Bab 9 - Jatuh Cinta Lagi?

1212 Kata
Eva mulai berpikir, jangan-jangan dirinya tidak waras. Bagaimana tidak, bisa-bisanya berpikir kalau Ardi akan macam-macam, padahal Eva tahu sendiri bagaimana sifat Ardi. Ya, selama satu tahun tinggal bersama Ardi saat mereka masih terikat pernikahan kontrak, jangankan untuk macam-macam, sedikit pun Ardi tidak pernah menyentuhnya tanpa izin. Eva ingat betul betapa Ardi itu sangat berhati-hati. Sopan, manis dan tidak macam-macam … bukankah itu yang membuat Eva jatuh cinta padanya selain karena tampan? Selain itu, Eva sangat tahu kalau Ardi itu pria baik-baik. Jadi, kecemasan yang Eva rasakan saat ini sungguh konyol. Entah dari mana Eva punya pemikiran se-gila itu, yang pasti Ardi itu bukan tipe pria yang red-flag. Aku tahu Mas Ardi bukan tipe pria yang akan macam-macam…. Itu sebabnya, saat ini Eva berusaha mengenyahkan segala pemikiran konyolnya. Ya walaupun tak bisa dimungkiri deg-degan yang dirasakannya masih tetap ada. Eva yang sudah berdiri di depan pintu ruangan Ardi, perlahan mengetuk pintunya. Selama beberapa saat, wanita itu menunggu respons Ardi … benar saja, tak lama kemudian suara pria itu mulai terdengar dari arah dalam. “Masuk,” ucap Ardi. “Buka saja pintunya,” lanjutnya. Eva memberanikan diri membuka pintu dan tampaklah Ardi yang sedang duduk di kursi kerjanya. Eva pun masuk. “Maaf Pak, apa Anda memanggil saya?” tanya Eva yang kini sudah berdiri di hadapan Ardi, tepatnya di depan meja kerja pria itu. “Ya.” Eva terdiam, menunggu Ardi melanjutkan pembicaraan. “Duduklah….” Ardi berkata sambil beranjak dari duduknya. Ia mengisyaratkan agar Eva mengambil posisi duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Eva pun mau tidak mau berjalan ke arah sofa dan duduk di sana, terlebih Ardi pun sudah melakukan hal yang sama. Mereka saat ini sudah duduk di sofa. Posisi duduk mereka berseberangan dan ada meja yang menjadi penghalang di antara keduanya. “Pertama-tama … apa kabar?” tanya Ardi. Dari sekian banyak pertanyaan, sebenarnya itu adalah pertanyaan wajar untuk ditanyakan pada seseorang yang baru bertemu lagi setelah bertahun-tahun lamanya, tapi tetap saja … Eva merasa aneh. “Kabar baik, Pak.” Eva harus ingat bahwa Ardi adalah bosnya, bukan lagi suaminya sehingga ia tidak punya alasan memanggil ‘mas’ seperti dulu. “Pak Ardi sendiri, apa kabar?” “Seperti yang kamu lihat. Kabar saya juga baik,” balas Ardi. “Jujur, saya nggak pernah mengira kalau kita akan bertemu lagi terlebih dengan cara nggak terduga seperti ini,” sambungnya. Ardi melanjutkan, “Itu sebabnya saya nggak pernah bilang sampai jumpa pada pertemuan terakhir kita lima tahun lalu, karena kita memang seharusnya nggak bertemu lagi.” Ucapan Ardi membuat Eva langsung paham dengan arah pembicaraan pria itu. Tentu Ardi sedang membahas urusan pribadi mereka. Ardi berbicara lagi, “Tapi siapa sangka, sekarang kita malah dipertemukan lagi.” “Aku juga sama, nggak pernah mengira kalau kita akan bertemu lagi. Apalagi fakta bahwa Pak Ardi adalah bosku, ke depannya pasti kita akan sering-sering bertemu bahkan setiap hari,” balas Eva. Aku berharap upaya move-on yang aku lakukan dengan susah payah nggak rusak karena ini…. “Kamu benar, kita akan sering bertemu untuk urusan pekerjaan. Itulah salah satu alasan saya memanggilmu ke sini, saya merasa kita perlu membahasnya di ruangan tertutup begini agar jangan sampai ada yang mendengar.” Ardi melanjutkan, “Maksud saya … kita sama-sama terkejut dengan semua ini. Bukankah kita juga pasti akan canggung? Saya bilang canggung karena itu faktanya. Kamu canggung, kan?” “Bagaimana mungkin aku nggak canggung?” Eva balik bertanya. Ia benar-benar harus membiasakan diri menggunakan kata ganti ‘saya’ daripada ‘aku’ saat berbicara dengan Ardi. “Untuk itu saya ingin kita berdua sama-sama sepakat untuk merahasiakan masa lalu kita. Rasanya pasti akan semakin