Chapter 7

1024 Kata
Alan berakhir di mobil bersama Jun. Lelaki itu terus terdiam sepanjang perjalanan. Jun sendiri tidak keberatan menjadi 'supir sementara' meski dia seseorang yang menduduki jabatan CEO di perusahaan. Dia terlalu menyayangi Alena, jadi Alan sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Ponsel Alan bergetar. Satu pesan baru saja masuk. Ia pun langsung membuka pesan tersebut. Ternyata isi pesannya tak lain dari si pengirim yang sama. Tentang peringatan waktu game yang masih berjalan. Alan menutup matanya rapat-rapat. Ia berharap semua yang terjadi tak benar-benar terjadi. Kalau ini mimpi, Alan akan senang sekali. Tapi sayangnya ia tak sedang bermimpi. Kegelisahan yang terpancar dari wajah Alan, membuat Jun menoleh. Ia pun sama pusingnya. Tapi sama-sama tidak bisa berbuat apa-apa juga. Mobil Jun sudah terparkir di depan rumah Alena. Ia dan Alan masuk ke dalam rumah dengan wajah lesu. Arin yang sedang menonton tv pun refleks menoleh saat pintu terbuka. Ia langsung menghampiri Alan dan Jun yang baru saja datang. "Bagaimana Nak? Apa sudah ada kabar terbaru dari Alena?" Alan menggeleng lemah, wajahnya sedikit tertunduk. Ibunya menghela napas berat, air matanya mulai menggenang. "Sebenarnya apa yang terjadi?" Jun buru-buru mendudukkan Arin di bangku. Ia benar-benar tak tega melihat orang terdekat Alena seperti itu. "Ibu, aku dan yang lain akan berusaha sebaik mungkin untuk mencari Alena. Tolong jaga kesehatan Ibu supaya tidak jatuh sakit." "Ibu tidak tenang Jun. Ibu takut terjadi sesuatu pada Alena." "Iya, aku tahu Bu. Saat ini kita hanya bisa memberikan doa yang terbaik untuk Alena. Semoga tidak terjadi apapun padanya." Alan menghela napas. Ia pun sebenarnya sama-sama tak tenang seperti ibunya. Hanya saja ia tak memperlihatkannya. Takut membuat Arin semakin cemas. *** "Alan, aku akan pamit liburan bersama teman-teman. Nanti akan kubelikan oleh-oleh kue pie yang enak dan komik detektif kesukaanmu ya." Alan membuka matanya perlahan. Lelaki itu tak sengaja tertidur karena saking lelahnya. Ia baru saja memimpikan Alena. Mimpi itu sama persis dengan kejadian saat sebelum Alena pergi. Seketika rasa rindu menyeruak di hati Alan. Alan pun keluar kamar. Pandangannya kini tertuju pada Jun yang berada di ruang tamu. Wajah lelaki itu terlihat kusut tapi tetap berusaha fokus pada layar laptopnya. Melihat hal itu, lagi-lagi ada perasaan bersalah muncul di hatinya. Harusnya dia tidak egois dan tetap melanjutkan permainan itu. Bukan seperti sekarang yang malah merajuk dan hanya berdiam diri seperti orang bodoh. "Kak Jun ...." "Oh? Ada apa? Kau lapar? Biar aku masak—" Baru saja Jun ingin bangun, lelaki itu kembali terduduk saat Alan bersuara. "Istirahatlah, tubuhmu pasti lelah." Jun tersenyum simpul. "Nanti saja, aku harus memonitor yang lain." Alan memutar matanya kesal. "Kau sendiri bilang untuk tidak egois, tapi kau sendiri justru egois pada dirimu sendiri. Apa kau tidak kasihan pada tubuhmu sendiri? Dia juga butuh istirahat." Ucap Alan sedikit emosi. Ia tak bermaksud marah, hanya saja ia merasa tak tega pada Jun. Lelaki itu terlihat kurang tidur dan kelelahan. Lagi-lagi Jun tersenyum simpul, tapi kali ini wajahnya mulai terlihat sendu. Pandangannya terlihat kosong memandang layar komputer. "Aku tak bisa. Jujur saja, aku sangat khawatir pada Alena. Kalau aku diam, aku akan semakin merasa bersalah pada Alena. Dan sekarang, yang bisa kuperbuat hanyalah ini." Mendengar hal itu, hati Alan semakin tertampar. Selama ini ia selalu ketus pada Jun, namun nyatanya lelaki itu malah sangat tulus perasaannya pada Alena. Ia jadi malu sendiri. Padahal ia yang adiknya, orang terdekat dan juga keluarga bagi Alena. Tapi dirinya justru kalah dengan Jun yang bahkan bukan keluarga Alena. "Kak, apa benar-benar tak ada cara lain untuk menghentikan game itu?" Jun menggeleng lemah. Waktu mereka tinggal empat jam lagi sebelum memulai misi pertama. Alan dan lainnya harus segera mengambil keputusan. "Mereka gagal mengakses coding game itu. Kalau mau membuka pakai password, jenis password-nya hanya Alena yang bisa membukanya. Sekelas Justin pun tidak bisa membuka password itu. Jadi, jalan satu-satunya kita harus tetap bermain game itu hingga akhir." "Baiklah, mulai detik ini aku berjanji akan menahan diri. Kita harus bergegas pergi sekarang Kak." Jun tersenyum sumringah. Ia lega akhirnya Alan mau melanjutkan game itu. Saat Jun akan berdiri, Alan menahan lelaki itu untuk tetap duduk. "Kita tidak akan memakai si biru, kita pakai taksi online saja. Aku tidak mau mati muda karena supirnya kelelahan." Meski ketus, Jun tetap tertawa. Ternyata diam-diam Alan perhatian juga padanya. *** Jimmy dan Jey tertidur di bangku dengan wajah kelelahan. Yang tersisa dari mereka hanyalah Justin, Kim Joon, dan Kim Yoon. Mereka masih setia di depan komputer dengan wajah serius. Mereka masih berusaha membuka password untuk menghentikan game itu. Pintu terbuka, Jun dan Alan masuk ke dalam tanpa berkata apapun. Saat baru masuk, Alan melirik sekilas pada Jimmy dan Jey yang tertidur. Mereka bahkan sampai tertidur seperti itu. Alan kemudian berjalan menuju komputernya. Kim Joon yang memang ada di sebelahnya pun tersenyum melihat kedatangan Alan kembali. "Kami akan membantumu. Jangan khawatir." Ucapan Kim Joon membuat Alan tersenyum simpul. Ia merasa sedikit lega. Lega karena ia tak berjuang sendirian. "Maaf Kak, tadi aku malah termakan emosi." "Tidak apa, kami maklum. Kau juga pasti lelah sekaligus khawatir. Jadi cukup wajar kalau kau kehilangan kendali. Tapi untuk kali ini saja, aku mohon kau bisa bekerjasama." Alan mengangguk. "Aku akan berusaha sebaik mungkin." "Hei, kalian bangunlah! Anak itu sudah kembali." Teriak Kim Yoon yang membangunkan Jimmy dan Jey. Sambil mengusap-usap matanya, mereka berdua berjalan sedikit sempoyongan menuju komputer masing-masing. Mereka masih setengah mengantuk. "Wah, benar-benar mengantuk sekali rasanya. Tapi lumayan aku bisa tertidur sebentar jadinya. Thanks lho Kak Yoon." Ucap Jey sambil menutup mulutnya yang menguap. "Ya, anggap saja istirahat sebelum berperang." Jawab Kim Yoon santai. "Baiklah, karena semuanya sudah lengkap, kita akan mulai saja permainannya. Kali ini aku akan ikut bermain dengan kalian. Usahakan untuk terus bersama, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam game nanti." Ucap Justin sambil fokus pada komputer di depannya. Alan kembali merasakan denyut jantungnya semakin kencang. Pria itu masih lumayan merasa gugup, tapi tidak gugup seperti sebelumnya. Setelah semua siap dengan peralatannya, Justin pun bersiap memberi komando pada yang lain. "Pada hitungan ketiga, aku akan memulai game ini. Satu, dua, tiga ...." Justin kemudian menekan tombol enter. Mereka akhirnya memulai petualangan melalui game tersebut. Tanpa mereka ketahui akan ada hal yang tak terduga terjadi pada mereka nantinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN