Biasanya Eva membeli sarapan setelah berolahraga. Sekarang pun begitu. Saat ini Eva menenteng plastik berisi nasi bungkus yang dibelinya di tempat favoritnya. Memasuki gerbang, Eva melihat mobil terparkir di samping motornya.
Meskipun tidak mengenal dekat seluruh pemilik kontrakan yang terdiri dari sepuluh pintu, enam unit di area bawah dan sisanya di atas, tapi Eva tahu betul tidak ada yang membawa mobil di sini. Ya, semuanya memiliki kendaraan tapi hanya roda dua karena kebanyakan yang tinggal di sini kalangan menengah ke bawah.
Jangan lupa, Eva. Dia kepala gudang. Meski agak heran juga, sih, kenapa memilih tinggal di sini….
Berusaha tidak peduli, Eva lalu menaiki anak tangga di samping parkiran. Suasana pagi ini masih sepi, bahkan Eva tidak berpapasan dengan satu pun penghuni lain.
Jujur, awalnya Eva lebih suka tinggal di bawah. Namun, karena saat Eva masuk ke sini semua unit yang ada di bawah penuh, Eva terpaksa tinggal di atas untuk sementara. Ya, rencananya untuk sementara karena saat unit di bawah ada yang kosong lantaran ditinggal pindah oleh penghuninya, saat itulah Eva akan pindah.
Hanya saja, saat itu terjadi, Eva sudah telanjur nyaman tinggal di atas. Bahkan, sampai sekarang. Apalagi ada unit pojok yang sering kosong sehingga Eva beberapa kali menitipkan barang-barangnya di sana.
Dan sekarang aku udah nggak bisa nitip barang-barang lagi karena udah ada penghuninya….
Sebenarnya minus tinggal di atas seperti ini ya harus siap setiap hari naik-turun tangga sekalipun dalam kondisi lelah sepulang kerja. Namun, hampir lima tahun membuat Eva benar-benar terbiasa.
Tiba di lantai atas, Eva langsung mendapati unit pojok yang pintunya terbuka. Kalau diingat-ingat, terakhir kali ada penghuni di unit tersebut sekitar delapan bulan lalu atau … satu tahun lalu? Eva tidak ingat saking sudah lama sekali. Selama itu pula, Eva berkali-kali menyimpan barang-barang pribadinya di sana.
Unit pojok itu tepat di samping unit Eva sehingga langkah Eva terkesan mendekat pada seorang pria yang baru saja menutup pintu dari luar dan menguncinya.
Eva yang sudah tiba di depan unitnya, spontan tersenyum pada pria yang disebut bapak-bapak oleh bibinya. Memang benar, sih, pria yang kini menoleh padanya itu sangat wajar disebut bapak-bapak.
Tunggu, kalau Eva tidak salah ingat … namanya Pak Gatot, kepala gudang Savanna cabang 069 yang baru. Seketika Eva bersyukur semalam meskipun malas, ia sempat mengambil barang-barangnya. Dengan begitu urusan mereka tidak perlu menjadi panjang.
“Pagi,” sapa pria itu pada Eva.
“Pagi juga,” balas Eva.
“Kamu penghuni di sini, ya? Kenalin … saya Gatot.”
“Iya, ini tempat tinggal saya,” ucap Eva sambil menunjuk pintu tempat tinggalnya menggunakan ibu jari. “Saya Eva,” sambungnya.
“Kalau begitu saya permisi, ya,” pamit Gatot.
Eva pun mengangguk sopan seraya memberikan jalan sekaligus mempersilakan Gatot melewatinya. Tidak butuh waktu lama sampai Gatot mulai menuruni tangga dan menghilang dari padangan Eva.
Setidaknya nggak terlihat bibit-bibit genit….
Memiliki tetangga itu terkadang menguntungkan dan ada kalanya membuat tidak nyaman. Kalau tetangganya baik dan tidak aneh-aneh, sih, bagus. Ini disebut keuntungan walaupun bukan berupa uang. Ya, saat menghuni rumah kontrakan, intinya punya tetangga yang tidak rese itu sudah seperti privilege.
