HT 6 - Perhatian Dewa

1920 Kata
Satu minggu berlalu sejak kedatangan Tania di Singapura, aktifitas harian wanita itu tidak pernah lepas dari mengurus Rena dan juga Ello yang akan memulai home schooling pertamanya hari ini. Ello memang harus beradaptasi lebih dulu. Terutama dengan bahasa dan suasana di sini. Dan hal itu memang lebih tepat dilakukan bersama seorang guru yang bisa membimbing bocah laki-laki yang akan berusia enam tahun itu secara private. “Nia, kamu ikut saja dengan Bi Tuti berbelanja. Supaya tahu kalau nanti sesekali mau keluar dan belanja sendiri,” tutur Dewa begitu wanita itu selesai memakaikan pakaian untuk Rena. “Tapi Rena bagaimana, Pak?” “Biar saya yang jaga. Hari ini saya libur,” terangnya sambil menggendong Rena. “Lagi pula saya harus berkenalan langsung dengan gurunya Ello. Karena kemarin teman saya yang mencarikannya.” Nia mengangguk paham kemudian pamit untuk bersiap. Sementara itu Dewa langsung menghampiri Tuti di dapur. Menitipkan sejumlah uang pada wanita paruh baya itu. “Nanti Bibi ajak Nia cari pakaian dan kosmetik ya. Dia tidak banyak membawa barang saat ikut ke sini.” “Baik Tuan.” “Kalau ada sisanya pakai saja untuk makan di luar atau membeli barang dan keperluan yang lain,” pungkasnya. Tuti mengangguk paham lalu ia dan Tania pun pamit diantar supir keluarga. Hari masih cukup pagi saat Nia berbelanja bersama Tuti. Keduanya sudah cukup akrab begitu Tania sampai di kediaman orangtua Dewa di Singapura seminggu yang lalu. Namun, karena Nia kerepotan mengasuh Rena, Tuti belum sempat bertanya banyak tentang gadis yang ia tahu dipekerjakan tuannya untuk menjadi pengasuh anak-anaknya. Tuti juga mendapat amanat langsung dari Nyonya besar–Ibunya Dewa–kalau wanita paruh baya itu diminta membantu dan menjaga Tania agar cucu-cucunya terawat serta diperhatikan dengan baik. Karena itu ia agak penasaran dengan Nia sebab sosoknya yang tidak terlihat seperti pengasuh pada umumnya. Tidak bisa dipungkiri kalau Tania adalah wanita yang cantik dan menarik. Meski tidak pernah berdandan, namun dari postur serta kulit tubuh dan wajahnya, Tuti bisa menebak kalau Tania bukan orang biasa yang hanya bekerja sebagai pengasuh anak-anak itu. “Bahasa Inggris Bibi lancar, ya?” Meski tidak yakin bisa berbahasa Inggris dengan baik, Tania merasa bisa memahami apa yang diucapkan orang-orang di sekitarnya. Tuti terkekeh. “Ya gini-gini aja, Nia. Karena terbiasa aja. Lagipula saya kan sudah lama tinggal di sini. Nia ngerti?” Wanita itu mengangguk. Nia tahu kalau Tuti adalah orang kepercayaan keluarga Dewa. Ia sudah bekerja sejak Dewa kuliah di Singapura. “Kalau Bibi boleh tau, Nia dulu kerjanya apa?” Wanita itu menggeleng sendu. “Nia nggak ingat, Bi.” “Lho kok bisa?” “Ceritanya rumit.” Kedunya ngobrol sambil berjalan-jalan di area pasar buah dan sayuran yang terlihat sangat segar-segar. “Ayo ke sana Nia?” ajak Tuti kemudian bertanya lagi, “Rumit bagaimana?” “Saya sebetulnya korban tabrak mobil yang dikemudikan Pak Dewa.” Tuti melebarkan bola mata sambil membuka mulut yang ditangkup telapak tangannya. “Ya Allah. Terus?” Tania tersenyum kecil. “Setelah sadar saya hilang ingatan, Bi. Dompet dan tas saya juga hilang. Jadi identitas saya tidak diketahui.” “Sudah lapor polisi?” Tania mengangguk. “Sudah. Pak Dewa sudah lapor. Tapi sampai sekarang tidak ada yang mencari. Mungkin saya memang tidak punya keluarga, Bi.” Tuti mengangguk paham seraya mengusap punggung Tania dengan lembut. “Nanti bisa dicari. Yang penting kamu sudah sehat. Setidaknya kamu tidak ditelantarkan.” “Iya, Bi.” Keduanya lalu memilih buah-buahan sebelum mengakhiri belanja di pasar. Tuti kemudian mengajak Tania ke supermarket untuk membeli keperluan rumah tangga yang lain sebelum mengajaknya ke kawasan belanja yang cukup murah dan terkenal di Singapura. “Kita mau ke mana, Bi?” “Kita belanja baju dan kebutuhan lain dulu buat kamu ya.” “Eh, tidak usah, Bi. Saya masih punya pakaian bekas almarhum Bu Friska yang dikasih-kasihkan setelah beliau wafat. Lagian saya belum punya uang, Bi.” Tania memang baru ingat lagi kalau gajinya belum dibayarkan sampai hari ini. Wanita itu mencoba maklum mengingat kesibukan Dewa juga suasana rumah setelah kematian Friska. Belum lagi kepindahan mereka ke sini. Karena itu, Tania pun belum berniat menagihnya sampai hari ini. Toh, untuk makan dan kebuthan lain sehari-hari ia masih bisa mengandalkan semua yang ada di rumah Dewa dulu juga di kediamannya sekarang ini. “Oh ya? Kamu nggak digaji Tania?” “Belum, Bi. Sepertinya karena Pak Dewa sibuk. Jadi lupa.” “Begitu ya? Tapi Pak Dewa sendiri yang minta tolong sama Bibi Nia. Kita ke sana dulu saja ya. Paling tidak beli beberapa yang cocok kalau memang tidak mau banyak-banyak. Kamu juga perlu kosmetik kan?” “Tapi Bi–“ “Tenang saja. Pak Dewa sudah kasih uang sama Bibi.” “Nia nggak enak, Bi.” Tuti meraih tangan wanita itu dan mengusapnya lembut. “Tidak apa. Kita ke sana dulu ya. Harganya murah-murah kok. Kalau memang tidak nyaman, kamu ganti saja uangnya setelah menerima gaji nantinya. Dan lagi, kalau saya boleh memberi saran.” Kalimat Tuti menggantung. Tatapannya tampak tak nyaman, takut apa yang akan disampaikannya menyinggung perasaan Tania. “Apa, Bi? Katakan saja. Saya tidak akan marah.” “Kamu tahu kan kalau Pak Dewa itu pasti masih sering mengingat almarhum Bu Friska?” Tania mengangguk setuju dengan ucapan Tuti. Lanjutnya, “Kalau kamu pakai pakaian dan barang-barangnya Bu Friska terus apa nantinya Pak Dewa malah jadi sedih lagi ya, Nia?” Degh …. Tania tertegun. Ia tak berpikir sampai ke sana. Dan apa yang dikatakan Tuti barusan menyadarkan Tania atas sesuatu yang kini membuatnya merasa bersalah. “Nia?” Wanita itu mengerjap karena kaget. “Ah iya, Bi. Kenapa?” “Maaf ya kalau Bibi lancang.” Tania langsung menggeleng. “Nggak, Bi. Nia justru terima kasih karena Bibi sudah mengingatkan Nia. Nia nggak sadar selama ini sudah melakukan hal yang salah.” “Nggak apa, Nia. Kamu kan nggak sengaja melakukannya karena tidak sadar saja.” “Iya, Bi. Nia nggak peka.” “Ya sudah. Makanya kita beli baju untuk kamu ya sekarang.” “Pakaian Bu Friska nanti dikemanakan, Bi?” “Simpan saja dulu. Kan dibakar juga tidak boleh. Atau kamu sumbangkan saja,” sarannya kemudian diangguki Tania. Tuti membawa Nia jalan-jalan mengelilingi kawasan Bugis Street. Salah satu pusat perbelanjaan yang terkenal di Singapura. “Besar sekali ya, Bi.” Reaksi Tania pertama kali saat memasuki kawasan berbelanja yang cukup terkenal di negar itu. “Kalau di Jakarta ya mirip Pasar Senen atau Tanah Abang, Nia. Saya sama suami dulu suka diajak ke sini.” Nia baru ingat. “Terus suami Bibi di mana?” Tuti lebih dulu tersenyum. “Sudah almarhum.” “Maaf kan Nia, Bi,” sendunya merasa tak enak hati. “Nggak papa, Nia. Namanya manusia tidak semuanya memiliki umur yang panjang.” “Suami Bibi pekerja di rumah Tuan dan Nyonya juga?” Tuti menggeleng sambil menggandeng Nia berjalan memasuki area pertokoan yang sangat banyak itu. Ada sekitar enam ratus toko yang menjual berbagai macam produk mulai dari pakaian, pernak pernik juga produk eletronik dan stand makanan yang cukup lengkap di sini. “Bukan. Kami bekenalan saat Bibi sudah kerja di sini. Waktu anak Bibi masih SD, Bibi sudah pindah ke sini. Beliau dagang makanan kaki lima. Sama-sama perantau. Janda dan duda,” terang Tuti dengan seraut malu-malu menceritakan lagi kisahnya. “Itu bagus, Nia. Ayo ke sana!” Tuti menariknya masuk ke sebuah toko. Lalu sambil memilih milih pakaian perempuan paruh baya itu kembali bertanya. “Jadi sudah berapa lama kamu sendiri tinggal di rumah Pak Dewa setelah sembuh dari kecelakaan itu?” “Seminggu sebelum Bu Friska meninggal, Bu.” Tuti menghembuskan napas berat. “Saya juga sedih waktu mendengar kabar kepergiannya. Mengerti sekali bagaimana perasaan Pak Dewa karena saya juga ditinggalkan suami saat anak-anak masih kecil dan butuh figur bapaknya. Apalagi Rena masih kecil sekali. Kasihan nggak sempat dipeluk Ibunya. Tapi kamu senang kan mengasuh mereka Nia?” Bibir Tuti sibuk bicara namun tangan dan matanya fokus memilih pakaian yang ia suka untuk Tania. “Alhamdulillah, Nia senang Bi mengasuh Ello juga Rena. Ya walaupun kadang bingung kalau Rena sudah rewel. Mungkin di masa lalu saya belum menikah, jadi tidak tahu cara menangani bayi.” “Tidak apa Nia. Semua orang juga belajar. Tidak ada sekolah menjadi orangtua. Yang penting harus sabar dan jangan sampai membentak mereka ya." Tania mengangguk. "Dan Bibi lihat kamu sudah terampil mengasuh Rena.” Mereka pun sibuk memilih-milih. Lebih tepatnya Tuti yang memilih dan Tania hanya manut saja. “Ini bagus, Nia. Cocok sama kamu. Pasti cantik kalau dipakai. Ambil ini, ya?” Tania mengangguk patuh. Tuti kemudian menunjukkan dress floral berwarna kuning tua dan putih polos dengan panjang selutut dan lengan pendek sambil bergantian mematutkannya di tubuh Tania. “Ukurannya juga kayaknya Pas. Badan kamu bagus. Kayak Badan Bibi waktu masih gadis,” bangganya berkelakar lalu terkikik. Tania ikut tersenyum mengiyakan saja. “Eh, kok jadi saya yang belanja. Duh, ayo dong kamu Nia juga pilih.” “Nggak papa, Bi. Bibi saja yang pilihkan. Anggap saja Bibi pilihkan untuk anak Bibi.” “Iya. Bibi jadi kangen anak-anak juga di kampung.” “Mereka tinggal di mana, Bi?” tanya wanita itu sambil menerima tas belanja yang diberikan kasir. “Di kampung. Sama Nenek dan Kakeknya Nia.” “Berapa orang?” “Dua. Yang satu sudah kuliah. Yang satu tahun depan lulus. Mereka masih kecil waktu ditinggal bapaknya. Sebelum saya bekerja pada Bu Narasih dan Tuan Alfran.” Tuti langsung mengusap wajah dan bahu wanita itu sambil berucap, “Ibu doakan semoga nanti kamu bisa mendapatkan ingatan kamu kembali dan bertemu dengan keluarga kamu.” “Aamiin.” “Ayo ke kita cari lagi yang lain Nia,” sahutnya kemudian mereka berjalan-jalan ke toko yang lain. Tuti membelikan tiga stelan rumah juga pakaian tidur dan dalaman. Ia juga membelikan sepatu sandal, sepatu flat dan tas kecil untuk Nia. “Kamu nggak punga HP ya, Nia?” Wanita itu menggeleng. Lalu mereka membeli camilan untuk pengganjal perut dan membelikannya juga untuk supir dan melanjutkan perjalanan ke sebuah mall untuk membeli kosmetik sebelum pulang. Tania tidak nyaman karena mereka sudah pergi terlalu lama. Apalagi sebentar lagi waktunya makan siang. “Bi, kita nggak beli makan dulu buat Pak Dewa dan Ello?” “Tuan bilang nanti pesan saja Nia.” Wanita itu pun mengangguk paham. Mereka kembali ke rumah menjelang siang. “Sini kasih saya sebagian belanjaannya, Bi.” “Nggak usah, Nia. Kamu bawa belanjaan kamu aja kan banyak. Ini biar Bibi dan Mang James aja yang bawa ke dalam.” Nia terkekeh karena panggilan Bi Tuti pada James yang padahal usianya seumuran dengan Tania. “Nia ke dalam duluan kalau gitu taruh belanjaan Nia. Nanti Nia bantu lagi.” “Kalian sudah pulang?” Belum tubuh wanita itu berbalik suara Dewa dari belakang membuat ketiganya kompak menoleh ke arah sumber suara. Dewa tengah berdiri bersama seorang wanita cantik dengan rambut maroon dan pakaian yang modis namun sopan. Tatapannya kini memindai Tania dari atas sampai ke bawah. Terutama setelah Ello berseru dan memeluk pengasuhnya itu. “Kak Nia dari mana aja sih? Kok lama banget perginya?” Wanita itu langsung meletakkan semua belanjaanya dan menyambut pelukan Ello sambil berlutut. “Iya. Maaf ya Kak Nia perginya lama. Kak Nia beli keperluan yang lain dulu. Udahan sekolahnya?” Ello mengangguk dengan bola mata lucu yang mengerjap-ngerjap polos. Membuat Tania gemas dan reflek mencium pipinya. Lalu Tania kembali menatap majikan dan guru home schooling Ello yang sedang menatapnya dengan tatapan yang membuat Tania malah merasa aneh. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN