Setelah beberapa saat terdiam, Wisnu akhirnya menghela napas berat dan berkata dengan suara lirih, "Linda, aku memilih mempertahankan pernikahan kita. Apa pun yang terjadi, aku ingin memperbaiki semuanya." Ucapan Wisnu seolah menjadi keputusan akhir yang ia buat untuk masa depan hubungan mereka.
Namun, sebelum Linda bisa bereaksi, suara tangisan marah terdengar dari sudut ruangan. Mita, yang merasa benar-benar hancur, tak lagi bisa menahan emosinya. Ia berdiri dan berteriak sambil menatap Wisnu dengan penuh kekecewaan, "Kamu nggak bisa ninggalin aku begitu aja, Mas! Setelah semua yang kita lalui? Selama ini kamu selalu bilang masih mencintaiku, kamu berjanji nggak akan pergi begitu saja."
Linda yang mendengar ucapan Mita langsung terkejut, seolah tak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut adiknya. "Masih?" Linda bertanya dengan suara bergetar, menatap Mita dalam-dalam. "Apa maksudmu dengan kata masih, Mita?"
Mita terdiam sesaat, tapi amarah dan rasa kecewanya mendorongnya untuk bicara. “Iya, Mbak. Masih. Mas Wisnu selalu bilang kalau dia masih mencintaiku. Dia nggak pernah benar-benar melepaskan aku,” ucapnya dengan nada keras, tidak peduli lagi dengan perasaan Linda.
Mita menatap Linda dengan perasaan campur aduk, merasa bersalah dan bingung. Setelah hening sejenak, ia pun mulai bercerita, “Mbak, aku tahu ini sulit untuk kamu dengar. Aku dan Mas Wisnu punya masa lalu bersama, jauh sebelum kamu hadir dalam hidupnya.”
Linda mendengarkan dengan tatapan kosong, berusaha menahan berbagai emosi yang berkecamuk di hatinya.
Mita melanjutkan, “Dulu, aku dan Mas Wisnu saling mencintai. Kami mulai bersama sejak kuliah, dan hubungan kami cukup serius. Mas Wisnu adalah sosok yang selalu mendukungku, menguatkanku untuk mengejar impian. Tapi, saat aku mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Surabaya, kami dihadapkan pada pilihan sulit.”
Mata Mita tampak berkaca-kaca saat mengingat kenangan itu. “Aku memilih untuk meneruskan kuliahku di Surabaya. Kami berdua sepakat bahwa itu yang terbaik saat itu, meskipun berat bagi kami berdua. Hubungan jarak jauh dan kesibukan masing-masing membuat kami perlahan menjauh, hingga akhirnya kami memutuskan berpisah.”
Linda masih belum bersuara, tetapi jelas terlihat bahwa ia tengah berusaha mencerna cerita Mita.
Mita melanjutkan, “Aku pikir, setelah semua waktu berlalu, perasaan itu akan hilang seiring dengan jarak dan kesibukan. Aku pun menjalani hidupku, mencoba melupakan semua kenangan dengan Mas Wisnu. Tapi saat aku kembali dan mengetahui kamu menikah dengannya… semua terasa rumit, Linda.”
Mita berhenti sejenak untuk menenangkan dirinya, kemudian berkata, “Saat melihat Mas Wisnu lagi, semua perasaan itu muncul kembali, dan aku tak bisa mengendalikannya. Aku tahu ini salah, tapi… aku sendiri terjebak dengan perasaanku.”
Linda, meskipun hatinya terluka, hanya berkata dengan suara pelan, “Jadi semua ini karena perasaan yang belum selesai?”
Linda merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Hatinya terasa remuk mendengar pengakuan itu. Dia menatap Wisnu, berharap ada penjelasan atau penyangkalan. Namun, Wisnu hanya menunduk, tak mampu menatap langsung ke arah Linda.
"Jadi... semua ini benar?" Linda bertanya, suaranya terdengar rapuh. “Kamu benar-benar masih berhubungan dengan Mita?”
Wisnu tampak sangat bersalah, tetapi tak ada yang bisa dia katakan untuk membantah kenyataan itu. Setelah terdiam sesaat, ia mencoba berbicara, “Linda, aku… aku minta maaf. Ini adalah kesalahan yang seharusnya nggak pernah terjadi. Tapi, aku memilih untuk memperbaiki semuanya denganmu. Aku tahu ini nggak mudah…”
Mendengar jawaban Wisnu, Linda merasa campuran antara kemarahan dan kesedihan yang begitu mendalam. “Setelah semua yang kau lakukan, kau pikir hanya dengan meminta maaf semuanya akan baik-baik saja?” Linda tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh suaminya, tetapi juga oleh adiknya sendiri.
Linda kemudian menatap Mita, “Dan kamu, Mita… Kamu tahu aku mempercayaimu. Aku nggak pernah berpikir kamu akan menghancurkan rumah tanggaku.” Air mata mengalir di pipi Linda saat ia mencoba menahan emosinya.
