itu suara Alena. Entah kenapa, Alan tiba-tiba merindukan suara kakaknya itu.
"Pertama-tama, kalian semua akan diberi modal uang virtual sebesar seratus dollar di awal permainan. Selanjutnya, tugas kalian adalah mengumpulkan uang virtual dengan mencari petunjuk di setiap kasus yang ada. Pemenang akhir dengan peringkat tertinggi, nantinya akan mendapat hadiah sebesar sepuluh ribu dollar."
Setelah terdiam sejenak, suara Alena kembali terdengar. "Pemain bisa bekerjasama dengan pemain yang lain. Tetapi, kalian harus mencarinya sendiri."
Instruksi game masih berlanjut dan Alan masih merasa tubuhnya tak bisa bergerak seperti sebelumnya.
"Untuk pemain yang mendapat pengurangan poin karena tidak dapat menemukan petunjuk, maka peringkatnya akan menurun. Di akhir permainan, pemain yang berada di posisi terakhir, tidak akan bisa meninggalkan game ini selamanya."
Mendengar hal itu, mereka semua langsung mengernyitkan dahinya. Instruksi tersebut terdengar sangat mengerikan.
"Hei Justin! Apa maksudmu tidak bisa meninggalkan game selamanya? Kenapa kau malah memprogramnya seperti itu?" Protes Jey yang kini mencoba menghentikan gamenya. Namun game masih terus berjalan.
"Aku dan Alena tidak membuat akhir yang seperti ini. Sebentar, aku akan coba menghentikan game ini. " Sanggah Justin yang tidak mau disalahkan begitu saja.
"Sepertinya game ini tidak bisa dihentikan, gamenya sudah di-hack oleh orang lain." Duga Kim Yoon dengan wajah serius. Ia menduga ada hal yang aneh sejak game itu dimainkan.
Sementara Justin berusaha menghentikan game itu, yang lain tetap pada tempatnya fokus berada di dalam game tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Kini Alan bisa menggerakkan tubuhnya. Meski sempat panik, ia mencoba untuk tetap tenang. Ia kemudian berjalan membuka pintu dan menemukan Alena di sana. Tentu bukan Alena yang sebenarnya.
"Permisi Tuan, siapa namamu?"
Alan kemudian mengetikkan namanya di keyboard virtual yang terpampang di depannya.
"Baiklah Tuan Alan, perkenalkan aku adalah Alena. Aku adalah seorang detektif. Bisa kau bantu aku untuk menyelesaikan sebuah kasus?"
Alan kemudian menekan tombol ya.
"Apa kau punya tim?"
Lagi-lagi Alan menekan tombol ya.
Kemudian ia melihat Alena tersenyum dan mengulurkan tangannya. Alan pun membalas uluran tangan tersebut.
Aku rindu padamu Kak.
"Senang bisa bekerjasama denganmu."
Alena kemudian melepaskan jabatan tangan mereka.
"Sebagai tanda kerjasama, aku akan memberikan ini untukmu." Alena memberikan sebuah buku catatan virtual pada Alan. Kemudian nominal angka di akun digital Alan bertambah sebanyak seratus dollar.
"Modal awal sudah kuberikan. Sore ini, temui aku di restoran ini untuk mendapatkan misi pertama. Waktumu 11 jam 10 menit dari sekarang." Alena memberikan sebuah kartu nama pada Alan.
Alan segera membaca kartu nama tersebut. Ternyata lokasi restorannya berada di daerah Kuta Bali. Lalu setelahnya, tubuh virtual Alena menghilang.
Tiba-tiba pandangan Alan menggelap kembali. Permainan berhasil dihentikan sementara oleh Justin. Mereka semua dengan kompak melepaskan peralatan game tersebut.
"Waktunya masih berjalan, kita tidak benar-benar keluar dari game. Oh ya, kenapa waktunya hanya sebelas jam? Bukankah kita memberi waktu dua puluh empat jam untuk setiap misinya?" Sahut Jimmy dengan tatapan khawatir.
"Sepertinya orang yang menculik Alena memang sengaja mengurung kita agar terjebak di dalam game." Jey mengusap rambutnya ke belakang. Terlihat panik.
"Kita tidak tahu apa yang diinginkan si penculik. Tapi sudah pasti itu sesuatu yang buruk." Ucapan Kim Joon membuat situasi semakin memanas.
"Lalu kita harus bagaimana? Hanya inilah satu-satunya cara untuk menemukan Alena kembali!" Alan yang emosi pun meninggikan suaranya pada mereka.
Kim Yoon menyeringai. "Bukankah kau tidak peduli dengan Alena?" Ucapannya terdengar sarkastik, tapi memang itulah fakta yang tak bisa disangkal oleh Alan.
Alan semakin terpancing emosi, ia pun berjalan cepat menghampiri Kim Yoon dan menarik kerah kemeja kotak-kotak biru lelaki itu. Sedangkan lelaki itu terlihat acuh, tak terlihat terintimidasi sama sekali.
"Kau tidak tahu apapun! Jadi diam saja!"
Jun yang sudah stres dengan kehilangan Alena, semakin pusing melihat kekacauan yang ada. Ia menarik napas dalam-dalam mencoba untuk tetap tenang. Hanya menyikapi dengan kepala dingin, setidaknya masalah tidak akan semakin runyam. Apalagi dia yang paling tua, jadi ia harus menjadi contoh yang baik untuk mereka semua.
"Alan, ingat yang kukatakan kemarin." Ucap Jun dengan pelan namun penuh penekanan.
Alan pun melepaskan kerah kemeja Kim Yoon dengan kesal. Tanpa pikir panjang, ia pergi meninggalkan ruangan itu dalam keadaan emosi.
Jey dan Jimmy yang melihat hal itu hanya bisa menghela napas pasrah. Mereka sangat tahu sikap Alan yang dingin dan tak pernah mau akrab dengan mereka. Tapi melihat Alan seperti itu, rasanya sedih juga. Pasti berat untuk Alan kehilangan kakaknya.
"Aku pergi menyusul Alan dulu. Kalian, sebisa mungkin bereskan dulu masalah yang ada. Aku akan bantu memonitor dari jauh."
Mereka semua mengangguk paham.
"Jangan diambil hati. Maaf kalau Alan meninggikan suaranya padamu." Jun menepuk pundak Kim Yoon.
Kim Yoon tersenyum simpul. "Jangan khawatir. Aku hanya memberi sedikit pelajaran saja pada anak itu."
Jun tertawa kecil. Meski Kim Yoon terlihat dingin, tapi sebenarnya lelaki itu sangat perhatian. "Dasar kau ini. Ya sudah, aku pergi dulu. Kabari saja kalau ada apa-apa."