canggung kalau ada yang tahu.” Memangnya siapa yang mau mengumumkan? Eva jelas tidak akan memberi tahu siapa pun kalau bos baru di kantor ini adalah mantan suaminya. Eva tidak se-konyol itu. “Mari memisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Bersikaplah biasa saja seolah kita baru pertama kali bertemu di kantor ini,” kata Ardi. Eva pun mengangguk-angguk setuju. “Dengan bersikap profesional, saya jamin kita nggak akan saling canggung lagi,” sambung pria itu. “Baik, Pak. Aku mengerti,” balas Eva. “Maaf, maksudnya … saya mengerti,” ralatnya dengan penekanan pada kata saya. Eva yakin pertemuan mereka lagi pasti tidak berarti apa-apa bagi Ardi, seperti pernikahan dan perceraian yang pria itu anggap sebagai angin lalu. Namun, berbeda dengan Eva yang tidak bisa menganggap semua itu selayaknya angin lalu. Bahkan, pertemuan mereka lagi setelah lima tahun berlalu … bohong jika Eva merasa biasa saja dan tidak ada sesuatu yang berarti baginya. Jelas Eva merasakan sesuatu. Perasaan yang berusaha dikuburnya dengan susah payah seolah memaksa untuk meledak. Hanya saja, Eva tidak akan membiarkan itu terjadi. Ia pastikan tidak akan terbuai dan jatuh cinta lagi pada Ardi yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang perasaan Eva. Sungguh, cinta sendiri itu berat. Cinta bertepuk sebelah tangan yang dulu Eva rasakan jangan sampai terjadi lagi. “Hanya itu yang ingin saya sampaikan terkait masa lalu kita. Saya anggap sekarang adalah pertama dan terakhir kalinya kita membahas soal ini,” ucap Ardi. “Untuk selanjutnya … mari hanya membahas terkait pekerjaan,” sambungnya. “Baik, Pak.” “Oh ya, saya minta data dan informasi mitra-mitra yang paling banyak melakukan pembelian di kita,” ucap Ardi yang kini sudah sepenuhnya bersikap profesional. “Baik, Pak. Akan saya siapkan yang Bapak minta,” balas Eva yang tidak seratus persen bisa se-santai Ardi. “Kalau begitu kamu boleh kembali.” Eva lalu pamit dengan sopan dan meninggalkan ruangan Ardi. Setelah menutup pintu ruangan bosnya dari luar, jujur … Eva merasa ini bukan hal yang mudah. Bersikap biasa saja? Jangan canggung? Faktanya ini tidak semudah yang Ardi katakan. Baik, Ardi mungkin bisa melakukannya dengan mudah karena tidak pernah memiliki perasaan apa-apa padanya. Kebersamaan mereka selama setahun penuh tinggal bersama pun tak ada artinya bagi pria itu. Masalahnya Eva berbeda. Eva harus bersusah payah agar dirinya tidak terlihat canggung atau bersikap biasa saja. Sambil menuruni tangga menuju ke ruangan kerja para staf di lantai satu, Eva mulai membayangkan … baru sehari saja sudah begini. Apa lebih baik resign saja? Ya ampun, kenapa kamu harus ke sini, Mas? Padahal aku udah nyaman banget di sini bahkan berniat bekerja sampai usia pensiun. Kenapa kamu malah mengusik hidupku lagi? Ah, ralat ... maksudku, kamu nggak sadar telah mengusik kenyamananku. Eva harus bagaimana kalau sudah begini? Berpura-pura biasa saja setiap hari? Itu berat. “Eva kalau mau ke sini tolong sekalian bawain dokumen yang barusan saya print dong.” Suara rekan kerja Eva membuyarkan lamunan wanita itu yang baru saja menginjakkan kaki di lantai satu. Letak printer memang berada di samping tangga, Eva yang kebetulan berada di dekat situ tentu tidak keberatan sekalian mengambil beberapa dokumen yang baru saja dicetak oleh rekan kerjanya. Eva mengambilnya dan menyerahkan beberapa lembar dokumen itu sambil berjalan menuju tempat duduknya. “Udah ngomong sama bos duda gantengnya?” goda salah satu rekan kerjanya. “Udah,” jawab Eva. “Ngomongin apa?” “Itu pertanyaan? Ya ngomongin kerjaan,” jawab Eva berusaha tidak mencurigakan. Rekan kerja Eva tersebut tertawa. “Kamu udah punya pacar. Hati-hati jatuh cinta sama Pak Ardi, Ev.” Udah, aku udah jatuh cinta sejak bertahun-tahun lalu. Dan sekarang aku nggak mau jatuh cinta lagi….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN