Meskipun Ardi merasa mustahil kalau perempuan yang Gatot bilang tinggal di sebelah tempat tinggal barunya adalah Eva, tapi rasa penasaran menuntun Ardi untuk nekat malam ini juga mengantarkan kue yang Gatot siapkan. Hanya satu kue. Delapan sisanya akan Ardi bagikan besok pagi sesuai saran Gatot.
Bukannya apa-apa, Ardi hanya ingin membuktikan kalau perempuan muda yang Gatot maksud adalah Eva atau bukan. Daripada tidak bisa tidur memikirkannya, bukankah lebih baik Ardi mengeceknya sendiri.
Apalagi Ardi merasa rumah di sebelahnya itu lumayan sepi untuk ukuran sebuah keluarga yang punya dua anak kecil, apalagi di fase aktif-aktifnya yang mungkin tidak bisa diam atau setidaknya bersuara.
Menurut Ardi, kemungkinannya hanya dua … anak-anak Eva sudah tidur atau itu memang bukan tempat tinggal mantan istrinya itu. Kemungkinan manakah yang benar? Ardi tidak tahu.
Sedikitnya Ardi bersyukur Gatot sudah menyiapkan segalanya untuknya, termasuk kue yang akan ia bagikan untuk para penghuni di sini. Dengan begitu Ardi punya alasan untuk mengetuk pintu malam-malam begini.
Ah, sebenarnya ini masih jam delapan lewat sedikit, jadi masih wajar seseorang untuk mengetuk rumah orang lain. Apalagi hanya sebentar sekadar memberikan kue.
Namun siapa sangka, Ardi berusaha tidak menampilkan wajah terkejut saat mengetahui fakta bahwa yang tinggal di sebelahnya benar-benar Eva. Ya, Ardi berusaha bersikap biasa saja.
Setelah Ardi menyerahkan kue dan hendak kembali ke rumah kontrakannya, tiba-tiba Eva memanggilnya dan meminta tolong memasangkan lampu.
Sejenak Ardi menatap Eva cukup lama. Apa wanita itu bilang? Minta tolong pasang lampu? Ardi tidak salah dengar, bukan?
“Saya memang mengantarmu tadi sampai depan gerbang, tapi saya nggak nyangka kalau kita tinggalnya sebelahan begini,” ucap Ardi seraya kembali mendekat pada Eva. “Lebih nggak nyangka-nya lagi, kamu serius meminta saya pasangin lampu?”
“Aku tahu nggak sopan meminta bos sendiri masangin lampu. Untuk itu, maaf nggak jadi,” ucap Eva sangat canggung.
“Kalau di kantor, saya memang bos kamu, tapi di sini … mulai sekarang saya adalah tetangga kamu. Saya juga nggak keberatan buat pasang lampu doang. Cuma masalahnya kenapa harus saya? Kamu yakin nggak ada yang bisa kamu mintain tolong selain saya di sini?”
“Enggak ada, tapi abaikan permintaan tolong aku barusan ya, Pak. Soalnya nggak jadi.”
Ardi berpikir keras … bukankah Eva tadi di jalan teleponan dengan seseorang yang diduga suaminya? Seseorang yang Eva bilang tak perlu menjemputnya melainkan bertemu saja di rumah.
“Mana lampunya?” tanya Ardi kemudian.
“Eh, nggak usah, Pak.”
Ardi tidak menjawab, tapi malah menatap Eva cukup lama, membuat wanita itu secara tidak sadar mengatakan, “Di-di dalam, Pak.”
“Sini, biar saya yang pasang.”
Seperti terhipnotis, Eva membiarkan Ardi mengikutinya masuk ke rumah. Eva bahkan menyerahkan lampu yang sudah dibelinya sejak beberapa hari yang lalu. Lampu yang sengaja ia letakkan di meja ruang tamu sambil menunggu Daniel datang. Daniel yang sialan itu.
Begitu menerima lampu LED 8 watt yang Eva serahkan, Ardi langsung tahu ruangan mana yang perlu dilakukan penggantian lampu. Ya, dari ruang tamu jelas sekali kamar yang pintunya terbuka itu gelap lantaran lampunya padam. Ardi bisa tahu itu adalah kamar karena tata letak ruangannya sama dengan kontrakan yang ditempatinya.
“Udah berapa hari?” tanya Ardi. “Maksud saya, padamnya,” sambungnya memperjelas.
“Sekitar empat atau mungkin lima hari,” jawab Eva jujur.
Ardi menggeleng tak habis pikir. “Serius, nggak ada yang bisa kamu mintain bantuan?”
“Ada, sih. Tapi orangnya belum sempat.” Eva berkata jujur. Nyatanya Daniel memang belum sempat. Seharusnya malam ini tapi sayangnya pacarnya itu gagal datang.
“Bisa-bisanya nggak menyempatkan diri padahal yang padam itu kamar,” ucap Ardi yang semakin tak paham. “Suami macam apa yang nggak sempat pasang lampu padahal nggak sampai lima menit,” lanjutnya bergumam, tapi sepertinya Eva mendengarnya.
Ardi pun melangkah masuk ke kamar Eva sambil mengeluarkan lampu dari dus-nya.
“Suami?” Eva tentu saja mengernyit bingung. “Maksud Pak Ardi apa?”
“Kenapa suami kamu nggak sempat? Bisa-bisanya membiarkan kamar kalian gelap empat hari lebih.”