Sedangkan kalau memiliki tetangga yang membuat tidak nyaman itu … jelas kabar buruk. Hanya ada dua kemungkinan, menunggu tetangga tersebut pindah atau diri sendiri yang pindah.
Namun, kesan pertama Eva melihat bapak-bapak bernama Gatot itu tidak terlalu buruk. Ia merasa Gatot bukan tipe orang rese apalagi genit. Dalam kata lain … ada atau tidaknya tetangga barunya itu tidak akan mempengaruhi hidup Eva.
Ah, Eva tidak tahu saja kalau tetangga barunya itu bukanlah Gatot.
***
Ini hari pertama Ardi resmi menjadi kepala cabang Savanna 069. Ya, cabang dari perusahaan yang bergerak dalam penjualan dan distribusi produk retail ini memang sangat banyak serta tersebar di hampir seluruh wilayah negeri ini.
Meskipun Ardi kemarin sempat berkenalan dengan para staf yang kebanyakan wanita, Ardi merasa perlu mengumpulkan mereka lagi. Bayangkan saja, tujuh dari sepuluh staf di sini adalah wanita karena para prianya kebanyakan bekerja di bagian gudangnya.
Ardi mengumpulkan semua staf bukan untuk berkenalan ulang, tapi sekalian meeting perdana.
Satu, dua, tiga … sembilan. Ardi dalam hati menghitung ada Sembilan staf yang sudah duduk di ruang meeting ini. Itu artinya ada satu staf yang belum datang. Tentu Ardi tahu siapa yang belum datang. Eva-lah orangnya.
Ke mana kamu, Eva? Padahal kamu sempat berolahraga, itu artinya kamu bangun pagi, jadi seharusnya nggak mungkin terlambat … kecuali kalau kamu tidur lagi setelah olahraga….
“Sepertinya ada yang belum datang,” ucap Ardi berpura-pura tidak tahu.
“Ah iya, maaf saya lupa menyampaikannya, Pak,” ucap Dinda, salah satu staf wanita yang lumayan dekat dengan Eva.
“Ya?” balas Ardi.
“Tadi Eva chat saya kalau dia bakalan datang agak terlambat hari ini. Dia ingin saya menyampaikan permintaan maaf pada semuanya terutama Pak Ardi.”
Ardi pun mengangguk, meski sebenarnya ia penasaran dengan alasan Eva terlambat.
“Eva kenapa? Tumben banget dia telat,” tanya salah satu staf lain.
“Si kembar maksa pengen diantar ke sekolah dulu,” balas Dinda.
“Ya ampun. Kirain apa.”
Jadi, gara-gara anak kembarnya….
Sekarang Ardi tidak heran kenapa beberapa perusahaan lebih suka merekrut calon karyawan yang belum menikah, karena ya beginilah contohnya kalau sudah menikah apalagi memiliki anak. Selalu ada alasan.
“Kalau begitu, bagaimana kalau saya memulai rapatnya sekarang?” tanya Ardi yang sebenarnya masih agak kesal. Bisa-bisanya Eva terlambat tepat di hari pertama Ardi menjabat di sini.
***
Setelah mengantar si kembar mendadak tantrum ingin Eva ikut mengantar ke sekolah, saat ini Eva sedang duduk di samping Dika yang fokus mengemudikan mobilnya.
“Maaf banget ya, Eva. Berkali-kali Lukas sama Lily begitu, saya pun selalu bisa mengendalikan mereka. Entah kenapa pagi ini mereka sungguh sulit dikendalikan,” ucap Dika dengan pandangan lurus ke arah jalanan.
“Enggak apa-apa, Mas. Untungnya Savanna nggak ketat banget. Terlambat sedikit nggak masalah,” jawab Eva.
Apa yang Eva katakan benar, bos Eva sebelum Ardi memang seorang wanita dan terkenal galak, tapi masih bisa memberikan toleransi pada staf yang datang terlambat. Tentunya dengan catatan ada alasan yang jelas dan tidak berbohong.
Masalahnya adalah … bos Eva sekarang adalah Ardi. Eva tahu betul Ardi itu pria seperti apa, tapi Eva tidak tahu Ardi tipe bos yang seperti apa. Apakah Ardi akan mempermasalahkan Eva yang terlambat sekalipun telah diberi tahu alasannya? Eva tidak tahu pasti.
Tidak lama kemudian, mobil yang Dika kemudikan tiba di depan kantor Eva.
“Berarti nanti kamu pulangnya gimana?” tanya Dika yang baru saja menepikan mobilnya.
“Ya ampun Mas, jarak dari kantor ke rumah itu deket banget. Aku aja hampir tiap hari jogging muterin daerah sini. Jadi, nggak masalah seandainya nanti pulangnya jalan kaki,” jawab Eva. “Itu sebabnya pas Mas Dika menawarkan perlukah antar aku ke rumah aja buat ambil motor dulu … aku menolak dan lebih baik langsung ke kantor aja.”
“Kalau saya pulang cepat, saya antar kamu, ya.”
“Mas….”
“Saya tahu jaraknya dekat, tapi gara-gara bantu saya….”
“Bahkan kalau aku mau, aku juga bisa nebeng sama temen kerja. Serius Mas, nggak usah repot-repot.”
“Baiklah kalau begitu. Sekali lagi maaf dan makasih ya, Eva. Udah rela terlambat kerja demi si kembar.”
Eva mengangguk sambil tersenyum. “Kalau begitu aku turun dulu ya, Mas.”
Setelah itu, Eva turun dari mobil Dika. Tak lama kemudian, bunyi klakson terdengar sebagai tanda Dika pamit meninggalkan tempat ini. Benar saja, mobil yang kakak iparnya itu kemudikan mulai melaju dan menjauh dari tempat Eva berdiri saat ini.
Eva lalu masuk ke kantor dan tentu saja meeting sudah berakhir. Para rekan kerjanya bahkan sudah sibuk dengan layar komputer masing-masing. Ada juga yang fokus memeriksa beberapa berkas.
Eva tersenyum canggung pada mereka semua. Setelah itu, ia yang hendak menarik kursi kerjanya … tiba-tiba mengurungkan niatnya saat salah satu staf memanggil namanya.
“Eva….”
“Iya, Mbak?”
“Kamu dipanggil sama bos.”
“Eh?” Eva agak terkejut.
“Mungkin karena kamu nggak ikutan meeting dan ada hal terkait pekerjaan yang ingin dibahas, makanya kamu disuruh ke ruangannya,” jelas staf lain.
“Iya bener, Ev,” timpal Dinda. “Tadi Pak Ardi minta kalau kamu udah datang … suruh langsung ke ruangannya aja.”
Eva kemudian mengangguk. Benar kata rekan kerjanya, ini pasti berkaitan dengan pekerjaan yang perlu dibahas. Tapi anehnya, Eva malah deg-degan. Apa ini karena untuk pertama kalinya mereka bicara hanya berdua? Berbicara setelah lima tahun perceraian mereka?
Kalau kemarin saat perkenalan, jelas di hadapan banyak orang. Masalahnya sekarang mereka hanya akan berdua saja. Sebisa mungkin Eva menenangkan diri dan bersikap biasa saja, tapi jantungnya malah semakin dag-dig-dug tak karuan. Apa-apaan ini?
Dengan langkah yang berat, Eva menaiki tangga menuju lantai dua di mana ruangan Ardi berada. Sumpah demi apa pun … sebagian dari diri Eva terus meyakinkan diri bahwa ia dipanggil untuk alasan yang berkaitan dengan pekerjaan terlebih ini kantor.
Namun, tetap saja, Eva tak bisa bohong kalau ia juga merasa … jangan-jangan pria yang sempat membuatnya gagal move-on itu punya maksud tertentu.
Ya Tuhan, Eva deg-degan!