MSH 1 - Cinta dan Sebuah Syarat
“Berengsek! Kenapa sih selalu aja bikin masalah sama Abah? Udah segala diturutin masih aja ngusik gue sama Yoga. Serakah!”
Yuni mengutuk kakak tirinya yang lagi-lagi membuat ulah dengan meminta sebagian saham perusahaan sebagai bagian dari warisan keluarga.
Perempuan itu menggerutu kesal, terisak sambil menjatuhkan kepalanya di atas kemudi dan mengetuk-ngetukkannya hingga klakson mobil berbunyi nyaring.
Tok tok tok
Yuni menoleh ke samping kaca mobilnya yang diketuk. Sambil mengusap air mata, perempuan itu menekan tombol guna menurunkan kaca jendela mobilnya.
“Are you okay?” tanya sang pemuda berwajah oriental dengan senyum hangat itu.
Yuni menggeleng. “Gue lagi stres,” akunya.
“Should we go to another place? I mean, mungkin kamu butuh teman bicara sambil duduk santai dan menikmati kopi?” tawarannya membuat Yuni menatap lekat-lekat wajah pria di hadapannya itu.
“Sory. Aku Dirga. Penghuni baru apartemen di sini,” sambungnya mengulur tangan.
“Yuni. Thank you. Tapi gue harus kerja, Dirga. Welcome,” balas Yuni sekenanya. Menyalakan mesin mobil lantas berlalu meninggalkan basement apartemen juga Dirga yang masih terlihat penasaran di posisinya.
Hari-hari Yuni memang seperti roller coster beberapa minggu ini. Selain sakit Abah-nya yang sering anfal, Yuni juga harus menangani masalah tender proyek yang dananya dikorupsi salah satu pegawainya.
Untung lah sang adik bisa menangani meski kerugian tetap harus ditanggung karena dana yang dikorupsi membuat pembangunan proyek terpaksa diulang.
Aktifitas yang begitu padat, tak terasa membuat Yuni sudah tiba lagi di apartemen pada sore harinya. Kedua sahabat yang tinggal bersamanya sedang sibuk menyiapkan makan malam saat wanita itu menghampiri.
“Mau hajatan? Banyak bener masaknya,” selorohnya setelah mengambil air minum dan mengahabiskannya sambi duduk di kursi bar stoll.
“Ada tetangga baru yang mau berkunjung. Si Ika katanya tadi ditolongin pas mau keserempet di basement,” jawab Lala.
Kedua bola mata Yuni membeliak. “Siapa yang nyerempet elo, Minceu?” pekiknya dengan sebutan sayang khasnya untuk Ika.
Ika mengendikkan bahu. “Aku juga nggak liat. Tau-tau udah deket. Untung Dirga nolongin,” sahutnya seraya tak ingin membuat sahabatnya itu cemas.
‘Dirga?’ Yuni merasa familiar dengan nama itu.
Tentu saja karena Dirga yang Ika maksud adalah Dirga yang mengetuk kaca mobilnya tadi pagi.
“Hai!” sapa pemuda itu saat untuk kedua kalinya mereka bertemu di depan pintu apartemen yang dibukakan Yuni.
"Masuk Dirga!" sahutnya acuh tak acuh.
Obrolan dan makan malam mereka pun berjalan menyenangkan meski Yuni lebih banyak diam karena berbagai masalah kantor yang harus dihadapinya.
“Jadi kamu blesteran Korea?” Dirga mengangguki pertanyaan Lala.
“Terus umur kamu berapa?” tanya Ika.
“Dua puluh tiga tahun, Kak.”
“WHAT?” keduanya memekik kompak sementara Yuni hanya geleng-geleng melihat tingkah sahabatnya yang heboh.
“Berondoong dong!” celetuk Ika.
“Berondong?” ulang Dirga.
“Kalau elo pacaran sama mereka, elo disebutnya berondong karena mereka lebih tua dari elo,” terang Yuni langsung mendapat desis dan delikkan kedua sahabatnya.
Dirga terkekeh. “Aku boleh minta nomer telpon kalian? Aku di sini hanya seorang diri. Kalau kalian tidak keberatan itupun. Karena aku pasti akan bertanya banyak hal yang tidak kupahami dan merepotkan kalian nantinya.”
Tentu saja alasan itu Dirga lontarkan demi mendapat nomer telpon Yuni. Wanita yang sejak pagi tadi mengusik pikirannya. Dan seperti undian tak terduga, Dirga malah kembali dipertemukan dengan wanita itu karena Ika yang tak sengaja ia tolong tadi pagi.
“Oh, boleh-boleh. Tapi kalau gue sama Ika not available. Jadi kalau lo mau jadi berondong, jadi berondong dia aja,” goda Lala sambil menyikut Yuni yang masih konsisten acuh.
Embun kebahagiaan pun menyelinap dalam lubuk hati Dirga. Yuni yang sejak awal sudah menarik perhatiannya kini sudah semakin dekat untuk ia dekati.
Hingga hari-hari berlalu dan keduanya pun semakin dekat. Yuni bahkan sering menginap di apartemen Dirga jika Lala dan Ika sedang pulang ke rumahnya masing-masing.
“Kakak mau ke mana?” tanya Dirga yang berpapasan dengan Yuni di lift. Dirga yang baru kembali dari minimarket membuntuti Yuni yang akan pergi dugem.
Tatapanya memindai dari atas sampai ke bawah tubuh lalu kembali ke atas lagi.
“Ngedip woy!” salak perempuan itu.
Dirga mengerjap. “Kakak mau ke mana?” ulangnya.
“Clubing.”
“Sendiri?”
“Menurut lo?”
“Aku ikut!”
Kali ini Yuni gantian memindai pria itu dari atas sampai ke bawah dengan alis menanjak satu ke atas. Pasalnya Dirga hanya mengenakan celana kargo pendek, jumper berwarna hitam dan sneaker hitam putihnya.
“Yakin?” Dirga mengangguk. “Lo mau ikut dugem pake baju begini?”
“Why? Yang penting aku cukup umur dan punya uang. Ada yang salah?” pedenya.
Yuni mendengus. Menggelengkan kepala dan malas menanggapi. Tak peduli Dirga ikut atau tidak, yang Yuni inginkan hanyalah melepaskan penat dengan pergi dugem hingga mereka kembali ke apartemen dini harinya.
Keduanya sudah berada di atas kasur. Terengah-engah setelah sedikit menggila karena ciuman membabi buta yang mereka lakukan sejak masuk apartemen.
“Dirga?”
“Ya, Kak?” jawabnya sambil membenarkan anak rambut yang berantakkan dan menutupi sebagian wajah Yuni.
Tangan Yuni kemudian menelusup ke dalam pakaian Dirga. Menyentuh otot-otot perut Dirga yang berbaris sempurna. Membuat Dirga mengerang tertahan sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Yuni.
“Kak, please!”
“Lo suka Dirga?” Bisikan halus Yuni seperti seringan bulu yang membuat tubuh Dirga semakin menegang dan mendamba.
Keduanya sibuk saling menggoda, menyentuh dan merayap-rayap di antara gejolak dan hasrat yang semakin ingin menyatu hingga tangan Yuni berakhir pada sebuah ketegangan yang terasa membatu.
“Dirga, gue mau elo.”
Degh .…
Pria itu sedikit meragu. Gerakan tangan Dirga di bawah perut Yuni pun terhenti. Kedua bola matanya menilisik tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.
Selama ini Dirga memang hanya menyentuh sebatas mana Yuni mengijinkannya.
“Are you sure?"
Dirga tak ingin Yuni menyesal. Meski keinginan untuk menyatu dengan wanita itu sama menggebunya.
Yuni mengangguk. Menyatakan yakin dan menginjinkan pria itu memiliki dirinya.
Dirga tersenyum mengecup kening perempuan itu seraya berucap, “I want you too, Honey.”
“Jangan, Ga!” sergah Yuni menepis tangan Dirga saat meraih sesuatu dari laci nakas yang ia yakini adalah kondom.
“Kenapa?”
“Just do it, Ga! Please! gue nggak mau malam pertama gue dirusak sama benda sialan itu. Gue bisa minum obat pencegah kehamilan. Jadi lo nggak perlu cemas.”
“Bukan begitu maksudku, Hon. Aku bersedia bertanggung jawab kalaupun kamu–”
“I know. But I’m totally okay.”
Dirga memang sudah menjatuhkan hatinya pada perempuan itu sejak melihatnya lagi.
Sayangnya ia juga yakin kalau Yuni bukan perempuan yang mudah diajak berkomitmen. Hubungan mereka pun belum ada kepastian jawaban dari Yuni.
Diciumnya kening Yuni sesaat sebelum menurunkan pinggulnya dan berbisik, “Hold me tight! Kalau kamu merasa kesakitan, tell me! Gigit aku kalau mau. Atau–“
“Please, Ga! Jangan bawel. Gue udah nggak tahan,” protes Yuni.
Dirga tersenyum dan melepaskan tautan jemari mereka. Membiarkan Yuni merengkuh tubuhnya sebagai tumpuan sementara Dirga mulai mendatangi perempuan itu.
Cengkraman tangan Yuni terasa semakin kuat di punggung Dirga. Menjabarkan semua rasa yang menggenapkan pergulatan mereka. Bukti bahwa keperkasaan Dirga berhasil merobek mahkota pertahanan Yuni setelah ciuman panas dan kegilaan yang mereka lalukan dan sebatas makeout saja.
Yuni pun tenggelam dalam kenikmatan. Tubuh mereka melenting bergantian di antara rasa pemujaan yang mengentak-entak. Membuat Yuni hanya bisa meraih apapun yang terjangkau untuk menyalurkan gemuruh dan hasrat yang semakin memuncak setelah nyeri dan perih yang perlahan menghilang.
Perempuan itu mendesah nikmat. Kadang menjerit-jerit kecil meski lebih banyaknya mengerang atau mendesis karena rasa yang mengaduk dan membuatnya tak tahan ingin mengumpat, membuat Dirga semakin bersemangat memburu kepuasan di atas landasan kenikmatan yang berada di bawahnya.
"Dirga!"
"Honey!" erang keduanya sesaat sebelum mereguk pelepasan itu bersama.
Dirga ambruk di atas tubuh perempuan yang juga kehilangan dunianya sesaat itu.
“I love you, Hon.”
“Hmm,” balasnya susah payah. Matanya terpejam meski bibirnya kembali dilumat pria itu.
Dirga merengkuh tubuh Yuni ke dalam pelukannya dan berucap, “Tidurlah. Kamu pasti lelah.” Sambil mengusap punggung polos Yuni.
“Jangan lama-lama perginya, Dirga. Gue nanti kesepian,” cicitnya dalam pelukan.
“Sure, Honey. Aku akan kembali pulang untukmu,” janji Dirga kemudian menarik selimut agar menutupi tubuh mereka.
Malam itu menjadi malam pertama Yuni sekaligus malam terakhir mereka bersama sebelum Dirga kembali ke negaranya untuk mengurus ijin tinggal lebih lama demi sang pujaan hati.
Tapi dua minggu kemudian ....
Yuni tiba di rumah sakit tempat Abah-nya di rawat selepas pulang kantor. Sang Umi ikut menyambut putrinya itu dengan memberi pelukan dan kecupan hangat di wajahnya.
“Sudah makan, Neng Geulis?” Panggilan sayang sang ayah itu selalu saja membuat hati Yuni merasa spesial.
“Udah. Abah gimana perasaanya sekarang? Masih sesek nafasnya?”
Satu bulan lalu karena tak kunjung dikabulkan keinginannya soal pembagian harta warisan, kakak tiri Yuni kabur setelah menjual aset dan menguras uang perusahaan hingga membuat keluarganya hampir bangkrut.
Kebangkrutan itu harus ditanggung Yuni yang notabene menjadi tumpuan keluarganya sekarang.
Abah Yuni yang syok pun anfal dan dilarikan ke rumah sakit. Bahkan hingga saat ini pria lanjut usia itu tidak diperkenankan pulang oleh dokter yang merawat.
“Abah sudah baikan, Neng. Proyek bagaimana?”
“Alhamdulillah, Bah. Berkat bantuan temen Abah itu keuangan perusahaan mulai stabil.”
Ayah kandung Yuni itu merasakan luka setelah mendengarkan kalimat Yuni. Sebab bantuan itu nyatanya tidak diberikan cuma-cuma.
“Neng, Abah ingin memberitahu kamu sesuatu. Tapi sebelumnya ampuni Abah kalau hal yang Abah sampaikan akan membuat kamu sakit hati.”
“Maksud Abah?” tanyanya dengan kernyit bingung.
“Kalau Abah bisa menukarnya dengan nyawa, akan Abah lakukan. Sayangnya tidak bisa. Dan hanya kamu yang dapat menyelamatkan keluarga kita. Perusahaan, Umi dan Adikmu.”
Sang istri di sampingnya tak melepaskan genggaman tangan pria yang sudah menemaninya selama tiga puluh dua tahun itu sejak awal. Sementara Yuni semakin tak tenang.
“Abah mau ngomong apa, sih? Kok ngomongnya gitu?” kesalnya karena sang ayah mengungkit soal kematian. Hal yang belum siap Yuni hadapai meski fakta bahwa kondisi pria itu sudah terlalu lama sakit-sakitan.
Lelaki berusia senja itu menatap sendu. Menggegam erat jemari putrinya sambil berucap,
“Bantuan yang diberikan kawan Abah itu ada syaratnya, Neng. Dia menginginkan sesuatu sebagai timbal baliknya.”
“Apa?” desaknya.
“Kamu harus menikah dengan dia.”
Bersambung