“Aku bingung kenapa kamu se-sibuk itu padahal kamu sendiri yang bilang kalau kerjaan konten kreator itu fleksibel,” ucap Eva dengan penuh rasa kesal pada Daniel, pacarnya di ujung telepon sana. “Serius Dan, aku nggak bisa memahami ini. Kamu sibuk apa memangnya?”
“Eva dengar, kamu tahu sendiri aku belum punya tim jadi segalanya aku kerjain sendiri. Ditambah lagi akun aku itu masih berusaha berkembang, belum terlalu terkenal. Aku harus rajin upload supaya ada kontenku yang FYP lalu viral.”
Daniel melanjutkan, “Aku juga nggak paham kenapa kamu merengek karena aku belum ke kontrakan kamu cuma buat pasang lampu.”
“Cuma buat pasang lampu kamu bilang? Memang benar aku minta tolong pasangin lampu dari empat hari yang lalu, dan kamu jawabnya nanti-nanti-nanti. Memangnya aku bilang soal lampu setiap hari? Enggak, kan? Baru hari ini aku bilang lagi, sengaja ngingetin barangkali kamu lupa. Tapi ternyata kamu malah berpikir aku merengek ngajak ketemu cuma buat minta tolong pasang lampu,” ucap Eva semakin kesal.
Eva berbicara lagi, “Dengar ya Daniel Argantara, kalau plafon-nya nggak se-tinggi itu, mungkin aku bisa pasang sendiri. Masalahnya adalah….”
“Kenapa nggak minta bantuan kakak ipar kamu?”
“Apa kamu bilang?”
“Bukannya kamu masih sering ketemuan sama si Dika itu.”
Eva menghela napas. “Kenapa jadi nyambungnya ke Mas Dika? Ini nggak ada hubungannya. Aku lagi bahas tentang kamu yang sibuk banget sampai-sampai nggak ada waktu buat mampir ke tempatku.”
“Perkara lampu doang jadi panjang. Astaga,” keluh Daniel.
“Ya ampun, kamu paham yang aku bicarakan nggak, sih? Ini bukan soal lampu. Memangnya aku nggak boleh minta ketemuan sama pacar sendiri? Kamu sadar nggak, sih, kalau kamu itu agak berubah?”
“Berubah. Dulu aku nggak kayak begini?” balas Daniel. “Kamu mau bilang begitu, kan?”
Kenapa capek sekali bicara dengan Daniel? Sungguh, Eva itu bukan merengek karena butuh bantuan untuk memasang lampu. Eva hanya mempertanyakan kenapa Daniel ini sibuk sekali.
“Terserah deh.” Eva benar-benar lelah dengan perdebatan ini.
“Ya udah kalau terserah. Udah dulu, ya. Aku mau lanjut ngedit, nih.”
“Ya udah,” balas Eva.
Tidak ada jawaban dari Daniel karena pria itu sudah menutup sambungan telepon mereka.
Eva saat ini duduk di gazebo samping kantor, tempat yang biasa digunakan para staf pria untuk merokok. Namun, karena jam istirahat baru saja berlangsung, semua orang pasti sedang makan siang termasuk staf pria sehingga tidak ada siapa pun selain Eva di sini.
Sebenarnya Eva juga diajak oleh staf lain untuk makan siang bersama di kantin seberang kantor, tapi Eva memang perlu menelepon pacarnya sebentar. Sekarang karena sudah selesai menelepon, Eva mulai bergegas berjalan kaki menyusul rekan kerjanya yang lain.
Eva tidak tahu saja kalau sedari tadi di lantai dua … Ardi terus memperhatikannya sejak masih menelepon hingga wanita itu keluar gerbang menuju kantin di seberang sana.
Ardi terus memperhatikan Eva dengan pandangan yang sulit diartikan.
***
“Udah neleponnya?” tanya Dinda tepat saat Eva mengambil posisi duduk lesehan di samping wanita itu.
“Udah,” jawab Eva kemudian.
Saat makan bersama begini, mereka memang lebih memilih makan di tempat yang lesehan agar bisa muat banyak orang dan leluasa. Ini adalah tempat favorit mereka saat jam makan siang begini. Tempatnya sederhana tapi sangat bersih dan nyaman. Harganya pun sangat pas di kantong para staf seperti mereka.
“Ini makanan kamu udah aku pesenin,” kata Dinda seraya menggeser nampan berisi nasi dan soto ayam yang biasa Eva pesan. Air mineral dingin dalam botol pun tak ketinggalan.
“Makasih ya, Dinda. Baik banget,” balas Eva sambil tersenyum.
Eva sebenarnya tidak lapar. Nafsu makannya mendadak hilang setelah berbicara dengan Daniel via telepon tadi. Tapi tetap saja ia harus makan walaupun sedikit. Itu lebih baik daripada nanti perutnya keroncongan saat bekerja.
Eva pun mulai makan bersama yang lain. Mereka makan sambil sesekali mengobrol ringan. Topik hangat saat ini jelas segala tentang Ardi. Ya, bos baru mereka itu berhasil menarik perhatian orang-orang kantor. Eva tidak heran mengingat Ardi memang tampan, bahkan lebih tampan dari saat masih menjadi suaminya.
“Katanya nanti malam mau ada acara makan malam,” ucap salah satu rekan kerja Eva.
“Makan malam?” Eva jelas baru mendengar hal ini.
“Iya, makan malam. Padahal tadinya kita mau bikin buat menyambut bos baru. Eh, ternyata keduluan. Bos baru kita yang ngajakin duluan. Katanya, sih, kita mau ditraktir.”
“Wah seruuu, ngomong-ngomong makan di mana? Kalau ditraktir, boleh milih restoran yang agak elit nggak, sih?” canda yang lain.
“Enggak tahu juga. Nanti kita tanya lagi Pak Ardi mau makan malamnya di mana. Yang jelas di mana pun kita harus terima. Jangan lancang banyak mau karena Pak Ardi udah berbaik hati memfasilitasi penyambutan dirinya sendiri.”
“Apa harus ikut?” Di antara semua yang antusias makan malam dengan bos baru, justru Eva sepertinya satu-satunya yang tidak ingin ikut.
“Kenapa? Jangan bilang gara-gara si kembar lagi,” keluh yang lain. “Ikut dong, Ev. Kamu nggak ikut meeting perdana masa nggak ikut makan malam juga?”
“Ikut ya, Eva. Aku juga ikut,” mohon Dinda sambil menatap Eva dengan penuh harap.
***
Sebenarnya ini tidak bisa dikatakan makan malam juga, sih, karena waktunya masih terlalu sore untuk disebut malam. Namun, yang pasti acara makan bersama untuk merayakan kedatangan Ardi pun berlangsung dengan lancar. Tentunya jangan ditanya Eva bagaimana, wanita itu ikut tapi lebih banyak diam.
Selain karena demi menjaga jarak dengan Ardi, sebenarnya Eva juga masih kesal lantaran sampai detik ini pacarnya belum juga membalas chat-nya yang menanyakan kejelasan apakah malam ini pria itu akan berkunjung ke tempat tinggalnya atau tidak.
Bukannya Eva berharap lebih padahal pembicaraan mereka via telepon tadi siang sudah sangat jelas kalau Daniel tidak berniat sedikit pun untuk bertemu. Hanya saja, dengan bodohnya Eva masih berharap kalau masih ada sedikit kepedulian dalam diri Daniel terhadapnya.
Bukankah setidaknya Daniel harus menjemput Eva di restoran ini lalu mengantarnya pulang? Dengan begitu Eva akan melupakan pembicaraan mereka tadi siang dan hubungan mereka kembali menjadi baik-baik saja seperti sebelumnya.
Acara makan bersama berlangsung dengan sangat seru. Seluruh staf sepakat kalau Ardi itu bukan tipe bos yang menyebalkan. Ardi itu hangat dan tidak mau membedakan diri meskipun posisinya adalah kepala cabang.
Sampai akhirnya, mereka semua bersiap untuk pulang. Para staf tentu tidak memusingkan cara pulang lantaran tadi ke sini naik kendaraan masing-masing. Sedangkan Eva yang tidak sempat mengambil motornya ke rumah, berangkat ke restoran yang jaraknya lumayan jauh dari kantor dengan cara ikut menebeng pada motor yang dikendarai salah satu rekan kerja wanitanya. Namun, untuk pulang jelas tidak bisa karena arah pulang mereka berlawanan.
Ada, sih, staf pria yang searah dengan Eva, tapi Eva memilih tidak ikut menebeng karena staf pria tersebut sudah punya istri. Bukannya apa-apa, walaupun tidak ada sesuatu yang terjadi … tetap saja istrinya tidak akan suka. Eva paham isi hati sesama wanita sehingga sangat menghargainya dan lebih memilih naik ojek online daripada ikut nebeng dengan staf pria yang sudah punya istri. Daripada salah paham, kan?
Lagi pula bukankah Eva sudah mengirim chat pada Daniel agar menjemputnya? Eva memutuskan duduk di depan restoran ini dulu meskipun satu per satu staf sudah pergi meninggalkan tempat ini.
“Eva, kamu nggak apa-apa sendiri? Aku tungguin ya,” kata Dinda.
Eva menggeleng. “Kamu duluan aja. Aku lagi nungguin Daniel. Sebentar lagi seharusnya dia nyampe,” bohongnya. Padahal chat yang dikirimkannya saja masih berstatus unread. Bahkan, pesan Eva sebelumnya yang menanyakan kejelasan apakah Daniel mau datang ke kontrakan atau tidak pun masih belum dibaca. Keterlaluan sekali, bukan?
“Oh, ya udah, Ev. Kalau begitu hati-hati, ya.”
“Kamu juga hati-hati, Dinda,” balas Eva.
Eva memutuskan, jika dalam lima belas menit Daniel tak kunjung memberikan kejelasan dengan cara me-read chat yang dikirimkannya lalu membalasnya, Eva akan menarik pesannya lagi dan mulai memesan ojek online.
Lima belas menit? Bahkan ini sudah hampir setengah jam dan Eva masih setia menunggu kejelasan Daniel.
“Sebenarnya aku bodoh atau apa?” gumam Eva sambil membuka aplikasi andalan untuk memesan ojek online.
Tidak butuh waktu lama, sistem mulai melakukan pencarian pengemudi yang memungkinkan mengantar Eva dari titik lokasinya saat ini. Namun, tiba-tiba suara berat seseorang membuat Eva terlonjak kaget.
“Kamu ngapain nggak pulang-pulang?” tanya Ardi.
Sungguh, Eva pikir Ardi sudah pulang. Terlebih ia tadi melihat mobil Ardi mulai meninggalkan area restoran. Anehnya, kenapa pria itu ada di sini? Mana mobilnya?
Eva tidak tahu saja kalau mobil Ardi memang meninggalkan area restoran, tapi tidak benar-benar pulang. Ardi sengaja memutar balik untuk memastikan Eva pulang dengan siapa. Namun, ia malah mendapati wanita itu duduk di kursi depan restoran dan tidak kunjung pulang.
Ardi bahkan bersedia menunggu sambil memperhatikan Eva dari dalam mobil, setidaknya sampai seseorang yang bisa jadi ditunggu oleh wanita itu datang. Sayangnya setelah setengah jam berlalu, Ardi tidak melihat ada orang yang menjemput mantan istrinya itu. Makanya Ardi memberanikan diri turun dari mobilnya dan mulai mendekat.
Ardi kesal karena seharusnya ia sudah pulang dari tadi. Tapi malah terhambat gara-gara Eva.
“A-aku lagi nunggu dijemput,” jawab Eva spontan, agak terbata.
“Dijemput ojek online maksudnya?” Ardi bertanya seraya mengambil alih ponsel Eva di tangan wanita itu. Ia segera meng-cancel pencarian pengemudi yang wanita itu lakukan.
“Loh kok di-cancel, sih?” tanya Eva.
“Kamu lama banget di sini cuma buat nungguin ojol?” Ardi sungguh tak habis pikir.
“Sini hape aku!”
“Saya kembalikan hape kamu ini di sana….” Ardi berkata sambil menunjuk mobilnya.
“Itu mobil Pak Ardi, kan?”
“Ya, ayo naik ke mobil saya. Saya antar kamu pulang sekaligus mengembalikan hape kamu ini,” pungkas Ardi seraya bergegas melangkah menuju mobilnya. Ia tidak perlu repot-repot mendengar respons Eva.
Mau tidak mau, Eva mengikuti Ardi menuju mobil pria itu.
Bagaimana bisa menolak kalau ponselnya kini berada di tangan pria itu?