Alan terbangun setelah mendengar alarm dari ponselnya. Sudah pagi ternyata pikir Alan. Padahal ia baru saja tidur dua jam yang lalu. Lelaki itu sama sekali tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan Alena semalaman.
Alan kemudian bergegas bangun dan bersiap-siap pergi ke kampus. Hari ini adalah hari terakhir dirinya masuk kuliah sebelum liburan panjang.
Beres mandi dan berpakaian rapi, Alan seperti biasanya turun ke lantai bawah untuk sarapan.
Baru saja ia turun, aroma masakan yang begitu lezat sudah menyapa indera penciumnya. Ia melirik ke arah dapur, ternyata Jun sedang memasak di sana. Ibunya juga ada di sana, terlihat sibuk memindahkan masakan Jun ke meja makan.
Saat ia menghampiri meja makan untuk mengambil sepotong roti, Jun tak sengaja berbalik lalu menyapanya.
"Hai." Jun tersenyum singkat lalu melanjutkan masaknya kembali.
"Makan dulu Nak. Jun sudah menyiapkan sarapan ini untukmu."
Selama kenal dengan Jun, Alan baru tahu kalau Jun bisa memasak. Ia kemudian menatap datar makanan itu lalu melirik ibunya. Seolah meragukan rasa dari masakan seorang Jun.
"Dia itu pintar memasak. Makan saja dulu, lagi pula masih cukup pagi 'kan?" Bujuk sang ibu dan membuat Alan menurut. Lelaki itu pun akhirnya duduk dan mulai mencicipi masakan calon kakak iparnya.
Saat pertama menyuap, Alan cukup terkejut dengan rasa masakan tersebut. Pantas saja Alena suka, Jun bisa dibilang pria idaman. Sudah tampan, cerdas, jago memasak pula.
Tidak buruk juga untuk menjadi calon kakak iparku.
"Kalau enak, aku akan membuatkan lagi untukmu." Kini Jun ikut bergabung bersama mereka. Alan hanya melirik sekilas lalu menyantap makanannya lagi. Ia masih merasa gengsi untuk akrab dengan Jun.
"Terima kasih ya Nak Jun, sudah membantu Ibu memasak."
"Tidak apa Bu. Lagipula kalau hanya memasak saja aku bisa kok. Oh ya, untuk sementara waktu aku akan tinggal di sini menemani Ibu."
Arin tersenyum. Rasa sepinya karena tak ada Alena, sedikit terobati karena adanya kehadiran Alan dan Jun di rumah.
"Aku berangkat ya Bu."
Lalu Alan menoleh pada Jun. "Masakanmu tidak buruk. Terima kasih."
Setelah mengatakan itu, Alan langsung memakai tasnya dan beranjak pergi.
"Ramen buatanmu juga enak sekali. Nanti malam buatkan lagi untukku ya." Tiba-tiba Jun berteriak sebelum Alan benar-benar keluar dari rumah. Namun lelaki itu tak bergeming dan tetap berjalan lalu menutup pintu rumah.
Arin pun tertawa melihat interaksi Alan dan Jun. Dua orang itu persis terlihat seperti kakak adik sungguhan.
***
Pulang kuliah, Alan dijemput Jun di depan kampus. Jun bilang, mereka akan langsung berkumpul di rumah Jimmy hari ini. Meski Alan merasa enggan, tapi mau tak mau ia harus tetap pergi ke sana. Demi sang kakak, ia rela berkumpul dengan orang-orang yang tak ia sukai itu.
Mobil Lamborghini biru itu membawa mereka melintas jalanan yang cukup jauh. Memasuki area hutan-hutan, namun jalannya terlihat rapi dan juga bersih. Seperti orang-orang berduit pada umumnya, Jimmy memiliki sebuah rumah mewah khusus yang letaknya jauh dari perkotaan.
"Bagaimana kuliahmu?" Tanya Jun santai. Terdengar basa-basi, namun setidaknya dapat mencairkan suasana kaku di antara mereka.
"Kau bertanya karena kau benar-benar ingin tahu, atau ingin cari perhatian padaku?"
Jun malah menarik senyuman kecil. "Mungkin dua-duanya?"
"Cukup baik."
"Cukup saja tidak cukup Alan."
"Lalu kau mau aku bagaimana?"
"Perhatikan juga kakakmu. Jangan hanya fokus pada dirimu sendiri saja." Jun mencoba menasehati Alan.
Terlihat sekali kalau Alan menganggap Alena seperti musuh bebuyutan. Jun tak ingin Alan egois pada Alena. Selama ini gadis itu selalu berjuang sendirian, tapi tak pernah lupa pada adik kesayangannya itu.
"Bukan urusanmu."
Jun mengangkat bahunya acuh. "Tadi kau bertanya, aku hanya menjawab yang ada di kepalaku."
Alan terdiam. Ia malas menjawab Jun kembali.
Setelah hening beberapa waktu, mereka akhirnya sampai di rumah Jimmy.
Wah, rumah ini persis sekali seperti di film-film yang aku lihat! Sebenarnya apa yang Kak Alena kerjakan selama ini? Lingkup pertemanannya luar biasa, benar-benar elit. Pantas saja dia selalu menempel pada orang-orang itu.
Bahaya kalau Alan menyuarakan kekagumannya itu pada yang lain. Bisa-bisa harga dirinya jatuh dan ditertawakan oleh mereka. Maka dari itu, ia hanya menunjukkan wajah datar dan mencoba bersikap biasa di hadapan Jun. Padahal jauh di dalam hatinya, jiwa takjubnya sedang meronta-ronta.
"Ayo masuk."
Terlihat beberapa orang berjaga di luar pagar. Mereka berdua kemudian dipersilahkan masuk. Dari kejauhan, Jimmy berlari menghampiri mereka dengan wajah sumringah.
"Selamat datang di rumahku!" Ucapnya antusias dan juga ramah.
Jun tersenyum, tapi Alan hanya menatap datar. Meski ditatap datar oleh Alan, Jimmy seolah tak peduli. Ia masih tetap menunjukkan wajah ramahnya pada mereka berdua.
"Sudah kau siapkan semua?"
"Tentu saja. Aku langsung menyuruh anak buahku membeli semua peralatan itu semalam."
"Uangmu sangat berguna. Terima kasih lho."
"Hei, kata siapa? Aku memakai uang kas perusahaan asal kau tahu." Jimmy menjawab santai dan membuat Jun tertawa.
"Gajimu akan kupotong setengah bulan ini." Jun menepuk bahu Jimmy lalu pergi ke dalam lebih dulu.
Setelah Jun masuk ke dalam lebih dulu, Alan masih berdiam diri di tempatnya. Sepertinya Alan masih terpana dengan rumah mewah milik Jimmy.
"Kau tak mau ikut masuk juga?"
Alan langsung menoleh dan mengangguk canggung. Ia akhirnya berjalan masuk ke dalam rumah bersama Jimmy.
Saat masuk ke dalam, rumah itu terlihat sepi dengan interior mewahnya. Kalau saja Alan bukan bersama Jimmy sekarang, sudah dipastikan mulutnya akan menganga lebar. Terlalu takjub dengan rumah tersebut.
"Kita tidak akan ke kamarku. Kita akan menuju ruang rahasia kami." Ungkap Jimmy seolah menjelaskan pada Alan.
Alan hanya mengangguk. Ia juga tak tahu harus berkata apa, karena baru kali ini ia berinteraksi dengan Jimmy. Alan jadi sedikit menyesal, harusnya tadi ia tetap di samping Jun dan bukannya sibuk terpana dengan rumah Jimmy. Meski Alan sering berkata ketus pada Jun, setidaknya ia lebih akrab dengan lelaki itu.
Di depan mereka kini ada sebuah lift. Jimmy lantas menekan tombol lift tersebut. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan mereka pun masuk.
Setelah denting lift berbunyi, pintu liftnya langsung terbuka. Suara tawa mulai terdengar oleh Alan. Ya, akhirnya Alan sudah sampai di basecamp teman-temannya Alena.
"Alan, ini basecamp kami. Tempat kami biasa berkumpul. Selamat datang. Kau tidak perlu sungkan. Kalau kau butuh apa-apa, kau bisa bilang padaku atau yang lain. Ayo, kita masuk."
Melihat keramahan Jimmy, Alan jadi sedikit kikuk. Terbesit sedikit perasaan bersalah karena ia terus bersikap acuh. Ia pun akhirnya kembali mengangguk canggung.
"Hei, itu punya Alan! Aku sudah menyiapkan alat itu khusus untuknya." Protes Jimmy saat mereka sudah masuk ke dalam. Di sana terlihat Jey sedang memakai headset gaming keluaran terbaru.
"Oh? Kau sudah datang rupanya. Ayo sini bergabung." Kim Joon tersenyum manis dengan lesung pipit di pipinya.
Alan yang sedari tadi melihat Jimmy protes, langsung menoleh pada Kim Joon. Lelaki kalem itu cukup ia segani.
"Iya Kak."
"Jangan canggung begitu. Kami semua sudah menganggapmu seperti adik sendiri. Today, we must start the game for Alena." Ucap Kim Joon tersenyum sambil menepuk bahu Alan dengan perlahan.