Keesokan paginya Yuni terbangun lebih dulu, ia mengernyitkan kening. Meraba-raba sesuatu yang terasa menggunung di bawah telapak tangannya.
Dengan mata yang seperti dilem rapat dan bengkak karena tidur setelah menangis, wanita itu mencoba mencari tahu dengan membuka matanya perlahan.
Bola mata Yuni membeliak karena pemadangan yang ada di hadapannya. Gema yang sedang tidur terlentang sementara dirinya yang tidur dengan posisi miring berbantal lengan pria itu dan memeluk perutnya.
“AKANG!”
Gema gelagapan bangun sambil berseru, “Ada apa Neng? Ada maling?” serunya panik sambil celingkukkan sementara Yuni langsung memukul pria itu dengan bantal yang dipegangnya.
“Akang ngapain ada di kamar aku? Peluk-peluk aku lagi. Kurang ajar!”
Gema yang akhirnya tahu hanya mendesah jengah.
Dengan gerakan cepat Gema menarik bantal yang dipegang Yuni lalu mendorong tubuh wanita itu hingga berbaring lagi. Kedua tangan Yuni dikurung di samping kepalanya. Sementara posisi Gema sudah menindih wanita itu dan mengunci pergerakan kakinya.
“A-akang m-mau a-apa?” gugupnya.
“Mau kamu!”
“Jangan ngada-ngada!” sulutnya. Gema terbahak.
“Kamu lupa. Akang suami kamu. Jadi Akang berhak atas kamu.”
Yuni menelan ludah. Ia tidak siap. Hatinya seketika meruntuk karena respon berlebihannya setelah bangun tadi sehingga memancing Gema marah.
“Tapi Akang sendiri yang bilang nggak akan maksa.”
“Maaf tapi Akang berubah pikiran sepertinya karena kamu mengigaukan nama pria lain semalam. Dan itu dosa sekali Yuni.”
Tenggorokan Yuni semakin serat. Tubuhnya makin menegang. Meski bukan yang pertama, namun melakukan hubungan intim dengan seseorang yang tidak disukainya tidak ada dalam kamus hidup Yuni. Meskipun orang itu adalah suami sahnya.
“Kenapa? Takut?” cibir Gema dengan senyum miring.
“Maaf.”
Gema terbahak. “Wah, Neng Yuni yang galak sekarang kenapa manis sekali seperti kucing, hm? Kenapa? Takut Akang genjot sampai kamu minta lagi?”
Telak!
Yuni membelalakan mata karena kata-kata vulgar yang diucapkan sang suami.
‘Cih, pede banget ini Aki-Aki’
Padahal ia sendiri punya segudang kamus umpatan absurd yang sering digunakannya dalam kondisi apapun. Lalu kenapa ia merasa tersinggung dengan kata genjot itu? Bukannya berhubungan badan pasti saling menggenjot?
Sial!
Kenapa ia malah memikirkan tentang hubungan intim? Apa ia harus melayani suaminya pagi ini? Benar-benar sial.
Gema mulai memajukan wajahnya. Sekuat tenaga Yuni memberontak hingga keduanya berguling-guling dan terlilit selimut.
“Akang lepas!”
“Bagaimana mau lepas kalau kita seperti kepompong begini?”
Keduanya pun berusaha melepaskan diri dalam selimut. Namun, rupayanya gerakan mereka yang semakin ke mana-mana membuat keduanya jatuh ke bawah.
Bugh ….
“Aduh!” keluh mereka berdua.
Tubuh Gema membentur lantai, sementara Yuni yang ada di atas sang suami keningnya terantuk kening Gema cukup keras.
“Akang sakit!” rengek wanita itu lucu dan menggemaskan.
“Makanya sama suami itu jangan durhaka. Kena azab kan sekarang.”
Yuni mendecak kesal. “Cepet bangun atuh!” protesnya merajuk karena kegerahan juga di dalam selimut bersama sang suami.
Gema berguling sedikit sehingga kini posisi mereka berhadapan di lantai.
“Cepet buka!” titahnya kesal karena Gema seperti sengaja mendiamkan posisi mereka.
Pria itu pun berhasil melepas ujung selimut yang tertindih punggungnya. Melepaskan diri lalu melilitkan selimut itu pada tubuh Yuni semakin kencang.
“Akang!” teriak Yuni kesal karena suaminya itu malah membuat tubuhnya semakin terlilit selimut.
“Akang harus memberi sedikit hukuman untuk istri durhaka Akang ini.” Yuni menegang.
“Akang mau apa?”
Gema terbahak melihat ekspresi gugup Yuni lantas berkata, “Sudah lupa tadi Akang bilang apa? Akang mau kamu,” bisiknya lirih di telinga Yuni. Perempuan itu sampai bergidik karena udara yang menerpa telinganya.
Sial!
Yuni terhimpit. Situasinya tidak menguntungkan sama sekali baginya. Perempuan itu hanya bisa meruntuk pasrah saat Gema semakin memajukan wajahnya.
Bibir mereka menempel. Yuni tak bereaksi. Hanya mengernyit sambil menutup mata.
“Neng ngiler ya?” tanya Gema setelah mundur sedikit.
Yuni membuka mata. Menahan nafas karena jarak wajah mereka yang sebatas ruas jari.
“Eng–hhhmmmppp …. “ Gema melumat bibir wanita itu. Lembut membuai dan beraturan.
Yuni terkesiap. Tak bisa protes. Hanya mampu mengedip-ngedipkan kelopak matanya bingung.
Sekian detik Yuni masih diliputi perasaan tak karuan. Jantungnya berdebar kencang sementara perutnya merasakan gelenyar aneh. Seperti ada ratusan kupu-kupu yang menggelitiknya
“Kang–hhhmmmppp … “
Yuni malah membuka mulut. Dan hal itu digunakan Gema untuk memasukkan lidahnya. Mengoyak rongga mulut Yuni dan mengabses deretan gigi Yuni yang putih dan bersih.
‘Sial! Kenapa enak banget ciuman sama ‘Aki-Aki’ behelan?’
Yuni terhanyut. Lama kelamaan perempuan itu menutup mata. Membalas ciuman Gema dengan penuh rasa yang sama.
Gema tersenyum hingga akhirnya melepas Yuni yang sudah terengah-engah. Wajahnya memerah karena selimut yang membungkus rapat tubuh sekaligus efek ciumannya dengan sang suami.
Gema mengusap sekitar bibir wanita itu dengan jempolnya sambil tersenyum manis.
“Lain kali jangan pernah menyebutkan nama pria lain di depan suami. Itu tidak sopan. Sekalipun hanya dalam mimpi. Kalau tidak, hukuman kamu akan lebih banyak dari ini. Mengerti?”
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Yuni mengangguk cepat dengan ekspresi puppy eyes yang membuat Gema tak tahan untuk merampas bibirnya lagi. Namun kali ini pria itu meminta ijin sang istri lebih dulu.
“Boleh lagi?” Yuni mereguk ludah. Bingung harus menjawab apa. Alih-alih mengiyakan, perempuan itu malah minta dilepaskan selimutnya.
Gema pun melepaskan Yuni. Keduanya tampak kikuk sebelum akhirnya Yuni masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya.
Di depan cermin wastafel, perempuan itu mengusap bibir yang masih terasa menyisakan basah dari ciuman sang suami.
“Bener kata Lala. Dia nggak mungkin nggak pernah main cewek. Ciumannya dahsyat banget gitu. Sampe gue mau lagi. Aaarrrggghhh ... sial! Otak gue udah menyusut ini.”
Yuni menampar-nampar pipi. Lantas memperhatikan wajahnya kembali yang bersih tanpa makeup.
“Dia bersihin muka gue apa ya semalam? Sampe kinclong gini?”
Tak sadar Yuni melengkungkan senyum tipis yang kemudian cepat ditepisnya.
“Halu! Masa lo jatuh cinta sama ‘Aki-Aki’? Inget Dirga, Yun. Sabar. Bentar lagi lo bakal ketemu kesayangan lo,” monolognya lantas membasuh wajahnya dengan sabun muka. Wanita itu juga menyempatkan mandi dan berganti pakaian untuk sarapan.
Gema sedang menelpon seseorang saat wanita itu keluar dan menghampirinya.
Seperti tau apa yang akan ditanyakan istrinya, Gema langsung saja menjelaskan kalau ia sudah memberitahukan kliennya bahwa istrinya semalam mengalami kecelakaan sehingga tidak bisa menghadiri pesta ulang tahun istri kliennya itu.
“Akang bilang gitu?” Gema mengangguk.
“Nanti habis sarapan kamu diantar supir untuk bertemu Pak Gunawan dan membicarakan kontrak kerja sama kalian.”
“Makasih. Maaf semalam aku–“
Gema mendesah panjang. “Sebetulnya siapa yang kamu cari?”
Bibir Yuni kelu. Ingin ia menceritakan keluh kesahnya, namun tersadar kalau Gema dan ia tak punya kedekatan hubungan yang bisa dijadikan pertimbangan untuk menjadi tempat mencurahkan hatinya.
“Tidak mau bilang? Ya sud–“
“Kanti. Dia anak pertama Abah dari istri pretama yang bikin kami hampir bangkrut.”
Gema memang tau masalah keluarga Yuni. Karena itu saat ia tak sengaja mengunjungi Astra, pria berusia senja yang sudah menjadi mertuanya itu meminta bantuan Gema tanpa pikir panjang. Gema yang terikat hutang budi dengan Astra pun mengulur tangan tanpa pikir berkali-kali. Toh, dengan alasan itu pula ia akhirnya bisa masuk ke dalam hidup Yuni sekarang.
“Kita sarapan dulu, ya?” ajak Gema mencoba mengalihkan kesedihan Yuni.
Usai sarapan pria itu meminta sang istri duduk di ruang tv sementara ia mencari kotak P3K.
“Nggak usah! Ini cuma lecet bisa," tolak Yuni saat melihat sang suami akan mengobatinya.
“Tapi nanti infeksi kalau tidak ditutup. Hanya pakai plester saja.”
Yuni menurut. Membiarkan Gema menutup beberapa luka lecetnya yang cukup parah dengan plester bergambar kartun.
“Kalau Akang bisa menangkap dia.”
Yuni terlonjak kaget sekaligus senang. Namun senyum itu redup tak kala Gema melanjutkan ucapannya sambil menatap manik mata wanita itu.
“Kalau Akang bisa mendapatkan Kakak tiri kamu, imbalannya apa?”
“Nggak usah! Aku bisa cari sendiri kalau gitu.”
Gema membereskan perlatan P3K-nya sambil berucap. “Dia pasti sudah lari dari sini sekarang. Dan kamu akan kesulitan mencarinya. Kamu butuh bantuan Akang.”
“Apa?”
“Hm?”
“Akang mau apa dari aku?”
“Tetap di samping Akang.”
Yuni tertegun dengan kalimat yang diucapkan suaminya. “Maksudnya?”
“Jangan minta cerai.”
“Tapi aku nggak cinta sama Akang.”
“Belum. Belum Neng. Kamu hanya belum mengenal Akang.”
Entah kenapa ucapan Gema membuat renyuh di hatinya terasa kentara sekarang.
Kenapa pria ini begitu menginginkannya? Apa yang ia incar darinya? Tubuhnya? Kalau hanya itu, ia bisa memberikannya. Tapi untuk hidup bersama, Yuni tidak bisa. Masih ada Dirga di hatinya.
“Maaf. Aku nggak bisa. Akang cari perempuan lain saja yang–“
“Akang maunya kamu.”
“Kenapa aku?”
“Karena Akang mulai menyukai kamu. Ingin melindungi dan membahagiakan kamu.”
“Nggak mungkin. Kita baru kenal. Menikah terpaksa. Baru berapa hari kita bersama? Dua hari. Nggak mungkin–“
“Kita hanya butuh waktu 90 detik untuk jatuh cinta. Sebab sisanya adalah mempertahankan cinta itu. Kamu nggak mau memberi Akang kesempatan?”
Yuni kehilangan kata-kata. Kenapa hubungannya jadi begini? Batinnya linglung.
“Begini saja. Akang akan mencari kakak kamu lebih dulu. Setelah Akang mendapatkan dia, kamu harus memberi Akang kesempatan selama tiga bulan untuk membuat kamu jatuh cinta pada Akang. Jika setelah itu kamu masih tidak bisa merasakan apapun, kamu boleh pergi. Akan tidak akan menghalangi kamu.”
Tawaran Gema mencubit hati Yuni. Entah kenapa ada pengharapan yang begitu besar dalam setiap kata yang diucapkan pria itu.
“Neng?” seruan Gema menyadarkan wanita itu kemudian.
“Okay! Without skinship.”
“With skinship. Deal?”
Yuni mengerutkan kening. “Kok maksa?"
“Sepertinya ada yang lupa kalau tadi begitu menikmati ciuman Akang."
Blush ….
Wajah Yuni memerah padam. Tangannya mengipas-ngipas di samping wajah. Seperti orang kegerahan. Sementara Gema tersenyum geli memperhatikan tingkah istrinya.
“Deal?” ulangnya mengulur tangan.
Yuni menatapnya lekat untuk sesaat sebelum akhirnya mendesah panjang dan menyambut uluran tangan Gema.
“Deal!”
“Good!” sahut Gema lalu menarik Yuni dan merebut bibirnya lagi.
Yuni berusaha mendorong tubuh Gema namun kalah tenaga hingga perempuan itu hanya bisa pasrah, mengepalkan tangan, menahan diri untuk tak terbuai dan membalas. Jangan sampai ia larut seperti tadi di kamar. Bisa jatuh harga dirinya.
Gema pun melepaskan ciumannya karena tak ada respon dari Yuni. Dengan menahan perasaan getir, Gema berusaha tersenyum lantas menjatuhkan kecupan hangat di kening Yuni. Membuat wanita itu tertegun bahkan setelah Gema pergi, wanita itu masih terdiam di posisinya. Ada rasa aneh yang menyerangnya akhir-akhir ini karena sentuhan Gema.
“Masa gue jatuh cinta sama tuh ‘Aki-Aki’ sih? Nggak mungkin lah. Gila aja jatuh cinta cuma 90 detik. Nggak make sense. Hal terbasurd yang gue lakuin kalau iya. Sinting!” umpatnya bangun dari kursi lalu bersiap diri untuk menemui kliennya. Sungguh, pagi yang sangat absurd.
Bersambung ....