Eva semakin bingung. Barusan itu Ardi sedang membuat lelucon atau apa? Suami dari mana?
“Se-sibuk itukah dia,” tambah Ardi.
Eva yang masih berusaha mencerna perkataan Ardi, berpikir keras sambil menggeser kursi makan yang memang sudah disediakan dari tadi untuk mempercepat proses penggantian lampu. Tadinya Eva mengira bahwa yang akan menaikinya adalah Daniel, tapi kini Ardi-lah yang bersiap menaiki kursi itu.
“Baiklah, saya anggap suamimu sibuk. Bahkan sampai jam segini dia belum pulang,” ucap Ardi lagi. Ia berpikir demikian lantaran rumah Eva sangat sepi dan tidak ada orang selain mereka.
“Aku nggak paham suami yang Pak Ardi maksud.”
“Suami kamu.”
“Hah?” Eva semakin heran karena Ardi terus-terusan membahas tentang ‘suami’. Jika itu lelucon, kenapa sampai menyinggungnya sampai berulang-ulang? Eva sungguh tak bisa memahami ini.
“Anak-anak kamu juga pada ke mana? Apa sedang pergi bersama suamimu?” Ardi berkata sambil naik ke kursi dan mulai mengganti lampunya.
“Tunggu, tunggu … Pak Ardi kenapa berpikir aku udah punya suami dan anak, sih?”
Ardi melepaskan lampu lama dan menyerahkannya pada Eva. Dengan sigap Eva segera mengambilnya.
Kini, Ardi memutar-mutar lampu baru sampai bisa dipastikan melekat erat sambil berkata, “Memang kenyataannya begitu, bukan? Saya lihat sendiri di mal kalian berempat … benar-benar seperti keluarga yang harmonis. Setidaknya itu kesan pertama saat melihat kebersamaan kalian, tapi setelah saya tahu bisa-bisanya suamimu nggak sempat mengganti lampu yang hanya sebentar….”
“Pak Ardi melihat kami kemarin, ya?” potongnya. Eva mengerti sekarang. Aldi sungguh salah paham.
“Ya,” balas Ardi, tangannya masih belum melepaskan lampu yang kini sudah menempel dan siap dinyalakan.
“Itu bukan suami dan anak-anakku, Pak. Ya ampun,” kata Eva. “Pantesan aja aku bingung tiba-tiba Pak Ardi mengira aku udah punya anak dan suami, padahal itu bukan. Jadi, yang Pak Ardi lihat kemarin itu kakak iparku sama dua keponakanku.”
“Kamu serius?” Ardi terkejut tapi anehnya ia merasa senang, seperti baru saja ada angin segar yang menerpa wajahnya. Ardi juga kini sudah turun dari kursi. “Jadi mereka bukan suami dan anak kamu?”
“Ya, bukanlah. Soalnya aku belum menikah lagi setelah perceraian kita lima tahun lalu," jelas Eva. “Aku coba lampunya dulu ya, Pak.” Setelah mengatakan itu, Eva berjalan menuju sakelar bersiap menekannya agar lampu menyala, tapi tanpa diduga Ardi menahan tangannya sehingga lampu tidak jadi dinyalakan.
Kenapa Ardi cepat sekali? Padahal pria itu tadi baru saja turun dari kursi. Bisa-bisanya sekarang tiba-tiba ada di belakang Eva dan menahan tangan wanita itu.
“Pak Ardi ngapain?” Eva memutar tubuhnya sehingga kini berhadapan dengan Ardi.
Jujur, Eva deg-degan.
“Saya kira kamu punya suami dan anak. Ternyata saya salah mengira.”
“Terlepas dari salah mengira, memangnya kenapa kalau seandainya aku punya suami dan anak?” tanya Eva kemudian.
“Entahlah, saya juga nggak paham. Mungkin karena kamu pernah bilang nggak mau punya suami dan anak dulu. Tapi apa pun itu, seharusnya saya nggak banyak mau tahu urusan pribadi mantan istri.”
Ardi melanjutkan, “Ya, kita adalah mantan, bukan? Sekalipun pernikahan kita hanya di atas kertas?”
“Bisa dikatakan begitu,” balas Eva yang tak mengerti kenapa Ardi terus menggenggam tangannya, seolah enggan melepaskannya.
"Jika musuh saja bisa menikah, bagaimana dengan mantan? Bolehkah begini...." Ardi tak melanjutkan kalimatnya lantaran bibirnya sudah menempel pada bibir Eva.
Selama beberapa saat, Ardi menunggu reaksi Eva. Jika wanita itu menghindar, Ardi akan berhenti karena artinya ia mendapatkan penolakan. Namun, jika Eva tidak menghindar dan cenderung membiarkannya saja atau setidaknya hanya diam ... Ardi tidak akan ragu lagi untuk melakukan yang lebih jauh. Bahkan, sangat jauh. Boleh jadi Ardi akan melakukan lebih dari sekadar ciuman.
Ardi tersenyum karena reaksi Eva lebih dari yang diharapkannya. Bagaimana tidak, wanita itu malah memejamkan matanya, menuntun bibir Ardi untuk mulai menelusuri setiap detail bibir Eva yang merah menggoda.
Ciuman yang nikmat itu berlangsung tenang sampai kemudian tubuh mereka menggiring satu sama lain ke arah ranjang. Benarkah boleh begini? Bolehkah melakukannya padahal mereka bukan suami istri lagi?