Eva mau tidak mau masuk ke mobil Ardi setelah pria itu membukakan pintu untuknya, mempersilakan dirinya masuk.
Tepat saat Eva mengambil posisi duduk, Ardi juga masuk sambil menekan beberapa digit angka pada ponsel Eva, sontak membuat wanita itu bertanya-tanya.
“Pak Ardi lagi ngapain?”
“Menelepon.”
“Nelepon siapa? Itu hape aku.”
“Ya, ini memang ponsel kamu,” jawab Ardi santai. “Saya perlu menelepon nomor saya agar bisa mengetahui nomormu lalu menyimpannya.”
Eva mengernyit. “Hah? Kenapa Pak Ardi mau menyimpan nomor hape aku?”
Sungguh, Eva ingat betul ucapan Ardi tadi di ruang kerja pria itu. Ardi bilang agar mereka bersikap selayaknya baru pertama kali bertemu dan seolah tidak pernah terlibat hubungan sebelumnya.
Ya, Ardi sendiri yang bilang agar mereka sebaiknya mengesampingkan masa lalu dan bersikap seolah tidak pernah ada pernikahan di antara mereka. Dengan begitu mereka tidak akan merasa canggung. Juga, tidak akan ada yang curiga dengan interaksi mereka.
Namun, yang Ardi lakukan barusan adalah menyimpan nomor ponsel Eva? Menjaga jarak macam apa?
“Saya save nomor kamu tanpa ada motif tersembunyi. Ini murni buat jaga-jaga aja barangkali kapan-kapan perlu,” jelas Ardi lagi.
“Kapan-kapan perlu?” tanya Eva yang tidak paham dengan perkataan Ardi.
“Maksud saya … ini terkait pekerjaan. Seperti yang hari ini udah kita bicarakan, kita harus bisa memisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Dan urusan pribadi di antara kita … sudah sepakat kita lenyapkan. Jadi, saya pastikan akan menghubungimu hanya tentang pekerjaan.”
Ardi melanjutkan, “Selain itu, saya mengantarmu karena saya bosmu, bukan karena kita pernah menikah.”
Benarkah?
“Anda sungguh bos yang bertanggung jawab dan sangat peduli terhadap bawahan,” balas Eva.
“Pakai sabuk pengamanmu,” kata Ardi sambil mengembalikan ponsel Eva.
Setelah mengambil alih ponsel miliknya yang semula di tangan Ardi, kemudian Eva langsung melakukan yang Ardi perintahkan barusan yakni memakai sabuk pengamannya.
Tak lama setelahnya, mobil Ardi mulai melaju, meninggalkan area restoran.
“Rumah kamu … di mana?” tanya Ardi sambil fokus menyetir. Ia sebenarnya sedang berpikir apakah perlu menggunakan GPS, terlebih hari sudah semakin gelap.
“Antar aku ke kantor aja, Pak. Tempat tinggalku sama kantor cuma beberapa menit kalau jalan kaki.”
“Kenapa? Ada yang ketinggalan di kantor?”
“Enggak. Aku mau jalan dari sana aja.”
Jawaban Eva jelas menunjukkan kalau wanita itu tampaknya keberatan jika Ardi mengetahui alamat tempat tinggalnya. Itu sebabnya memilih diantar ke kantor saja.
‘Kamu takut suami kamu salah paham kalau saya antar sampai rumah?’ batin Ardi.
Mobil pun terus melaju dan tidak ada yang berbicara lagi.
“Eva,” panggil Ardi yang otomatis memecah keheningan di antara mereka.
Eva hanya menoleh.
“Sebetulnya saya belum terlalu hafal jalan. Apalagi ini udah malam. Jadi, bisakah kamu memberikan petunjuk arah?”
“Bahkan, ke kantor pun Pak Ardi belum hafal jalan?”
“Jarak dari kantor ke restoran tadi lumayan jauh. Wajar kalau saya lupa karena saya masih terbilang baru di sini,” balas Ardi. “Baiklah, lupakan. Seharusnya saya buka maps aja.” Setelah mengatakan itu, Ardi langsung mengaktifkan fitur maps lalu mencari lokasi kantor. Ia pun memulai start perjalanan menuju ke sana.
Hening lagi. Mereka tidak bicara apa-apa lagi. Ardi sibuk menyetir sedangkan Eva sibuk dengan ponselnya. Tuh, kan, mana mungkin bisa tidak ada kecanggungan antara mereka? Itu jelas sulit.
Tiba-tiba ponsel Eva bergetar lantaran ada panggilan masuk. Eva langsung terperanjat saat menyadari ternyata Daniel yang meneleponnya. Eva berpikir sejenak, sopankah menjawab telepon saat bersama bos seperti ini? Terlebih suasananya canggung begini. Eva jadi sungkan.
“Angkat aja. Enggak perlu sungkan,” ucap Ardi yang seolah paham dengan isi pikiran Eva.
Baiklah, Eva kemudian memutuskan menggeser layar ke warna hijau.
“Halo,” ucapnya hati-hati.
“Kamu di mana? Kenapa chat yang kamu kirimkan ditarik lagi?” tanya Daniel di ujung telepon sana.
“A-aku….”
Belum sempat Eva melanjutkan kalimatnya, Daniel sudah berbicara lagi, “Kamu mau dijemput? Aku OTW kantor kamu sekarang kalau kamu mau. Aku sempat lihat sekilas pesannya sebelum ditarik kalau kamu minta dijemput.”
“Aku udah hampir sampai, kok. Jadi nggak usah jemput. Kita ketemu di rumah aja.”
“Kalau begitu aku datang ke tempat kamu aja ya, Ev. Sekalian mau pasang lampu juga.”
Eva sampai melihat layar ponselnya sekali lagi untuk memastikan itu benar kontak Daniel. Bukannya apa-apa, pria itu berubah drastis padahal tadi siang mereka sempat berdebat.
Namun, Eva tidak peduli dengan tadi siang karena yang terpenting adalah sekarang. Bisa jadi Daniel sedang mencoba memperbaiki hubungan, bukan?
“Berhenti di depan situ aja, Pak,” kata Eva setelah meletakkan ponselnya ke dalam tas.
“Loh, katanya sampai kantor aja?” Ardi tampak bingung.
“Aku berubah pikiran. Sampai depan situ aja.” Eva terlihat buru-buru, membuat Ardi sadar wanita itu berubah pikiran tepat setelah menjawab telepon.
Suami kamu udah nunggu di rumah, ya, Ev?
“Baiklah kalau begitu.” Setelah mengatakan itu, Ardi menepikan mobilnya tepat di seberang gerbang rumah kontrakan yang Eva tinggali. Setelah mengucapkan terima kasih, Eva turun dari mobil pria itu.
Eva awalnya memang tidak ingin Ardi tahu di mana tempat tinggalnya. Namun, Eva sedang buru-buru sekarang. Jangan sampai Daniel datang sementara Eva masih belum tiba.
Eva masuk melalui gerbang bersamaan dengan mobil Ardi yang mulai menghilang dari pandangannya. Tanpa Eva ketahui, sebenarnya Ardi memperhatikan wanita itu melalui kaca spionnya.
Jadi, kamu tinggal di situ….
***
Setelah mengantar Eva, kini Ardi tiba di kantor. Ah, padahal tadi tujuannya sama dengan Eva yakni kantor, tapi Eva tiba-tiba mengubah tujuannya. Namun, tidak apa-apa. Dengan begitu Ardi menjadi tahu di mana tempat tinggal wanita itu.
“Lama banget, Pak,” keluh Gatot yang sedari tadi menunggu Ardi. “Saya bilang juga apa? Mending saya antar ke kontrakannya pas jam istirahat, eh malah nggak mau. Seharusnya saya udah pulang dari tadi nih, bukan malah nungguin orang lagi makan-makan.”
“Saya bilang juga apa, seharusnya Pak Gatot ikut makan malam bareng tim saya. Supaya nggak terlalu lama nunggu di sini.”
“Bisa aja jawabnya,” balas Gatot. “Saya menolak ikut karena tidak mau jadi satu-satunya orang asing.”
“Orang asing? Padahal gudang juga masih bagian dari perusahaan. Apalagi Pak Gatot itu kepala gudang yang pastinya dihormati.”
“Ya udah sekarang ayo saya antar, Pak. Saya juga mau pulang soalnya.”
“Maaf dan terima kasih ya, Pak Gatot. Udah nungguin. Baik banget,” kata Ardi. “Ngomong-ngomong, apa Pak Gatot nggak membuat acara penyambutan?” tanyanya penasaran.
“Acara penyambutan hanya berlaku buat kaum good looking. Kalau begitu ayo, saya antar ke rumah kontrakannya,” balas Gatot.
Dengan mengemudikan mobil masing-masing, Ardi mengikuti mobil Gatot di depannya. Tidak butuh waktu lama untuk mereka tiba di tempat tujuan. Dan begitu tiba, Ardi sempat terdiam selama beberapa saat. Bukankah ini tempat dirinya menurunkan Eva tadi?
“Ini tempatnya?” tanya Ardi saat dirinya dengan Gatot sudah sama-sama turun dari mobil.
“Ya. Pak Ardi sekalian masukin mobilnya aja. Kalau mobil saya di luar ya karena memang nggak tinggal di sini dan berhentinya pun sebentar doang,” kata Gatot.
Ardi pun menurut, masuk lagi ke mobilnya lalu mengemudikannya ke arah dalam. Tentunya Gatot membantu membuka pintu gerbangnya lebar-lebar.
Setelah mobil Ardi parkir dengan benar, Gatot mengajak pria itu menaiki tangga di samping parkiran.
“Saya tinggalnya di atas? Kenapa nggak memilih unit yang di bawah aja?” tanya Ardi.
“Penuh, Pak. Di atas pun tadinya cuma tersisa satu pintu doang. Langsung deh ambil,” jelas Gatot.
Ardi mengangguk paham. Sambil menaiki anak tangga menuju ke atas, Ardi berpikir … kenapa suami Eva tega sekali membiarkan Eva tinggal di tempat seperti ini apalagi mereka punya dua anak?
Selain itu, kira-kira Eva tinggal di unit bawah atau atas? Tepatnya unit yang mana?
Ah, anehnya Ardi malah berharap Eva tinggalnya di atas, bila perlu tepat di samping tempat tinggalnya.
Astaga Ardi, memangnya mau apa kalau Eva tinggal di samping tempat tinggal barumu?