Bab 6. Berita Kehamilan

1132 Kata
Aminah berjalan pelan menuju ruang perawatan, matanya memandang sekeliling sebelum akhirnya melihat sosok Linda yang duduk di sofa dengan wajah penuh luka, air mata yang masih mengalir deras. Wisnu yang duduk di hadapannya tampak terdiam, seolah sedang berusaha membujuk dan meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Mita yang duduk di ranjang, matanya tampak bahagia. Aminah merasa bingung dengan suasana yang begitu tegang di ruangan tersebut. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat kepada Linda dan akhirnya bertanya, "Linda, ada apa? Kenapa kamu bisa menangis seperti ini? Apa yang terjadi?" Namun, belum sempat Linda membuka mulut untuk menjelaskan, suara Mita yang terdengar pelan namun penuh percaya diri langsung memecah keheningan di ruangan itu. “Aku hamil, Bu,” ujar Mita dengan suara yang terdengar mantap. Ia tersenyum dengan bahagia, menatap langsung pada ibu mereka. “Ini anak Mas Wisnu. Anak dari kakak iparku.” Mendengar pengakuan yang mengejutkan itu, wajah Aminah langsung memucat, tubuhnya seakan kaku. Rasa terkejut dan kebingungannya memuncak. Ia menatap Mita, lalu beralih ke Wisnu dan Linda yang sudah terdiam. Linda yang masih terisak mencoba menguasai emosinya, sementara Wisnu terlihat semakin gelisah, wajahnya yang biasanya tenang kini penuh dengan kebingungan dan penyesalan. Aminah yang sudah tak bisa lagi menahan amarahnya, melangkah cepat menuju Mita yang masih terbaring di ranjang. Dalam sekejap, tangannya melayang, dan terdengar suara tamparan keras yang menyentuh pipi Mita. Mita yang terkejut dengan tindakan ibunya, langsung menoleh, matanya terbuka lebar. Aminah berdiri di samping ranjang Mita, napasnya tersengal, wajahnya memerah karena kemarahan yang terpendam begitu lama. "Bagaimana kamu bisa begitu, Mita?" Aminah berteriak, suaranya penuh dengan kekesalan yang sudah lama terpendam. "Apa kamu benar-benar nggak tahu malu? Kamu mengkhianati kakakmu sendiri! Linda, yang selalu menjaga dan melindungimu, justru kamu perlakukan seperti ini? Apa kamu nggak memikirkan perasaannya? Apa kamu nggak sadar bahwa ini akan menghancurkan seluruh keluarga kita?" Mita menatap ibunya dengan tatapan tajam yang penuh kemarahan dan kekecewaan. Sambil menggigit bibirnya, ia akhirnya melepaskan kata-kata yang sudah lama terpendam. "Memikirkan perasaan Mbak Linda? Apa pernah ibu memikirkan perasaanku selama ini?" Suaranya serak, penuh emosi yang sulit untuk disembunyikan lagi. "Selama ini, aku selalu menjadi bayang-bayang kakakku. Aku selalu berusaha untuk mengalah, selalu berusaha untuk menjaga perasaan semua orang, terutama Mbak Linda. Tapi apa yang aku dapat? Aku selalu merasa nggak ada yang peduli dengan aku. Semua perhatian, semua kasih sayang, selalu tertuju padanya, bukan padaku." Mita menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang sudah mulai menggenang di matanya. "Aku ini siapa, Bu? Apa aku cuma bisa diam dan terus menjadi orang yang selalu mengalah? Apa aku harus terus hidup dengan rasa sakit ini hanya untuk menjaga perasaan orang lain? Aku juga punya perasaan, Bu! Aku juga punya keinginan, kebutuhan untuk dihargai. Tapi apa yang aku dapatkan? Justru dihina dan dilupakan begitu saja." Aminah yang mendengar kata-kata itu hanya bisa terdiam, seolah tak tahu harus berkata apa. Setiap kata yang keluar dari mulut Mita adalah pukulan bagi hatinya yang sudah cukup terluka. Sebagai ibu, Aminah merasa sangat gagal. Ia mencoba untuk merangkul Mita, memberikan kasih sayang, tapi kenyataannya justru seperti ada dinding yang tak bisa ditembus. Aminah, yang selama ini berusaha menahan emosinya, akhirnya meledak. Ia membentak Mita dengan penuh amarah. "Tapi bukan dengan cara merebut suami kakakmu sendiri, Mita!" suara Aminah penuh dengan kemarahan, matanya memancarkan kekesalan yang selama ini terpendam. "Bagaimana bisa kamu mengkhianati Linda seperti ini? Kamu tahu betul betapa sakitnya bagi seorang kakak jika adiknya