MSH 7 - Jelangkung

1816 Kata
Yuni sengaja bangun siang. Merancang strategi awal untuk mulai membuat sang suami tidak menyukai atau lebih bagus lagi kalau sampai Gema kesal padanya. Dengan santai perempuan itu membersihkan diri, berendam di dalam bathub selama belasan menit sebelum keluar kamar usai berdandan dengan pakain kerjanya. Yuni berjalan menuruni tangga rumah dengan riang sambil bersenandung lirih menuju ruang makan pagi ini. Salah satu asisten rumah tangga lain mereka yang tidak tinggal di rumah–Bi Juju–menghampiri sekaligus memperkenalkan diri padanya. "Akang ke mana Bi?" Juju menggaruk belakang telinganya. "Akang teh siapa ya Nyonya?" tanyanya linglung. Membuat Yuni jadi terkekeh. "Pak Gema, Bi. Suami saya." Juju meringis mendengar penjelasannya Nyonya barunya. Harusnya ia tau kalau yang ditanyakan adalah tuannya. "Oh. Den Gema sudah pergi tadi pagi sekali," terangnya. Yuni mengernyitkan alis. “Jam berapa?” “Jam setengah enam.” “Setiap hari gitu?” pekiknya tak percaya. Sebab kantor apa yang buka sepagi itu kalau Gema mungkin sampai di kantornya sekitar pukul tujuh. Juju mengangguk. Disusul Yayuk yang membawakan sarapan untuknya. “Den Gema kantornya di Jakarta, Nyonya. Jadi kalau ada urusan pagi-pagi, berangkatnya pagi sekali,” tuturnya. Yuni manggut-manggut saja. Meski batinnya bertanya-tanya kenapa pria itu tidak pernah membicarakan perihal ini. Seharunya pada hubungan suami istri yang normal, mereka akan berdiskusi tentang kesepakatan-kesepakatan yang akan dijalani selama pernikahan, termasuk saling memberitahukan kegiatan dan aktifitas masing-masing. Apakah masing-masing akan menjalani long distance marriage lalu mengatur intensitas pertemuan dan lainnya atau malah mungkin mengajak sang istri pindah mengikutinya Dalam kasus Yuni, Gema sepertinya tidak berniat membahasanya. Lalu untuk apa dia meminta Yuni tidak pergi dan mempertahankan pernikahan mereka hanya untuk sebuah janji yang menurutnya tidak terlalu berpengaruh. Juka dipikir-pikir lagi, setelah menikah pun mereka baru tinggal bersama semalan. Seharunya wajar kalau belum ada pembicaraan. Lalu kenapa dirinya harus kesal? Sial! Yuni merasa aneh dengan dirinya sendiri sambil mendumal, “Nggak jelas,” lirihnya spontan. “Iya? Bagaimana Nyonya?” sahut Yayuk dan Juju kompak. Yuni tersedak salivanya sendiri lantas meredakan tenggorokannya dengan air putih sebelum berkata, “Ah, nggak papa, Bi.” Sial! Lagi. Yuni menampar mulutnya sendiri sambil mengernyit kesal. Mulutnya itu memang tidak punya filter. Hampir saja ia membuat kedua asisten rumah tangganya tau kalau dirinya tidak suka dengan Gema. “Memang di Jakarta nggak punya rumah ya, Bi?” tanyanya mengalihkan. Yayuk dan Juju saling menukar tatapan bingung. Sebab Nyonya bertanya seoalah-olah tidak tahu apapun. Padahal mereka ini kan suami istri. Tapi kenapa malah bertanya tentang sang suami pada pembantunya. Yuni yang menyadari respon kedua asisten rumah tangganya berdeham dan memberikan penjelasan yang jujur. “Saya sama Akang kan nikahnya dijodohkan, Bi. Hanya seminggu kenal langsung menikah. Jadi saya nggak tau apa-apa.” Juju dan Yayuk pun baru ingat kalau tuannya itu memang tidak menceritakan perihal istrinya pada mereka. Tau-tau saja Gema mengajak mereka pindah dari Jakarta dengan alasan bahwa ia sudah menikah dan istrinya masih harus mengurus orangtuanya yang sakit. Yayuk dan Juju yang sudah ikut tuannya ke mana-mana sejak pria itu kembali tinggal di Indonesia lima tahun lalu pun tak banyak bertanya. “Maafkan kami Nyonya,” sahut Yayuk membungkuk kecil. “Nggak papa, Bi. Jadi nggak papa kan kalau saya tanya-tanya soal Ak–ang?” Hampir saja ia keceplosan menyebutkan ‘Aki-Aki’ bukannya Akang. ‘Duh, untung aja gue nggak keceplosan lagi’ runtuknya dalam hati. Kedua asisten rumah tangganya itu pun mengangguk paham sebelum kembali ke pos masing-masing untuk mengerjakan pekerjaannya. “Jadi dia bulak balik Jakarta ya? Hm, sakahayang manehna we lah (Semaunya dia aja