Tiba di atas, Ardi mendapati suasana yang sepi, tidak ada siapa-siapa lantaran semua penghuni sepertinya berada di dalam rumah kontrakan masing-masing atau bisa jadi masih beraktivitas di luar. Ardi tak tahu, yang pasti ia benar-benar penasaran sebenarnya Eva tinggal di atas atau di bawah.
Gatot kemudian mengajak Ardi masuk. “Jangan mengeluh apa pun karena Pak Ardi sendiri yang ingin tinggal di rumah kontrakan terdekat dengan kantor alih-alih tempat lain,” ucap Gatot.
“Kalaupun tempat ini nggak cocok, saya nggak akan mengeluh,” balas Ardi sambil melihat-lihat rumah yang sudah ada perabotannya itu. Rumahnya minimalis dan bangunannya terlihat baru. Sepertinya pemilik kontrakan mengelola tempat ini dengan baik.
“Yakin nih nggak cocok tapi nggak bakalan mengeluh? Saya nggak percaya,” ucap Gatot.
Padahal Ardi serius tidak akan mengeluh. Bagaimana tidak, selain dekat dengan kantor … Ardi juga akan bertetangga dengan Eva. Itu sudah lebih dari cukup membuat Ardi tidak mencari tempat lain dan lebih memilih tinggal di sini.
Ardi sendiri tidak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri. Belum dua puluh empat jam ia membuat kesepakatan dengan Eva agar menjaga jarak dan bersikap seolah tidak saling mengenal sebelumnya, tapi kenapa Ardi sendiri yang malah senang tinggal di lingkungan yang sama dengan wanita itu? Hal yang tak pernah Ardi rasakan sebelumnya.
Ini aneh, tapi nyata.
Terlebih setahu Ardi, Eva merupakan wanita bersuami. Bagaimana mungkin Ardi tiba-tiba bersikap konyol begini?
“Semuanya total ada berapa pintu di sini?” tanya Ardi kemudian.
“Ada sepuluh. Enam pintu di bawah dan empat di atas. Semuanya ada penghuninya,” jawab Gatot.
“Semua karakteristik dan ruangannya sama seperti ini?” tanya Ardi lagi yang baru selesai melihat-lihat.
“Enggak tahu juga soalnya saya belum pernah masuk ke rumah kontrakan yang lain,” jawab Gatot. “Tapi dugaan saya, sih, sama.”
Ardi mengangguk-angguk.
“Saya juga udah nyiapin sembilan paket kue kering nih. Besok pagi Pak Ardi tinggal datangin satu per satu pintu buat memberikannya. Ingat, kunci nyaman tinggal di lingkungan seperti ini ya nggak ada masalah sama tetangga. Dengan memberikan kue sekaligus perkenalan … bisa mulai membangun hubungan yang baik antar tetangga.”
Gatot melanjutkan, “Enggak harus kenal deket. Minimalnya nggak ada masalah aja udah bagus.”
“Ya ya ya, besok saya bagikan sambil bilang ‘halo, saya Ardi penghuni baru di sini, semoga suka kuenya’ begitu?”
Alih-alih menjawab, Gatot malah tertawa. “Tapi jangan lupa mandi dulu, kesan pertama itu biasanya diingat. Pokoknya jadilah tetangga yang baik dan jangan menjengkelkan ya, Pak.”
“Kalau begitu silakan kalau mau pulang. Saya mau mandi dan tidur.”
“Pak Ardi ngusir?” kekeh Gatot. “Lagian saya juga udah pengen banget pulang. Mana perjalanan ke apartemen lumayan jauh.”
“Mau tinggal di sini?” tawar Ardi yang tentu saja sekadar basa-basi. Faktanya ia lebih nyaman tinggal sendiri.
“Makasih, tapi saya lebih suka di apartemen walaupun harus pulang-pergi dengan jarak yang lumayan setiap hari kerja. Apalagi rencananya istri sama anak mau berkunjung sesekali.”
“Iya, kan? Kalau ada anak sama istri pasti lebih nyaman tinggal di tempat yang lebih nyaman dari tempat ini?” tanya Ardi.
“Ya iyalah. Masa di sini?”
“Apalagi kalau anaknya dua,” kata Ardi lagi.
“Tapi anak saya cuma satu,” sanggah Gatot.
“Saya bukan sedang membicarakan Pak Gatot.”
Gatot mengernyit. “Aneh banget.”
“Udah sana pulang. Saya mau mandi.”
“Ini mau pulang,” kata Gatot yang mulai bergegas menuju pintu untuk meninggalkan Ardi. Namun, tepat saat berdiri di ambang pintu, Gatot kembali memutar tubuhnya menghadap Ardi.
“Saya hampir lupa.”
“Apa lagi?” tanya Ardi cepat.
“Tepat di samping rumah yang Pak Ardi tinggali, dihuni sama perempuan muda. Hati-hati jangan terlalu genit atau membuat dia nggak nyaman,” candanya.
“Genit? Kamu anggap saya apa?”
Gatot lalu tertawa. “Bercanda, Pak. Kalau gitu saya beneran permisi nih.”
Ardi mengikuti Gatot sampai teras rumah. Setelah Gatot benar-benar menghilang dan menuruni tangga, sejenak Ardi menoleh ke rumah yang Gatot bilang tadi bahwa itu dihuni oleh perempuan muda.
Mustahil perempuan yang Pak Gatot maksud adalah Eva, apalagi Eva tinggalnya dengan suami dan dua anaknya….
Haruskah Ardi menelepon Eva sekarang? Setidaknya untuk memastikan di mana wanita itu tinggal. Di bawah atau di atas?
***
Kamar yang gelap gulita itu sedikit mendapatkan cahaya dari ruang tamu yang terang benderang. Eva memang sengaja membuka pintu kamarnya agar cahaya dari ruang tamu bisa sedikit masuk ke kamarnya.
Meskipun Eva lebih suka tidur dalam keadaan lampu dimatikan, tapi kalau masih belum mau tidur, tentu saja Eva tidak akan membiarkan lampu kamarnya padam. Namun, pengecualian untuk beberapa hari ini. Lampunya harus diganti dan Eva tidak bisa melakukannya lantaran plafonnya terlalu tinggi. Padahal Eva bisa mengganti lampu dapur atau kamar mandinya sendiri, tapi sayangnya tidak untuk kamar.
“Tenang Eva, malam ini Daniel bakalan membereskan drama gelap-gelapan ini,” gumamnya seraya mengeringkan rambut sepunggungnya menggunakan handuk kecil.
Eva memang baru selesai mandi. Tentunya mandi dengan mode buru-buru lantaran khawatir Daniel keburu datang.
Selayaknya wanita-wanita pada umumnya yang hendak menyambut kedatangan sang pacar, Eva tentu harus berpenampilan layak. Tidak perlu dandan menor, minimalnya mandi.
Eva lalu meraih ponselnya yang tergeletak di tempat tidur. Rupanya … Daniel mengirimkan pesan padanya. Eva tentu langsung membacanya.
EVA SORI YA, AKU NGGAK JADI KE SANA SOALNYA BARU INGAT ADA RAPAT DI ZOOM. AKU JUGA SEKALIGUS JADI BINTANG TAMU DI KELAS SHARING ONLINE KONTEN KREATOR PEMULA.
Jangan ditanya betapa kesalnya Eva. Rasanya ia ingin menyiram wajah Daniel menggunakan secangkir kopi panas. Sungguh, apa Daniel tidak sedikit pun memiliki rasa peduli padanya? Eva sampai tak habis pikir dengan alasan pacarnya itu.
“Apa rapat Zoom lebih penting daripada ketemuan sama aku?” ucap Eva dengan amarah yang hampir mencapai di level tertinggi. Apalagi nomor Daniel tak bisa dihubungi saat Eva berusaha meneleponnya.
Sialan!
Sungguh, Eva pikir Daniel akan datang sekaligus memperbaiki hubungan mereka. Nyatanya semua itu zonk.
Sampai kemudian, tiba-tiba Eva mendengar suara ketukan pintu. Seketika ia seperti mendapatkan sedikit harapan. Jangan-jangan itu Daniel.
Daniel, apa kamu ingin memberikan kejutan?
Melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur, Eva kemudian bergegas membuka pintu untuk menyambut seseorang yang diharapkan adalah sang pacar.
Saat pintu dibuka lebar, Eva terkejut bukan main karena yang datang bukanlah Daniel, melainkan Ardi. Tunggu, bagaimana mungkin kemustahilan ini terjadi?
“Pak Ardi….”
Ardi tersenyum. “Ini kue,” ucapnya seraya menyodorkan sebuah kotak yang berisi kue.
“Ku-kue?” Tentu saja Eva bingung.
“Saya adalah penghuni baru di kontrakan ini. Dalam kata lain, saya tetangga baru kamu.”
“Hah?” Eva masih kesulitan mencerna semua ini. “Tunggu, Pak Ardi yang menempati rumah sebelah?”
“Ya, kamu benar.”
“Kok bisa?”
“Memangnya nggak bisanya kenapa?” Ardi balik bertanya.
“Soalnya tadi pagi….” Eva tak melanjutkan kalimatnya. Pikirannya sibuk mencerna semua ini.
“Oh, kamu mungkin bertemu sama Pak Gatot.”
Benar, bibi Eva juga bilang kalau namanya Pak Gatot, kepala gudang.
“Pak Gatot memang mengurus kepindahan saya,” kata Ardi lagi, memperjelas semuanya.
Ya ampun, apa lagi ini? Sudah menjadi bos baru di kantor, sekarang harus jadi tetangga Eva juga? Kalau begini, bagaimana cara menjaga jaraknya? Semakin Eva berusaha menjauh, keadaan malah membuat mereka mendekat. Apa-apaan coba?
“Kalau begitu nikmatilah kuenya. Semoga suka,” kata Ardi lagi. “Saya pamit.”
Ardi sudah memutar tubuhnya dan berjalan menuju kontrakan yang hari ini resmi ditempatinya. Hanya perlu beberapa langkah karena mereka memang tinggal sebelahan.
Sedangkan Eva saat ini memegang kue yang Ardi beri sambil menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. Eva masih syok dengan kenyataan ini.
“Pak Ardi tunggu,” kata Eva memberanikan diri.
Ardi pun menoleh. “Ya?”
“Sebelumnya maaf kalau lancang, apa boleh aku minta tolong buat pasangin lampu?” tanya Eva to the point.