Mita mulai berbicara dengan suara yang penuh emosi, “Mbak, kamu tahu kenapa aku memutuskan tinggal di sini? Itu karena Ibu… dia tahu semuanya. Ibu tahu tentang hubungan ini. Saat beliau mengetahui semuanya, dia sangat marah dan meminta aku mengalah. Dia bilang aku harus menjaga perasaanmu, sebagai kakakku, katanya aku harus mengerti posisi kamu sebagai istri Wisnu.”
Mita menghela napas dalam-dalam, mencoba menahan perasaan marah dan sedih yang bercampur menjadi satu. “Aku selalu, selalu disuruh mengalah, Mbak. Dari dulu, Ibu selalu bilang aku harus mengutamakan kamu. Tapi apa pernah kamu atau Ibu memikirkan bagaimana perasaanku? Apa pernah kalian mempertimbangkan apa yang aku rasakan?”
Linda tertegun. Mendengar bahwa ibu mereka tahu dan ikut terlibat dalam meminta Mita mengalah membuatnya merasa semakin bingung. Selama ini, Linda tidak pernah menyadari bahwa Mita menyimpan beban yang begitu berat di balik sikapnya.
Mita melanjutkan dengan suara yang mulai bergetar, “Aku sudah berusaha menjaga perasaanmu, Mbak, berkali-kali. Aku mundur dari Wisnu dulu demi masa depan kuliahku, padahal aku masih mencintainya. Aku menahan diri selama ini dan memendam perasaan itu, berharap semuanya bisa aku lupakan. Tapi apa yang terjadi? Saat kembali, aku merasa semuanya masih sama, bahkan mungkin lebih kuat.”
Linda menatap Mita, mulai merasa bersalah sekaligus bingung dengan semua yang terungkap. Ia tidak pernah menyangka bahwa kisah lama yang tidak diketahuinya ini bisa kembali memengaruhi kehidupan rumah tangganya.
Linda yang sejak tadi hanya diam kini bersuara dengan lirih, “Jadi... Ibu tahu tentang semua ini?” Wajahnya tampak begitu kecewa dan terluka. Semua rahasia dan kenyataan yang baru saja ia dengar terasa seperti menghujam hatinya, semakin memperdalam luka yang ia rasakan.
Wisnu, yang sejak tadi hanya menunduk mendengar pertengkaran mereka, tiba-tiba berdiri dan menatap Mita dengan penuh emosi. “Mita, sudah cukup!” Ia membentak, suaranya tegas dan bergetar dengan amarah yang sulit ia sembunyikan. “Kamu harus pergi dari sini. Sekarang juga!”
Mita tampak terkejut mendengar ucapan Wisnu yang tiba-tiba tegas dan penuh kemarahan. Sejenak ia menatap Wisnu dengan pandangan tak percaya, lalu berkata dengan suara yang bergetar, “Kau benar-benar tega, Mas? Setelah semua yang kita lewati, setelah semua pengorbanan yang kulakukan untuk tetap dekat denganmu, kau malah memintaku pergi?”
Wisnu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tetapi matanya masih tajam menatap Mita. “Ini sudah kelewatan, Mita. Linda nggak pantas menerima semua ini, terlebih dari keluarganya sendiri. Aku sudah memutuskan untuk tetap bersama Linda. Dan jika kau masih memiliki sedikit rasa hormat pada hubungan keluarga kita, kau harus pergi.”
Wisnu, yang marah dan kehilangan kesabarannya, menggenggam tangan Mita dengan erat, lalu mencoba menyeretnya ke arah pintu. "Kamu harus pergi dari sini, Mita! Aku nggak bisa membiarkan semua ini terus terjadi di depan mata Linda!" ucapnya tegas.
Namun, langkah Wisnu terhenti ketika tiba-tiba Mita terjatuh. Tubuhnya terkulai lemah di lantai, dan matanya terpejam, tak ada tanda-tanda kesadaran. Linda, yang menyaksikan kejadian itu, langsung terkejut dan bergegas mendekati mereka.
"Mas! Apa yang kamu lakukan?!" seru Linda, panik melihat kondisi Mita yang tak bergerak. Ia berjongkok di samping adiknya, mencoba menggoyangkan bahunya untuk membangunkannya. "Mita! Mita, sadarlah!"
Wisnu terlihat cemas, menyadari bahwa emosi yang meledak-ledak tadi telah membuatnya bertindak tanpa pikir panjang. “Aku... Aku nggak bermaksud untuk menyakitinya. Linda, aku hanya ingin Mita pergi…” ujarnya dengan suara rendah, penuh penyesalan.
Tanpa berpikir panjang, Linda segera memanggil ambulans, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Wisnu, menatapnya dengan campuran perasaan—marah, kecewa, dan cemas. Sementara itu, Wisnu hanya bisa berdiri dengan perasaan bersalah yang semakin menghimpit, menyadari bahwa tindakan kasarnya telah membawa dampak yang lebih serius.