Bab 5 - Salah Paham

1190 Kata
Bagaimana mungkin Eva tidak bersemangat melihat Lukas dan Lily yang begitu aktif bermain di arena bermain anak? Sungguh, senyum dan tawa mereka adalah salah satu kebahagiaan yang nyata bagi Eva. Kalau Mbak Nafa masih ada, pasti happy banget lihat si kembar yang luar biasa aktifnya…. Ah, Eva berharap kakak perempuannya itu tenang di Surga. Terlebih tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi mengingat si kembar tidak pernah kekurangan kasih sayang. “Mami! We love you!” Suara Lukas terdengar sangat keras, diikuti gelak tawa Lily. Eva hanya tersenyum. “Rupanya mereka masih manggil kamu mami,” ucap Dika yang sepertinya baru saja tiba. Pria itu langsung mengambil posisi duduk di samping Eva. Eva yang sedari tadi sedang memperhatikan Lukas dan Lily di arena permainan anak, tentu saja langsung menoleh pada kakak iparnya itu. “Eh, Mas Dika udah datang,” balas Eva. “Maaf ya kalau saya agak lama.” “Enggak, kok, Mas. Tuh mereka aja masih asyik banget mandi bola sama main trampolin.” Dika mengangguk-angguk. “Serius, mereka masih memanggilmu dengan sebutan seperti tadi?” “Mereka begitu kalau di tempat umum aja, kok, Mas. Kalau di tempat yang nggak ada siapa-siapa, mereka manggil aku aunty seperti biasa,” jelas Eva. “Dasar ya, mereka ini beneran ada-ada aja,” kata Dika tak habis pikir. Lukas dan Lily memanggil Eva dengan sebutan ‘mami’ di tempat umum bukan tanpa alasan. Menurut mereka, itu cara paling aman agar orang-orang mengira Eva adalah ibu mereka. Dengan begitu jika ada laki-laki yang berniat mendekati Eva, secara otomatis akan mundur teratur karena mengira Eva adalah ibu dari dua anak. Bahkan, pada Daniel alias pacar Eva saja … Lukas dan Lily itu kentara sekali sangat tidak suka. Lukas dan Lily juga pernah terang-terangan mengatakan … andai papinya mau menikah lagi, hanya boleh dengan aunty-nya. Mereka tidak mau ibu tiri selain Eva. Baiklah, jelas ini menjadi salah satu alasan Dika belum menikah lagi sampai sekarang. “Aku panggil mereka dulu ya, Mas.” Setelah mengatakan itu, Eva langsung berdiri dan memanggil si kembar. “Papi kalian udah datang. Ayo sini!” Tidak lama kemudian, Lukas dan Lily langsung bersorak gembira dan segera menghampiri Eva dan Dika. “Papiii!” Dua bocah itu langsung berhambur ke pelukan Dika. “Kalian kenapa masih memanggil mami pada Aunty Eva?” tanya Dika pada si kembar. “Aunty Eva-nya aja nggak marah. Kenapa jadi papi yang sewot?” balas Lily. “Udah, udah. Sekarang waktunya kalian makan,” kata Eva agar perdebatan antara ayah dan anak di hadapannya tidak perlu menjadi panjang. “Mereka belum makan, Mas. Katanya makannya setelah main trampolin, susah banget disuruh makan,” jelas Eva kemudian. Ya, Eva memang sedari tadi sudah mengajak Lukas dan Lily untuk makan. Namun, dua bocah itu terus-terusan menolak. Padahal Eva membebaskan mereka untuk memilih makanan apa saja yang diinginkan, tapi mereka seakan tidak mau meninggalkan arena bermain anak. Tempat ini merupakan mal yang lumayan besar untuk ukuran wilayah pinggiran kota. Mereka saat ini berada di lantai dua, yakni sebuah arena bermain anak dengan berbagai wahana yang tidak kalah lengkap dengan mal-mal di pusat kota. Sementara itu, di lantai tiga ada food court sehingga mereka hanya perlu naik jika ingin makan. Sayangnya sedari tadi Lukas dan Lily bersikeras mengatakan kalau makannya nanti saja. “Ayo naik ke lantai tiga dan makan sama-sama,” ucap Lukas bersemangat. Lily pun langsung bersorak. Kali ini mereka sungguh tidak menolak diajak makan seperti sebelumnya. “Kita memang mau makan,” ucap Dika. “Tapi bukan di sini,” lanjutnya. Eva mengernyit. Lukas dan Lily pun terlihat heran. “Maksud Mas Dika?” tanya Eva. “Bibi Sri … beliau ingin kita mampir buat makan malam,” jawab Dika. “Katanya nggak apa-apa pulang kerja langsung aja, nggak perlu pulang dulu ke rumah masing-masing.” Bi Sri adalah adik kandung dari mendiang ibu Eva. Sudah menganggap Eva seperti anak sendiri. Bahkan, saat ini Eva tinggal di rumah kontrakan yang Bi Sri kelola dengan harga sewa yang setengah lebih murah dari penyewa lain. Sebenarnya Bi Sri tidak ingin Eva membayar sewa bulanannya, tapi Eva tidak bisa seperti itu. Ia memaksa ingin membayar sekalipun pada akhirnya disepakati sebesar lima puluh persennya saja. “Hah? Kok tumben bibi begini? Apa memang ada acara?” “Ini murni dadakan,” jawab Dika. “Bi Sri neleponnya pas banget saya masih di kantor,” sambungnya. Saat Eva masih kebingungan, Dika kembali berbicara, “Bi Sri nelepon saya karena kamu nggak bisa dihubungi. Bi Sri sepertinya nyamperin ke kontrakan yang kamu tempati juga, tapi pasti kamu lagi di kantor. Sepertinya beliau pengen ngomong sesuatu sama kamu.” “Aku malas ketemu bibi,” jawab Eva. “Selalu bahas soal nikah, nikah dan nikah. Padahal aku belum kepikiran ke arah sana. Bibi itu udah menjelma kayak ibu saat enam tahun yang lalu. Atau memang bibi kerasukan ibu?” ucapnya frustrasi. Eva melanjutkan, “Ah, jangan-jangan bibi juga udah menerima lamaran dari laki-laki buat dinikahkan sama aku? Ya ampun.” “Jangan berpikiran buruk dulu. Belum tentu,” jawab Dika. “Gimana aku nggak berpikiran buruk coba, Mas? Enam tahun lalu bibi mati-matian membela aku saat ibu memaksaku nikah muda. Sekarang bibi yang menyuruhku nikah.” “Sejujurnya saya nggak mau ikut berkomentar, tapi karena kita telanjur membahasnya … saya rasa Bi Sri menganggap sekarang kamu udah cukup dewasa untuk menikah, sedangkan dulu belum.” Eva terdiam. “Saya akan bantu jelasin kalau pacarmu itu belum siap menikah dan saya rasa Bi Sri nggak mungkin memaksa.” “Mas Dika benar. Seenggaknya bibi nggak seperti ibu yang kalau udah bilang harus, tetap harus.” “Kalau gitu, mau ke sana sekarang?” tanya Dika. Eva kemudian mengangguk. Setelah itu, ia memanggil si kembar yang sedang duduk sambil membicarakan permainan seru mereka hari ini. “Kita makannya di rumah Nin Sri, ya,” kata Eva memberi tahu Lukas dan Lily. “Yeaaay! Nin Sri pasti punya banyak snack buat menyambut kita,” kata Lily pada Lukas. “Yeaaay!” jawab Lukas yang semangatnya menggebu-gebu. “Eva,” panggil Dika yang membuat wanita itu menoleh. “Karena saya bawa mobil. Gimana kalau kamu yang bawa mobil saya bersama anak-anak? Biar saya yang nyetir motor kamu.” Sebelum Eva menolak, Dika sudah kembali berbicara, “Anak-anak pasti maunya sama kamu. Jadi, daripada saya naik mobil sendiri, lebih baik kalian yang di mobil.” Kalau sudah begini, Eva tidak bisa menolak. Terlebih alasan yang Dika lontarkan memang masuk akal. Eva juga yakin kalau Lukas dan Lily memilih bersamanya. Saat ini mereka berempat mulai turun ke lantai satu menggunakan eskalator. Eva menggandeng tangan Lily sedangkan Dika menggandeng tangan Lukas. Mereka sudah seperti keluarga bahagia. Ya, orang yang tidak tahu mungkin akan mengira mereka adalah sebuah keluarga yang utuh. Seperti halnya Ardi yang saat ini sedang menaiki escalator. Hanya saja eskalator yang dinaikinya itu berbeda karena pria itu hendak naik ke lantai dua, bukan seperti mereka berempat yang sedang menuju lantai satu. Namun, ia bisa melihat dengan jelas kebersamaan empat orang yang terlihat harmonis itu. Sepertinya … apa yang Ardi lihat saat ini membuat pria itu semakin salah paham. Eva, jadi itu suamimu yang sekarang?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN