MSH 8 - Keset Bengkel

1711 Kata
Yuni baru merebahkan tubuhnya, memilih tidur sejenak sebelum nanti malam ia pergi pesta yang diadakan kliennya saat pintu kamar diketuk dari luar. Sang suami tampak berdiri gagah menjulang di hadapannya setelah wanita membukakan pintu. Padahal Yuni ini memiliki tinggi badan 170 cm. Tapi dihadapan suaminya, ia masih harus menengadahkan wajah agar bisa bertatapan. “Makan dulu. Akang sudah minta petugas villa membawakan makanan untuk kita. Kamu belum makan dari siang kan?” ‘Kok dia tau? Jangan-jangan ini orang pasang penyadap lagi’ Seolah tau apa isi kepala dan yang sedang dipikirkan sang istri, Gema pun kembali melanjutkan ucapannya. “Yoga yang kasih kabar sama Akang.” Yuni sedikit tersentak. “Akang nanyain aku sama Yoga?” Gema menggelengkan kepala. “Akang tunggu di meja makan.” “Aku nggak lagi pengen makan.” “Nanti maag kamu kambuh. Jangan sampai kamu sampai sakit dan tidak bisa bertemu klien.” ‘Tuh kan! dari mana lagi dia coba tau gue punya sakit maag?’ “Yoga yang bilang sama Akang,” gemasnya mencubit pipi Yuni yang jadi merah karena kulit putih wanita itu. ‘Tuh kan geer lagi gue. Sadar woy sadar, Yuni’ “Ish, nggak usah cubit-cubit ya?” ketusnya menepis tangan Gema yang terlambat dihalau meski kakinya kemudian ikut melangkah ke meja makan. Keduanya menikmati santap sore mereka dalam kehidmatan. Baik Gema maupun Yuni tidak ada yang berniat membuka percakapan sebab rasa canggung akibat adegan ciuman yang terjadi tadi. “Aku.” “Akang,” seru keduanya setelah selesai makan. “Silahkan duluan!” imbuh Gema mempersilakan. “Nanti malam aku harus ke pesta yang diadakan klien.” “Pak Gunawan?” “Jangan bilang Yoga lagi yang–“ “Akang juga diundang sebetulnya. Tapi ada pertemuan lain yang harus dihadiri,” terangnya. Yuni ingin menggali lubang cacing dan bersembunyi di sana saja rasanya kalau ia tidak bisa menyembunyikan rasa malunya karena sudah salah sangka lagi. “Oh,” sahutnya singkat kemudian membereskan piring. “Biar Akang saja. Kamu pasti lelah kan?” sergahnya menahan lengan Yuni. “Tidur saja sebentar. Nanti Akang bangunkan.” “Nanggung. Magrib sebentar lagi. Pamali kata Umi mah.” Gema tersenyum manis mendengar ucapan sang istri. “Ini beneran Akang yang mau beresin? Nggak jadi istri durhaka kan aku?” imbuhnya memastikan. Gema terbahak dengan gaya yang sama seperti biasanya. Lalu entah dorongan dari mana Yuni yang tak tahan melihat perut pria itu berguncang lantas menekankan telapak tangannya pada perut Gema. Seketika tawa Gema pun menghilang berganti raut kebingungan. “Kasian dede-nya nanti ikut terguncang,” selorohnya tapi dengan raut datar. Semburan tawa yang lebih kencang pun menggema tanpa permisi. Alih-alih marah dengan cibiran sang istri, Gema malah terbahak puas hingga sudut matanya membasah. “Kamu lucu.” Yuni mendecak sebal. Tiba-tiba saja suasana di antara mereka mencair tanpa perlu dibuat-buat. Imbuh Gema. “Mau ngeteh sambil liat langit sore di belakang?” “Boleh. Tapi Akang yang bikin ya? Kan Akang yang nawarin,” acuhnya. “Siap Neng Sayang.” “Nggak usah pake sayang. Kayak iya sayag aja,” desisnya ketus. “Kalau Akang bilang beneran sayang, Neng mau apa?” “Ya bodo amat!” sahutnya berlalu ke halaman belakang villa di mana terdapat infinity private pool yang menghadap hutan dan kawasan yang sejuk di belakang vila mereka. Tak lama Gema berdiri di samping perempuan itu sambil menyerahkan segelas teh yang masih mengepulkan udara panas dari dalam cangkir. Keduanya menikmati senja tanpa kata. Sesekali Yuni menghirup aroma teh dalam gelas yang dipegang sebelum meminumnya. Dan hal itu tak luput dari penglihatan Gema. Membuatnya tersenyum sebab Yuni bisa menunjukkan kelasnya dari cara wanita menikmati tehnya saja. “Ini villa Akang?” tanyanya tanpa menoleh pada sang suami. “Iya. Kamu suka?” “Apa bedanya kalau aku suka atau nggak?” tanyanya balik kali ini dengan tatapan sinis. “Karena villa ini artinya juga jadi milik kamu.” “Oh, harta gono gini maksudnya.” Gema mendesah pelan. “Akang tidak akan menceraikan kamu.” “Ya nggak papa. Aku nunggu Akang mati aja kalau gitu.” Gema mencengkram kuat gelas yang ada di dalam pegangannya. Hatinya sakit mendengar ucapan sang istri barusan. Dalam benaknya berseliweran kemungkin kalau Yuni ingin bercerai karena laki-laki bernama Dirga yang masih dalam penyelidikannya. Gema hanya bisa memendamnya dalam hati. Ia menguatkan janji bahwa sampai kapanpun tak akan melepaskan Yuni dari sisinya. Meskipun seisi dunia ini harus ia tentang. “Kamu mengharapkan sekali Akang meninggal?” Yuni tersenyum sinis lantas menyeruput teh setelah menghirupnya lagi. “Semua orang pasti mati. Bedanya cuma cara dan waktunya. Ya kalau Akang mau panjang umur sih nggak papa. Nggak ada yang larang,” balasnya acuh. Entah kenapa lagi-lagi setiap kali bicara dengan pria di sampingnya ini, Yuni selalu terpancing ketus. Padahal ini bukan bagian dari rencananya untuk membuat sang suami kesal sekaligus membencinya. Tanpa harus dibuat-buat semua malah mengalir begitu saja. Yuni menghabiskan tehnya yang tinggal sepertiga kemudian berlalu ke dalam villa, meninggalkan sang suami yang sedang merasakan kekecauan perasaan akibat ucapan wanita itu. Masih sulit bagi Yuni menerima pernikahan ini sebab banyak hal yang tak siap ia hadapi. Sekelebat bayangan wajah Abahnya yang sakit dan tersenyum bersamaan pun membuat air mata wanita itu luruh di pipinya tanpa permisi. “Maafin Eneng, Bah. Neng janji akan berusaha sebaik-baiknya. Tapi kalau di tengah jalan Neng mengecewakan Abah, tolong jangan benci Neng,” lirihnya tanpa tau kalau apa yang diucapkannya didengar Gema yang akhirnya memilih kembali ke belakang agar tak membuat sang istri malu. Yuni masuk ke dalam kamar, bersiap untuk berangkat ke pesta. Sekitar satu jam kemudian keluar dengan menggunakan dres hitam dengan kerah off shoulder yang menampilkan bahu cantiknya. Gema memindai sang istri dari atas sampai bawah dengan tatapan tak suka. Batinnya seakan meruntuk kenapa istrinya itu harus secantik ini walaupun riasan make up yang digunakannya masih bisa ditolerir Gema. “Gitu amat liatinnya,” desis wanita itu merasa tersinggung. “Kamu tidak punya pakaian yang lain selain ini?” “Yang dibawain sama Bibi ya cuma ini." “Bibi?” “Iya. Tadi aku suruh Bi Yayuk pilih gaun yang mana aja yang Bibi liat di lemari.” Gema mengeraskan rahangnya. “Kamu bilang apa sama Bibi sampai dipilihkan gaun yang ini?” “Nggak ada. Emang kenapa sih? Ini Cocok sama teman acara ulang tahun istrinya Pak Gunawan.” “Bahunya. Akang nggak suka nanti orang liatin bahu kamu.” Yuni terbahak. “Oh, jadi maksudnya Akang cemburu?” Gema berdeham kikuk. “Tidak boleh?” “Suka-suka Akang lah. Akang yang rasain.” “Ayo ikut!” “Eh mau ke mana?” tentang wanita itu menahan laju tubuhnya yang ditarik sang suami. “Cari gaun yang lain. Pesatanya masih satu jam lagi kan?” Yuni mengernyitkan kedua alisnya tak suka. ‘Ngatur banget sih nih Beruang Kutub bin Jelangkung’ “Bukannya ini juga Akang yang beli ya? Aku kan nggak bawa banyak baju ke rumah. Akang sendiri yang bilang kalau lemariku udah diisi sebagian pakaian yang Akang beli. kenapa sekarang protes sih? suka