lah),” gumam Yuni lantas menikmati sarapannya. Tak lama, Mang Asep menghampiri lantas meletakkan kunci mobil dan STNK di atas meja makan di sebelah kiri Yuni. "Apa ini Mang?" "Tadi Den Gema titip ini. Katanya kalau Nyonya mau pakai mobil, ini kunci sama STNK-nya. Mobilnya sudah saya panaskan tadi," terangnya. "Oh ya udah. Makasih, Mang." Yuni menghabiskan sarapan lantas pamit pergi ke kantor. Perempuan itu membeliakkan mata tak percaya saat melihat mobil yang terparkir di halaman rumah mereka. "Itu beneran mobilnya?" lirihnya sambil berjalan ke arah mobil. "Ini mah pengennya gue banget atuh. Dari mana dia tau gue suka mobil ini? Ah, palingan nggak sengaja aja milih. Geer lo Yun. Lagian yang tau gue pengen mobil ini kan cuma Lala sama Ika. Masa sih dia nelpon mereka? Tapi mending guen tanya deh," monolognya seperti semalam. Yuni membuka ponselnya dan memencet sederet nama dari daftar panggilan sebelumnya. "Halo!" Suara serak khas bangun tidur terdengar di seberang telpon sana. “Nong, Aki-Aki telpon lu?” "Hah? Aki-Aki siapa, Oneng? Gue mah nggak punya kenalan Aki-Aki." Yuni mendecak. “Laki gue Maemunah.” "Owh. Sopan lo manggil laki pake panggilan begituan. Katanya mau jadi istri sholehah. Ketauan Umi sama Abah dibawa ke Ustadz buat dirukiyah lo," desis Lala mengingatkannya. “Iya. Iya. Kan belum biasa, Nong,” kilahnya tak terima. "Gema gada nelpon gue. Emang lo kasih nomer gue sama dia?" “Nggak. Gue nggak kasih nomer lo atau Ika sama Gema.” "Kenapa sih emangnya?" “Lo tau, Gue dibeliin mobil. Minicooper 5-Door warna item. Kan kepengen gue banget.” "Ah, elah pagi-pagi mau pamer doang. Sialan lo! Ganggu aja orang mau seneng-seneng," sungut Lala. “Lo lagi sama Banyu? Pulang dia?” "Ya ngana pikir aing sama Janu?" “Kagak usah nyolot.” "Makanya kagak usah lebay. Udah ah! Gue mau lanjutin mimpi gue. Bye! Assalamualaikum warrahmatulloh hiwabarakatu Nyonya Gema Mangunkarta yang tajire melintir sekarang. Selamat atas mobil barunya. Jangan lupa ajak gue nyobain tuh mobil buat jalan-jalan." Klik …. Yuni berdecak lantas masuk ke dalam mobil dan memilih tak memikirkannya lagi. Mungkin memang benar hanya kebetulan saja. Satu jam tiba di kantor kemudian, sang adik langsung menyambut di ruangnya. “Teh, siang ini harus ke Bali. Ketemu klien di sana malamnya. Sekalian dateng ke acara pesta yang dibuat sama Pak Gunawan,” terang Yoga tanpa basa basi. “Sama kamu?” Yoga menggeleng. “Yoga kan ngurusin proyek di sini. Teteh cuma tinggal deal dan pelajarin kontraknya aja sebelum tanda tangan.” “Ngapain musti di Bali? Bukannya dia orang Jakarta? Proyeknya juga di sini.” “Istrinya lagi ulang tahun. Mereka ngadain pesta di villa mereka di sana.” Yuni mengangguk paham. “Tiket sama hotelnya udah?” “Udah disiapkan. Teteh tinggal pergi aja. Minta ijin dulu sama Kang Gema. Nanti dimarahin.” “Dia lagi di Jakarta.” Raut Yoga merasa janggal dengan ucapan sang Kakak. “Ya terus kenapa?” Yuni baru sadar. Walaupun Gema tidak ada, tapi dia harus tetap minta ijin. Karena itu yang dipesankan Umi dan Abahnya sebab status mereka yang kini sudah menikah. Dan sebagai istri yang baik, Yuni harus membiasakan diri meminta ijin sang suami jika ingin bepergian. Status yang mengikatnya saat ini benar-benar tidak akan lagi mempermudah gerak geriknya. Maka dari itu Yuni berfikir bahwa ia harus punya perjanjian lebih jelas lagi mengenai kesepatakan dan banyak hal dalam rumah tangganya. Termasuk kebebasan perempuan itu dalam menjalani karir dan waktu senggang dengan sahabat maupun dirinya sendiri. “Iya nanti teteh kabarin. Nggak usah aneh gitu. Namanya juga baru jadi suami istri kilat. Belum banyak pembicaraan, Ga. Teteh juga nggak tau banyak kegiatan Akang gimana. Jadi wajar dong.” Yoga merasa bersalah karena sudah menuduh kakaknya yang bukan-bukan. Padahal ia tau kalau pernikahan kakaknya terjadi karena sebuah kondisi yang mengharuskan Yuni mengorbankan dirinya. “Maafin Yoga, Teh,” tuturnya terselip nada sendu di dalamnya. “Ya udah. Teteh mau lanjut kerja,” sahut Yuni tak ambil hati. Wanita itu mencoba menelpon sang suami setelah kepergian Yoga, namun karena tak diangkat ia memilih mengirim pesan dan mengabari perihal keberangkatannya ke Bali. Setelah mengurus beberapa berkas dan dokumen juga meeting kecil dengan beberapa departemen, Yuni langsung menuju bandara. Pakaian dan kebutuhannya selama di Bali sudah disiapkan asisten rumah tangganya kemudian minta diantar ke kantor. Tiba di Bali sore harinya, Yuni langsung naik mobil jemputan yang sudah disediakan. “Ini bener ke sini tempatnya Pak?” tanya Yuni sebelum turun. Sang supir hanya menoleh sambil mengangguk ramah pada Yuni. “Ya ampun. Meeting begini aja pake nyewa villa sebagus ini. Pemborosan si Yoga mah,” dumalnya sambil menyeret koper ke dalam villa. Namun, baru Yuni menutup pintu masuk villa, sebuah suara mengagetkannya hingga menjenggit kasar. “Sudah datang?” “Astagfirullohaldzim,” pekiknya sambil memegangi d**a dan memicingkan mata perlahan. “Akang? Ngapaian di sini? Akang buntutin aku?” Yuni mulai memberi jarak dengan menggunakan panggilan ‘aku’. Bukan ‘Neng’ untuk dirinya sendiri seperti yang sudah disepakati sebelumnya. “Ini villa Akang. Kebetulan Akang juga ada urusan bisnis. Maaf, belum sempat memberitahu,” terangnya. Yuni tak peduli kemudian berjalan menuju kamarnya sambil menggerutu kesal karena jantungnya yang masih akrobat. ‘ Dasar jelangkung. Dateng nggak dijemput. Tau-tau nongol’ “Eh tunggu! Tadi dia bilang nggak sempet bilang kalau mau ke sini? Terus bukannya Yoga dari awal udah nyiapin tempat nginep gue ya?” Yuni pun hendak menelpon Yoga saat Gema tiba-tiba saja menyahut, “Hotel kamu memang sudah dibooking. Tadi Akang yang sengaja minta supir buat menjemput.” Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Yuni yang melongo untuk beberapa jenak. ‘Tuh kan ujug-ujug nongol lagi. Hihhh!’ Setelah membereskan barang-barang di kamarnya, perempuan itu keluar menuju dapur untuk mengambil minum dari dalam kulkas. “Acaranya jam berapa?” Yuni tersedak dan menumpahkan miumannya ke atas bowl sink sambil mengutuk sang suami dalam hati yang posisinya tak terlihat dan mengagetkannya lagi seperti tadi. “Maaf. Akang mengagetkan ya?” ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu perempuan yang masih menundukkan wajahnya di atas bowl sink itu. Yuni menepis tepukan sang suami dan menatapnya tajam. “Akang tuh kayak jelangkung tau nggak. Tau-tau nongol padahal nggak dicari,” sungutnya sambil menyapukan lengan ke mulutnya yang basah. Gema tetawa kencang dengan bahu berguncang juga perut gendutnya yang ikut naik turun. Yuni yang tadinya sudah marah jadi ingin tertawa melihat beruang kutubnya tertawa. Eh, apa? Beruang kutubnya? Cih! Aki-Aki yang ada, umpatnya membantin dan mengulum bibir agar tak ikut tertawa kemudian berlalu. Sayang, langkahnya terhenti karena Gema menarik pergelangan tangannya. “Kenapa?” Gema tak menjawab. Pria itu memilih mengikis jarang dan mengulur tangan. Menyapukan jempolnya ke sudut bibir Yuni yang basah dengan tatapan menghujam, membuat Yuni seketika gugup tak berdasar. Jempol Gema berpindah menyapu bibir bawah Yuni kemudian. Ia semakin mengikis jarak agar bisa mengecup bibir Yuni beberapa saat tanpa pergerakan. Karena dirasa tak ada penolakan, Gema pun mulai menggerakan bibirnya di atas bibir Yuni. Yuni yang akhirnya tersadar reflek menggigit bibir bawah Gema dan menariknya hingga pria itu mengaduh kesakitan. Buru-buru Yuni pergi dan berlari mengunci pintu kamarnya setelah berhasil kabur. “Sialan! Berani banget dia nyium gue,” sungutnya sambil meraba bibir yang tadi sempat disentuh Gema. Ada desiran aneh yang masih berjejak di hatinya. Tanpa tau bahwa jantungnya itu berdetak kencang bukan saja karena kaget atau takut sang suami marah dan mungkin akan menghukumnya. Tanpa Yuni sadari bahwa ada sesuatu yang membuat dirinya akan semakin tak bisa menolak Gema lagi setelahnya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN