Tentu Eva tidak tahu kalau dirinya dengan kakak ipar serta dua keponakannya sempat diperhatikan selama beberapa saat oleh Ardi yang berada di eskalator yang berlawanan dengan mereka. Sekalipun posisi eskalatornya sejajar, jangankan tahu diperhatikan, bahkan Eva saja tidak menyadari kalau Ardi berada di mal ini.
Tepat setelah menginjakkan kaki di lantai satu, Dika bertanya pada Eva, “Apa ada sesuatu yang mau dibeli?”
Lantai satu memang pusat perbelanjaan dan serba ada.
Eva sempat terdiam memikirkan apa yang ingin dibelinya, tapi tak lama kemudian wanita itu menggeleng pelan. “Kayaknya nggak,” balasnya.
“Soalnya mumpung di sini, supaya sekalian,” kata Dika lagi. “Tapi kalau nggak ada, ya udah kita langsung ke tempat parkir aja,” lanjutnya.
“Papi, papi,” panggil Lukas.
“Iya?” jawab Dika.
“Seharusnya Papi nanya aku sama Lily juga.” Lukas terlihat kesal.
“Maksudnya nanya apa?” Dika mengernyit.
“Nanya mau beli apa,” jawab Lukas. “Aku, kan, mau es krim.”
Seketika Dika tersenyum. “Kamu, kan, belum makan. Es krimnya nanti saja ya.”
“Aku mau sekarang!” Lily menimpali.
“Baiklah, kalau begitu ayo kita beli sebentar,” jawab Dika akhirnya mengalah. Pria itu kemudian menoleh pada Eva. “Kamu mau nunggu di sini atau ikut?”
“Aku nunggu aja, Mas.” Eva lalu menunjuk bangku panjang yang memang tersedia di sana. “Aku duduk di situ,” lanjutnya.
Dika mengangguk dan setelah itu ia menggandeng kedua anaknya menuju tempat es krim.
Melihat Dika bersama Lukas dan Lily dari arah belakang seperti ini, membuat Eva terkadang membayangkan … seandainya Nafa berada di antara mereka.
***
Tujuan Ardi ke mal ini adalah untuk mendatangi food court yang ia yakini pasti ada makanan yang membuatnya berselera makan terlebih ia sedang malas makan di hotel. Namun, siapa sangka pria itu malah melihat keharmonisan Eva bersama keluarga barunya. Ya, Ardi benar-benar mengira kalau Dika adalah suami Eva serta si kembar merupakan anak mereka.
Sungguh, Ardi yang sempat mengikuti Eva sampai ke daycare, kehilangan jejak setelah pria itu menjawab telepon dari kekasihnya. Namun, siapa sangka ia justru kembali melihat Eva di mal ini? Sekarang Ardi hanya diam menatap makanan yang sudah dipesannya tanpa minat.
Anehnya, kenapa Ardi merasa ini sangat konyol? Tentu saja sesuatu yang wajar jika Eva berubah selama lima tahun terakhir ini. Maksud Ardi, berubah yang tadinya tidak mau menikah apalagi memiliki anak, kini yang terjadi justru sebaliknya.
Baiklah, seseorang bisa saja berubah pikiran setelah bertemu pria yang tepat. Bisa jadi pria tadi itu berhasil mengubah segala pemikiran Eva sehingga yang tadinya tidak berminat menjalani kehidupan normal dalam berumah tangga, menjadi penuh minat.
Sungguh, Ardi merasa senang kini Eva hidup bahagia, tapi kenapa pria itu juga merasa ada yang aneh dengan perasaannya?
Rasanya … seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati. Entah apa itu.
***
“Astaga. Jadi kamu menghindari bibi hanya karena takut disinggung soal nikah?” Sri terkekeh saat Eva menceritakan alasan tidak bisa dihubungi.
“Memang benar enam tahun lalu saat kamu mau dinikahkan dan berujung kabur dengan laki-laki itu … bibi sangat membelamu mati-matian. Bukannya apa-apa, kamu masih 21 tahun dan masih kuliah. Waktu itu, bibi merasa ibu kamu sangat konyol.”
Ya, kebanyakan orang tahunya Eva kabur dengan Ardi. Hanya orangtua Eva dan mendiang kakak perempuannya yang tahu kalau Ardi itu sudah menikahi Eva, bukan sekadar mengajak kabur. Bahkan, Dika juga tidak tahu soal ini. Entahlah kalau dulu Nafa sempat bercerita. Namun, Eva rasa kakak iparnya itu tidak tahu.
Sri melanjutkan, “Jangan lupa, kamu bukan 21 tahun lagi sekarang. Kamu udah 27 tahun! Wajar dong kalau bibi menyinggung soal nikah? Tapi … ini bukan berarti bibi maksa, ya. Bibi akan paham kalau kamu jelasin kenapa memutuskan menunda pernikahan padahal udah ada calonnya.”
“Sambil menikmati hidangan di meja makan, Lily yang sepertinya menyimak pembicaraan para orang dewasa pun menimpali, “Soalnya aunty mau nikahnya sama papi, Nin.”
“Apa?” Sri tampak terkejut. Ia memang sempat kepikiran agar Dika turun ranjang saja, tapi tidak pernah mengira kalau wacana ini benar-benar akan dibahas. “Kalian….”
Eva segera menggeleng. “Enggak, Bi. Jangan berpikir yang aneh-aneh, ya. Selain itu mustahil apalagi Mas Dika itu udah aku anggap seperti kakak kandungku sendiri, aku juga masih sama Daniel, kok. Serius.”
Sri pun tertawa. “Kirain….”
“Kalau beneran juga nggak apa-apa. Aku malah suka kalau aunty jadi mami aku,” kata Lukas.
Ah, anak kecil dan pemikirannya. Eva memaklumi dan tidak mempermasalahkan karena si kembar memang belum paham apa-apa. Jadi, tak perlu dianggap serius.
Sri yang sadar kalau ini akan menjadi kecanggungan jika pembahasan soal turun ranjang dilanjutkan, akhirnya berkata tujuan sebenarnya ia ingin bertemu Eva.
“Serius Eva, meskipun bibi terkadang nyuruh kamu nikah … bibi nggak akan maksa kamu. Bibi bukan ibu kamu, oke?”
“Aku sempat mikir Bibi kerasukan ibu,” canda Eva.
“Dasar kamu ini,” balas Sri. “Dan asal kamu tahu, bibi mencoba menghubungi kamu bukan karena mau bahas nikah atau ada laki-laki yang melamar kamu. Sama sekali bukan untuk membahas soal itu.”
“Terus … apa yang ingin Bibi bicarakan?” tanya Eva penasaran.
“Ini soal kontrakan di samping kamu, yang paling ujung itu loh.”
“Itu, kan, kosong. Kenapa memangnya, Bi? Ada yang mau sewa?”
Sri mengangguk. “Iya, karena bibi lihat ada barang-barang kamu yang disimpan di situ … tolong ambil, ya. Kemungkinan besok orangnya pindahan. Kunci satunya masih di kamu, kan?”
“Masih,” jawab Eva. “Kalau begitu nanti aku ambilin barang-barang aku yang memang sengaja disimpan di situ. Ngomong-ngomong cewek atau cowok, Bi?”
“Bapak-bapak,” jawab Sri. “Jadi Pak Gatot ini, kan, sempat lihat-lihat kontrakannya dan dia bilangnya, sih, kepala gudang Savanna.”
Kepala gudang ya, Eva. Bukan kepala cabang, jadi bukan Ardi. Lagian bibi jelas banget bilang kalau itu bapak-bapak dan namanya Pak Gatot….
“Kamu nggak apa-apa, kan? Dia satu kerjaan sama kamu.”
“Bukan masalah, Bi,” balas Eva. “Maaf ya Bi, aku sempat susah dihubungi. Udah keburu berpikiran negatif, sih,” lanjutnya.
Eva kemudian menoleh pada Dika. “Bener kata Mas Dika, sebaiknya aku jangan langsung berpikiran buruk. Nyatanya dugaanku salah. Makasih udah diingetin ya, Mas.”
Dika hanya tersenyum.
***
Keluar dari lift hendak masuk ke kamar hotel, Ardi mendapati Gatot sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Teman sekaligus seniornya itu … sudah pasti hendak mencari dirinya.
“Ada apa?” tanya Ardi yang membuat Gatot mengurungkan niatnya untuk menekan bel.
Gatot langsung memutar tubuhnya. “Loh? Baru pulang?” tanyanya heran. Bagaimana tidak, Ardi masih memakai pakaian yang sama dengan tadi siang. “Atau nyasar?”
“Saya habis keliling-keliling dan sekalian makan malam,” jawab Ardi yang mustahil jujur kalau dirinya sempat membuntuti sang mantan istri lantaran penasaran.
Ardi kemudian mengeluarkan kartu akses dan menempelkannya pada pintu sehingga langsung terbuka. Ia masuk dan tentu saja Gatot mengikutinya.
“Gimana soal tempat tinggal saya?” tanya Ardi kemudian.
“Itulah alasan saya datang ke sini,” balas Gatot. “Tadi pemilik rumah kontrakannya udah telepon dan rumahnya beneran udah siap. Bahkan, nih … kuncinya juga udah di tangan.” Pria itu menyerahkan kuncinya pada Ardi.
“Bagus,” jawab Ardi.
“Saya udah berkeliling dan itu satu-satunya rumah kontrakan yang menurut saya paling layak dihuni oleh seorang Ardiansyah Kusuma Wardana. Apalagi jaraknya deket sama kantor, udah ada perabotan … pokoknya tinggal bawa badan aja deh,” kata Gatot.
“Tinggal bawa badan dan koper itu.” Ardi berkata sambil menunjuk koper miliknya.
“Tenang aja, besok saya yang urus itu.”
“Kalau begitu pegang dulu aja kuncinya.” Ardi menyerahkan kembali kuncinya pada Gatot. “Pastikan koper ini udah ada di sana setelah saya pulang dari kantor. Soalnya besok pagi saya mau langsung ke kantor aja.”
“Siap, Pak Ardi.”
“Terima kasih, Pak Gatot. Terima kasih atas bantuannya.”
Gatot tersenyum. Sebenarnya Gatot itu usianya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dari Ardi. Namun, penampilan mereka sangat berbeda. Ardi terkesan masih muda sedangkan Gatot tidak heran jika ada yang menyebutnya bapak-bapak banget.
“Jangan lupa besok serahkan lagi kuncinya paling lambat setelah jam istirahat.”
“Besok mau langsung ke sana sepulang kantor?” tanya Gatot.
“Ya, besok saya langsung checkout dari sini.”
“Semoga betah ya,” kata Gatot. "Semoga bisa beradaptasi dengan lingkungan sini. Saya juga, sih," lanjutnya.
Tanpa Ardi tahu, kepindahannya ke rumah kontrakan itu … akan menjadi awal dari segalanya. Awal dari sesuatu yang tak pernah pria itu bayangkan sebelumnya.