nggak jelas ini Ak–“ Yuni berdeham karena hampir keceplosan menyebutkan ‘Aki-Aki’ lagi. Dalam hatinya ia bersyukur karena panggilan Akang yang jadi mengingatkannya agar tak keceplosan di depan Gema. “Kamu ikut saja. Kalau nggak mau ikut nggak usah datang sekalian.” “Enak banget merintah-merintah. Ini kan bagian dari bisnis. Gimana sih? Nanti aku dibilang nggak profesional.” “Yang memerintah adalah suami, kalau kamu lupa.” “Tunggu! Bukannya Akang juga harus pergi. Nanti malah–“ “Itu urusan Akang. Kamu nurut saja sekarang. Mengerti? Kalau tidak, lebih baik–” “Iya. Iya. Ribet banget sih!” lantangnya tanpa takut Gema tersinggung. Yuni meruntuk. Bisa-bisanya ia kalah dengan kalimat sang suami tadi. Tapi mau bagaimana pun lebih baik menurut daripada ia tidak boleh datang ke pesta. Sepanjang perjalanan Gema juga memaki dalam hati. Pasalnya pakaian-pakaian itu memang ia beli dari seorang kawan yang berprofesi sebagai perancang busana. Gema menyerahkan semua urusan pembelian busana untuk sang istri pada kawannya itu. Sebab ia hanya memberikan gambaran tentang Yuni saja. Mulai dari pekerjaannya, hobi sampai sifatnya yang blak-blakan. Dan semua hal itu digunakan sebagai acuan untuk memilih model serta bahan pakaian yang dibeli kawannya itu. Bodohnya ia tidak memeriksa lagi pakaian apa saja yang dibelikan oleh kawannya. Gema bersumpah, ia akan pulang secepatnya ke rumah dan membuang pakaian-pakaian Yuni yang menurutnya seksi. Sampai di butik yang dituju, Gema meminta pegawai butik untuk membantu memilihkan gaun yang pas untuk sang istri dengan kriteria yang ia sebutkan. Setelah menemukan yang cocok, Gema pun langsung meminta sang supir mengantarkan istrinya ke tempat yang dituju. “Dasar cowok gila!” desis Yuni lirih takut didengar sang supir. Namun, belum Yuni sampai ditujuan, di tengah menunggu lampu merah berganti, pandangannya tak sengaja menangkap keberadaan seseorang yang dikenalnya. Seketika wajah Yuni memerah padam. Rahanganya mengeras. Pun tangannya yang kini mengepal kuat. “Buka pintunya Pak?” Sang supir terkejut dan bertanya. “Nyonya mau ke mana?” “Buka aja cepet!” sentaknya tak peduli. Sang supir pun hanya bisa menurut kemudian membukan kunci pintu otomatis agar Yuni bisa keluar, berlari ke seberang, tak menghiraukan lalu lintas yang ramai di sekitarnya. “Nyonya! Nyonya mau ke mana?” teriak sang supir lagi tak dihiraukan. “Waduh gawat ini. Sebaiknya saya hubungi Tuan,” gumamnya. Begitu lampu merah berubah, bergegas supir yang disewa Gema itu pun melajukan mobil dan berhenti lumayan jauh dari posisi Yuni turun. Sang supir pun langsung merogoh saku dan mengambil ponsel untuk menghubungi Gema yang baru saja bersiap untuk pergi dari tempatnya. "Apa? Kenapa bisa Pak?" pekik Gema di seberang telpon sana. “Saya juga tidak tahu Tuan. Tadi Nyonya minta dibukakan pintu sambil marah-marah. Saya tidak berani membantah. Jadi saya terpaksa membiarkan Nyonya keluar,” terangnya takut-takut. "Posisi Bapak di mana sekarang?" Supir itu lantas menjelaskan posisi detailnya.Gema langsung memintanya untuk mencari Yuni sambil menunggunya datang. "Pokoknya kalau ada apa-apa Bapak langsung hubungi saya. Saya usahakan secepatnya ke sana. Tolong jaga istri saya Pak" “Baik Tuan,” sahutnya sebelum menutup panggilan. Sementara itu, lima menit yang lalu, dengan langkah panjang dan percaya diri, Yuni menarik rambut seseorang yang langsung membeliakkan matanya saat bertatapan. “Yuni?” pekiknya terkejut. “Mau ke mana lu Keset Bengkel?” berangnya setengah menggeram. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN