Chapter 1
Lelaki yang baru saja menginjak usia dua puluh tahun itu baru saja selesai berpakaian. Ia buru-buru mengambil tas ransel hitamnya dan bergegas keluar kamar.
Tadinya Alan berniat mengambil sepotong roti untuk sarapan. Namun ketika ia turun tangga, ia menyadari sang kakak sudah berada di meja makan. Selera makannya pun mendadak hilang.
"Alan, ayo sarapan dulu." Alena menyapa Alan dengan senyuman antusias.
Sayangnya Alan sama sekali tak menggubris ucapan Alena. Senyum gadis itu perlahan luntur. Melihat kecanggungan tersebut, sang ibu akhirnya berinisiatif untuk membujuk anak bungsunya itu.
"Biar Ibu saja yang bicara padanya." Alena pun mengangguk.
Sang ibu lantas mengambil sepotong roti dan segera menyusul Alan keluar rumah.
"Nak, sarapan dulu."
"Aku tidak lapar Bu."
Sang ibu kemudian berjalan mendahului Alan dan memberikan roti tersebut dengan sedikit memaksa. "Setidaknya bawa roti ini agar kau bisa sarapan di jalan."
Alan akhirnya menerima roti tersebut. "Aku berangkat, Bu...."
Entah kenapa wajah Alan terlihat sedih dan juga kesal. Sang ibu hanya bisa menghela napas menatap kepergian sang anak. Begitulah momen mereka di setiap paginya. Entah sejak kapan, Alan tiba-tiba menjauh dari Alena.
Alan berlari kecil menuju halte di dekat rumahnya. Pagi ini, lelaki itu bangun sedikit terlambat dari biasanya.
Sebenarnya Alena sudah menawarkannya sebuah mobil, namun Alan menolak. Ia sama sekali tak mau menerima pemberian dari kakaknya itu.
Tidak banyak yang Alan lakukan ketika sampai di kampus. Kalau orang lain biasanya akan bermain bersama teman-temannya, tapi tidak untuk Alan. Ia lebih suka menyendiri.
Jika waktu istirahat tiba, biasanya ia akan ke perpustakaan lalu membaca buku sendirian. Baginya menyendiri dari keramaian lebih membuatnya nyaman.
"Apa aku boleh duduk di sini?" tanya salah seorang gadis sambil tersenyum ramah pada Alan.
Alan hanya melirik lalu menutup bukunya dan beranjak bangun dari kursinya. Gadis itu terlihat bingung, namun sedetik kemudian ia duduk dan melihat lelaki itu pindah ke tempat lain.
Setelah pindah ke tempat lain, Alan melanjutkan kembali kegiatan membacanya. Pikir Alan, lebih baik begitu daripada ia harus membaca di dekat orang yang tak ia kenal.
Beberapa menit kemudian, buku yang Alan baca sudah terbaca setengah halaman. Ia kemudian menutup bukunya dan pergi meninggalkan perpustakaan. Jam perkuliahan lain sudah hampir di mulai.
Lelaki itu segera pergi menuju ruang kelasnya. Tak lama kemudian, seorang dosen perempuan masuk dan langsung memulai perkuliahan.
"Ibu akan absen satu per satu. Silahkan maju membawa tugas kalian masing-masing.
"Alan?"
"Hadir Bu." Alan kemudian bangkit dari duduknya dan menyerahkan tugas miliknya pada sang dosen.
Tidak ada yang istimewa pada diri Alan. Ia hanyalah seorang laki-laki yang memiliki kecerdasan rata-rata. Kampusnya juga bisa dibilang bukan kampus favorit. Namun lelaki itu termasuk orang yang gigih dan rajin. Ya, walaupun hasilnya tak pernah bisa melampaui sang kakak.
Alena adalah lulusan terbaik kampus Oxford dan juga seorang programmer handal. Dia memiliki otak yang jenius dan sering meraih prestasi sejak kecil. Berbeda dengan Alan yang harus mati-matian belajar hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus.
Sudah begitu, Alena adalah orang yang supel dan memiliki banyak teman. Alan sendiri tak pernah memiliki teman sejak kecil. Lelaki itu selalu menyendiri dari keramaian.
Saat jam pulang tiba, Alan menghela napasnya. Ia malas sekali bertemu kakaknya yang sedang libur bekerja. Kalau boleh memilih, rasanya ia tak ingin pulang. Namun karena ia ingat sang ibu, mau tak mau Alan harus tetap pulang ke rumah.
Terdengar suara tawa yang cukup keras dari luar rumah. Alan menduga, pasti enam sahabat kakaknya itu sedang berada di dalam rumah. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu—ia menemukan suara tawa itu semakin kencang.
"Pokoknya itu adalah tugasku!"
"Enak saja. Aku sudah membuat idenya semalaman ya."
"Kalau kalian ribut terus, aku saja yang mengambil tugasnya."
"Tidak boleh!" Ucap dua orang tadi dengan serempak.
"Menyebalkan." Gumam Alan yang menyaksikan keributan itu. Ia hanya menatap malas lalu berjalan menuju kamarnya.
"Hai Alan! Ayo sini kumpul dulu bersama kami!" Sapa salah satunya pada Alan.
Alan melirik tak minat, lalu melanjutkan langkahnya kembali ke kamarnya.
"Adikmu kenapa? Apa dia sedang ada masalah di kampus?"
Alena mengendikkan bahunya. "Entahlah, aku juga tidak tahu. Belakangan ini ia suka bersikap seperti itu."
Sementara Alan yang berada di dalam kamar semakin jengah. Ia selalu iri pada kakaknya itu. Ibunya selalu menyambut dan menjamu teman-temannya dengan ceria. Seolah mereka adalah orang-orang yang istimewa. Ya, mungkin karena mereka adalah temannya Alena.
Tak pernah sekali pun ibunya bertanya tentang dirinya. Selama ini, hanya Alena dan Alena saja yang ada di dalam pembicaraan ibunya. Apalagi kalau Alena sedang ada pekerjaan di luar rumah, Alan akan menjadi tempat penampungan curhat sang ibu tentang Alena.
Bagaimana Alena di sekolah, semua prestasi Alena, bahkan makanan kesukaan Alena tak luput dari perhatian ibunya. Sebagai anak kandung, ia merasa asing. Seperti anak buangan saja rasanya.
"Dia dan sahabat-sahabatnya selalu berisik kalau sudah bermain di sini. Apa tidak ada tempat lain untuk berkumpul? Padahal mereka sudah punya kantor sendiri. Menyebalkan sekali." Gerutu Alan sambil masuk ke kamar mandi. Mungkin dengan membersihkan tubuhnya, pikirannya akan sedikit membaik.
Seusai mandi, keributan itu masih berlanjut. Karena tak bisa berbuat apa-apa, ia pun meraih sebuah buku dari meja belajarnya.
Baru saja ia ingin membaca, tiba-tiba perutnya berbunyi. Dari sekian banyak waktu, kenapa harus sekarang? Perutnya yang lapar benar-benar tak bisa diajak kompromi.
"Malas sekali kalau harus ke bawah. Tapi aku lapar." Gumam Alan dengan kesal lalu menaruh bukunya di meja.
Ia kemudian mengambil headset dan ponselnya. Biarkan alat itu membantu menyumbat pendengarannya dengan musik rock favoritnya.
Baru saja keluar dari kamar, suara tawa di bawah sana langsung menggema. Entah siapa yang tertawa, hal itu membuat Alan semakin jengkel. Karena lemari pendingin dan dapur letaknya ada di lantai bawah, mau tak mau Alan harus turun menuju tempat itu.
Saat ia turun tangga, mereka tampak asyik mengobrol tanpa menyadari kehadiran Alan. Tapi lebih baik begitu pikir Alan. Ia malas kalau salah satu dari mereka menyapanya.
Ia pun segera beranjak menuju lemari untuk mengambil sebungkus mie instan. Lalu berpindah ke lemari pendingin untuk mengambil sebutir telur dan beberapa buah cabai rawit merah. Ia ingin memakan mie instan pedas dengan telur di atasnya.
Saat Alan sedang fokus menunggu airnya mendidih, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Ia kemudian menoleh dan mendapati Alena di sana.
"Sedang memasak apa?" Suara Alena tak terdengar, hanya pergerakan bibirnya saja yang terlihat.
Alan tak menggubris. Ia menatap kompor kembali dalam diam.
Alena kemudian melirik bungkus mie yang letaknya tak jauh dari kompor. Karena tak tega adiknya makan mie instan, Alena berniat mematikan kompornya dan memasak makanan yang lain. Namun naas, saat Alena ingin mematikan kompor—Alan langsung menepis tangan kakaknya. Panci yang berisi air mendidih itu pun tersenggol. Alhasil, kaki Alena tersiram air panas dari panci tersebut.
Alena langsung meringis kesakitan. Namun Alan malah menatap kesal kakaknya itu.
"Kenapa kau selalu menggangguku? Bisa tidak, kau tak ikut campur urusanku?" Suara Alan meninggi dan membuat sekitarnya menoleh pada mereka.