Dengan langkah panjang dan percaya diri, Yuni menarik rambut seseorang yang sedang asik mengobrol dengan seorang pria bule.
“Ahhhh! Siapa sih yang–“
Perempuan itu membeliakkan mata saat tatapannya bertumbukkan dengan Yuni.
“Yuni?” pekiknya tertahan.
“Mau ke mana lu Keset Bengkel?” berang Yuni setengah menggeram.
“Yuni? L-lo kenapa bisa di sini?” gagapnya sambil memegangi tangan Yuni yang menjambak rambut si Keset Bengkel. Keset bengkel yang ternyata adalah Kakak tiri jahat dan menyebalkan Yuni, Kanti.
“Hey, Nona. Jangan kasar-kasar seperti itu pada pacarku!” seru pria bule yang tadi sedang ngobrol dengan Kanti.
“Diem lo! nggak usah ikut campur urusan gue Bule Bolot,” amuknya dengan garang.
“No! Ini urusanku juga karena kamu menyakiti pacarku,” jawab pria yang berperawakan bule itu dengan berani. Meski dengan bahasa Indonesia yang lengket aksen bulenya.
“Hoooo, jadi lo juga nikamati duit dari cewek ini? Okay, gue akan bikin lo berdua mendekam di penjara!” sahut Yuni semakin memerah padam.
“Honey, Dia bicara apa?” sahutnya menatap Kanti.
“She is my sister, Beb.”
“Cih! Sister dari kuburan. Habis nyuri duit dan jual aset lo kabur buat ngejalang miara bule di sini ternyata. Bagus. Dasar Hama Kelapa. Nggak tau malu. Udah bikin Abah bangkrut dan sakit, enak-enakan lo nikmatin tuh duit.”
“Lepas! Gue cuma ambil hak gue,” sentak Kanti tak terima sebab Yuni masih kuat menarik dan mencengkram rambut Kanti.
“Beb, please cari bantuan!” imbuh Kanti pada sang kekasih.
Karena salah asumsi, pria bule itu malah mendekati Yuni dan mencoba mendorongnya agar cengkraman tangan Yuni terlepas dari rambut Kanti.
Yuni yang sedang mengamuk seperti banteng yang melihat kain merah langsung menunjukkan tandukknya.
Wanita itu menginjak kaki si pria bule dengan stiletto tajamnya kemudian mendang kemaluan pria bule itu dengan tumit sekuat tenaga hingga si pria bule ambruk.
“Tolong. Tolong!” Kanti berteriak. Dan hal itu membuat orang-orang di sekitar yang tadinya tidak peduli bergegas menghampiri.
“Ada apa ini Mbak? Kalau mau ribut jangan di sini.”
Yuni tak gentar. Dengan lantang wanita itu malah meminta orang-orang menghubungi polisi dan menjelaskan kalau orang yang sedang ia aniaya ini adalah maling yang sudah mencuri uang dan aset perusahaannya.
Kanti tergagap karena tak bisa membela diri, sebab Yuni malah berani menantang dengan meminta bantuan polisi.
“Wah, parah. Ya udah Mbak saya teleponkan polisi,” kata seorang pria yang menghampiri dengan pacaranya. Sang pacar pria itu kemudian berbisik-bisik pada orang di sekitar yang baru datang dan penasaran tentang apa yang terjadi dengan keduanya.
“Ampun Yun, ampun! Kalau lo mau gue balikin, okay gue balikin. Tapi lepasin dulu,” melasnya pura-pura mencuri kesempatan untuk memberi kode pada kekasihnya agar segera menyiapkan diri untuk kabur.
“Apa? Balikin aset? Enak aja. Lo udah ngancurin hidup gue. Gara-gara kegoblokan dan keserakahan lo semua orang harus nanggung deritanya. Dan lo … lo juga harus nanggung derita yang berkali-kali lipat dari yang gue rasaain sekarang!“
Lanjut Yuni, "Gue akan bikin lo membusuk di penjara sampai lo lupa rasanya hidup bahagia MINYAK JELANTAH BUSUK!” amuknya membuat orang-orang yang tadinya ingin melerai jadi takut sebab kemarahan itu seakan tak bisa diusir sedikitpun dari Yuni. Menunjukkan seberapa serius masalah yang terjadi di antara keduanya.
“Yun, kita saudara!”
“Cih! Najis gue ngakuin lo sodara. Nggak ada sodara yang laknat ngancurin keluarganya kayak lo. Nggak pantes mulut lo itu bilang soal hubungan darah.”
“Kita masih bisa bicarain ini baik-baik. Please Yun, malu gue.” Kanti tampak berusaha mengulur waktu. Yuni terbahak.
“Taik babi kayak lo masih punya malu? Wahahaha luar biasa. Sampah sekali anda Nona Kanti Baradja.”
“Nyonya. Nyonya!” Yuni menoleh. Supir yang mengantar Yuni ke pesta tadi akhirnya bisa menemukannya. Pria itu tergopoh-gopoh karena berlarian mencari Nyonyanya.
Fokus Yuni yang hilang sekian detik itu dimanfaatkan Kanti untuk kabur dengan cara menginjak kaki Yuni dan menggigit lengannya.
“Arrrggghhh ... b*****t!” amuk Yuni setelah terdorong jatuh. Kanti langsung melesat menuju motor pacarnya.
Orang-orang di sekitar yang tadinya membantu Yuni mengamankan Kanti pun terkecoh. Tak sempat mengejar karena wanita itu dengan lihai menubruk orang-orang dan gesit menghindar dari sergapan orang-orang.
Yuni berlari mengejar. Wanita itu sempat menarik behel jok belakang motor yang dikendarai si pria bule.
“Jangan kabur lo cewek sialan!”
“Tancap, Beb!” seru Kanti membuat Yuni oleng dan akhirnya jatuh karena motor yang melaju kencang sekaligus.
Kanti masih bisa menyunggingkan senyum licik sambil mengacungkan jari tengah pada Yuni saat wanita itu terjatuh di aspal.
Orang-orang yang berkerumun pun membantu Yuni bangun. Kaki dan tangannya lecet-lecet dan terluka seketika. Namun, tak dihiraukan wanita itu sama sekali. Perasaannya lebih kacau dan luka yang ia dapatkan tak seberapa dari pada kekesalannya yang semakin membludak dan menggelegak.
“SIALAN LO KUTIL DUGONG! GUE BERSUMPAH HIDUP LO BAKAL SENGSARA DI TANGAN GUE,” jeritanya sekencang mungkin kemudian menangis.
Sang supir yang panik hendak menolong mengurungkan niat karena ponselnya berbunyi. Telpon dari Gema masuk untuk menanyakan posisinya. Setelah menjawab sang supir pun kembali mendekati Yuni yang kini sudah duduk di sisi trotoar dengan rambut dan make up yang berantakan.
Jika saja dalam situasi yang lebih santai, orang-orang mungkin akan menertawakan wajah Yuni yang belepotan make up itu.
“Nyonya tidak apa-apa?” Yuni melotot kasar dan tajam.
“Semua ini gara-gara Bapak. Ngapain sih panggil saya? Sekarang buronan yang udah ngancurin hidup saya kabur. Huwaaaaa … huwaaaa …. “
Sang supir yang tak tahu menahu tentang masalah yang sebenarnya hanya terkesiap karena bingung dengan respon sang Nyonya.
Tak lama Gema datang dan menghampiri sang istri yang terus menjerit, menangis meraung sambil menjejal-jejalkan kakinya seperti anak kecil.
“Neng?” serunya kasihan karena sang istri nampak sangat berantakan dan menyedihkan.
“Huwaaaaa … huwaaaaa … nyebelin!” amuknya sambil memukul-mukul Gema tak beraturan untuk melampiaskan kekesalannya.
Pasangan pria dan wanita yang tadi membantu Yuni menelponkan polisi pun menjelaskan kronologi singkat kejadiannya pada Gema.
“Terima kasih sudah membantu istri saya,” tutur Gema sopan sambil menjabat tangan mereka bergantian lalu keduanya pamit beserta orang-orang lainnya.
“Kita ke pulang ke vila yuk!” Yuni sudah lebih tenang. Meski masih sesenggukan lalu menurut pada ucapan sang suami.
“Bapak tunggu di sini ya? Kalau nanti polisi datang jelaskan saja,” tutur Gema sambil menyelipkan dua lembar uang merah pada tangan sang supir.
“Iya Tuan. Silahkan. Hati-hati di jalan.” Gema langsung menggendong Yuni yang terlihat lemas dan masih sesenggukan.
“Kembali ke vila Pak!” ucap Gema setelah menutup pintu mobil. yang dikendarainya dengan supir yang lain.
Bahkan di dalam mobil pun wanita itu kembali meraung dan meluapkan kekesalannya pada sang suami. Dengan ikhlas Gema membiarkan Yuni memukulnya. Toh, ia merasa pukulan yang Yuni berikan lebih seperti pijatan. Sesuatu yang kebetulan dibutuhkan karena lelah tubuhnya seharian ini sampai akhirnya wanita itu bosan dan tertidur kelelahan di pelukan Gema.
Pria itu tersenyum sambil membetulkan rambut sang istri yang acak-acakan. Membersihkan sedikit make up berantakan yang membuat wajah Yuni terlihat seperti sundel bolong karena maskara yang luntur denagan tisu yang ada di dalam mobil.
Gema membawa Yuni masuk ke dalam kamar setibanya mereka di villa.
Pria itu lantas memperhatikan perlengkapan makeup Yuni yang diletakkan di atas meja. Mencari tahu bagaimana cara membersihkan makeup di wajah sang istri dengan perlengkapan makeup-nya.
“Hm, mana ya makeup removal-nya?” Gema bergumam sambil mencari-cari cairan pembersih makeup yang warnanya bening seperti air biasa.
“Ah, ini!” serunya kemudian mencari kapas dan menuangkan cairan bening itu, mengusapkannya ke wajah Yuni dan mengulangnya dua kali sampai makeup di wajah Yuni benar-benar bersih.
Setelah itu ia membenarkan posisi tidur sang istri agar lebih nyaman. Menepuk-nepuk bantal dan membentangkan bedcover dari tepian kasur.
Gema menyelimuti tubuh Yuni yang sedikit mengigau sambil ditatapnya sejenak wajah polos yang terlihat sembab itu.
Diusapnya pipi Yuni dengan punggung jemarinya. Lembut dan pelan sekali agar tak membangungkannya.
“Tidur yang nyenyak, Neng,” lirihnya mengusap puncak kepala wanita itu. Ingin sekali Gema mencium kening wanitanya. Tapi ditahan sekuat tenaga karena takut membangungkan Yuni. Gema pun beranjak dari sisi sang istri. Namun, Yuni yang mengigau lagi menarik pergelangan tangannya dengan kuat.
“Jangan pergi! Jangan pergi Dirga!” Seketika amarah Gema menggelegak.
Pria itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Yuni yang semakin merengek dalam mimpinya menarik Gema hingga pria itu hampir menindihnya.
Dipeluknya erat leher Gema sambil membisikkan kata-kata yang sama seperti igauannya tadi.
Gema yang semakin diburu amarah pun melampiaskan dengan mencium bibir perempuan itu. Meski diselimuti amarah, Gema memberikan ciuman lembut bagi sang istri yang kemudian disambut dengan b*******h oleh Yuni.
“Hm, Dirga. I miss you,” bisiknya di sela ciuman mereka yang mulai panas.
Gema berguling ke samping, meraih tubuh Yuni ke dalam dekapannya tanpa melepaskan bibir mereka.
Sambil mengusap-usap punggung Yuni seraya menina bobokan wanita itu, Yuni pun balas memeluk tubuh Gema.
“Emm, Dirga kok ganjel?” igaunya lagi karena saat memeluk Gema ia tersandung perut buncit pria itu.
Sial sekali. Dalam mimpi saja fisik buncitnya masih menghalangi keintiman mereka.
“Kamu liat nanti. Akang akan tunjukkan kalau Akang juga bisa tampan seperti Dirga,” lirih Gema sedikit menggeram menahan kesalnya. Namun, karena wanita itu menduselnya erat, Gema pun luruh dan memilih terus mengusapi Yuni hingga keduanya tertidur pulas.
Bersambung