sendiri yang melakukan hal seperti ini! Kenapa kamu harus melakukan ini? Kenapa harus menghancurkan keluarga kita?" Mita terkejut mendengar bentakan ibunya. Sementara itu, perasaan marah dan terluka di hati Mita semakin memuncak. Ia menatap Aminah dengan tatapan penuh kebencian dan kekecewaan. "Dan kamu, Bu! Apa ibu pikir aku nggak tahu bagaimana rasanya selalu dipandang sebelah mata? Selalu harus mengalah pada Mbak Linda, selalu harus menjaga perasaannya! Apa kamu pikir aku nggak punya perasaan? Apa kamu pikir aku nggak terluka melihat Mbak Linda selalu mendapatkan yang terbaik dari segalanya, bahkan dari Mas Wisnu?" Mita menyeka air mata yang tak bisa ia tahan lagi. "Aku memang salah! Aku memang salah mencintai Mas Wisnu. Aku memang salah kalau itu yang membuat kamu marah. Tapi aku juga manusia, Bu! Aku juga punya perasaan! Dan aku sudah terlalu lelah selalu berada di bawah bayangan kakakku. Aku selalu merasa nggak pernah ada ruang untuk diriku sendiri." Suasana di dalam ruangan seketika hening. Tidak ada lagi suara pertengkaran, hanya ada bisikan dari pikiran masing-masing yang memenuhi ruangan. Linda duduk terdiam, air matanya mengalir tanpa henti, mengaburkan pandangannya. Aminah berdiri dengan tangan terlipat di depan d**a, matanya menatap kosong ke arah pintu, seperti mencari jawaban yang tidak bisa ditemukan. Mita, yang semula penuh dengan kemarahan dan kekecewaan, kini terdiam di sudut ruangan, merasa kosong dan bingung dengan dirinya sendiri. Masing-masing dari mereka terperangkap dalam perasaan yang tak terucapkan. Linda merasa dikhianati oleh orang yang paling dekat dengannya, suami dan adik kandungnya. Ia merasa dunia yang selama ini ia bangun runtuh seketika, menyisakan puing-puing perasaan yang sulit untuk disatukan kembali. Di satu sisi, ia merasa tidak pernah cukup dihargai, baik oleh Wisnu yang kini terlibat dalam hubungan terlarang dengan adiknya, maupun oleh Mita yang lebih memilih untuk mengejar perasaannya daripada menjaga kedamaian keluarga. Aminah, di sisi lain, merasa frustasi. Sebagai seorang ibu, ia ingin melindungi kedua anak perempuannya, tetapi saat ini ia merasa telah gagal melakukan itu. Ia tahu bahwa Mita merasa terluka, tetapi ia juga tak bisa membenarkan apa yang dilakukan Mita dengan Wisnu. Ia mencintai anak-anaknya, tetapi di tengah semua ini, ia bingung bagaimana cara memperbaiki segalanya. Tentu, ia tak bisa begitu saja mengabaikan perasaan Linda yang hancur. Linda tiba-tiba berdiri, matanya yang sebelumnya kosong kini menatap Wisnu dengan penuh keputusan. Suasana hening sejenak, dan semua orang di ruangan itu terdiam. Dengan suara yang pelan namun tegas, Linda memanggil nama Wisnu. "Mas ..." suaranya bergetar, tapi ada sebuah kekuatan di balik kata-katanya. Wisnu menoleh dengan wajah bingung, tidak mengerti apa yang akan dikatakan Linda. Linda menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Aku nggak tahu lagi harus bagaimana," lanjutnya dengan lirih, "Tapi, aku rasa sudah saatnya kalian menyelesaikan semuanya. Jika kalian berdua merasa ini yang terbaik, jika kalian berdua ingin bersama, maka lakukanlah." Linda menundukkan kepala, matanya yang penuh air mata itu menatap lantai. "Nikahi Mita, Mas. Itu yang terbaik. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebohongan dan pengkhianatan." Aminah, yang sebelumnya terdiam, langsung terkejut mendengar ucapan Linda. "Linda, apa yang kamu katakan? Kamu yakin dengan ini?" tanyanya dengan nada cemas, tetapi Linda hanya mengangguk pelan. Linda langsung berjalan keluar dari ruang perawatan, langkahnya terasa berat namun tegas. Setiap langkah yang ia ambil rasanya penuh dengan perasaan yang bertumpuk, campuran antara kebingungan, kekecewaan, dan kesedihan. Ia tak ingin melihat lagi wajah Wisnu dan Mita, tak ingin mendengar alasan atau permintaan maaf dari keduanya. Semua yang terjadi terasa seperti pukulan telak yang tak mampu ia hindari.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN