HT 5 - Rasa Bersalah Dewa

1796 Kata
Perjalanan Indonesia–Singapura sebetulnya dekat. Jarak tempuhnya sama seperti Jakarta–Surabaya atau Jakarta–Bali menggungkan pesawat. Seharusnya nyaman-nyaman saja. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Rena yang masih sangat kecil. Bayi yang belum genap berusia empat puluh hari itu. Sejak pesawat mendarat hingga tiba di kediaman orangtua Dewa di Singapura, Rena tak berhenti rewel dan menangis. Bayi itu juga tak mendapatkan ASI seperti biasa karena Ibu ASI yang kini tak bisa mendonorkan ASI-nya lagi padanya. Tania merasa kasihan. Dewa juga berusaha membantu menenangkan dengan terus menggendong anaknya hingga tertidur. Namun, setiap kali Rena diletakkan di atas kasurnya, balita itu akan langsung merengek dan menangis kencang. Tania sampai kesulitan untuk makan dan mandi karena Rena tak bisa ditinggalkan sama sekali. “Kamu lebih baik mandi dulu lalu makan, Nia. Biar Rena saya yang urus.” “Tapi Pak–“ “Lebih baik kamu turuti kata saya. Jangan sampai kamu nanti sakit.” Tania setuju dengan kata-kata Dewa. Wanita itu akhirnya mengangguk patuh setelah Dewa mendesaknya lagi. Tania tak berlama-lama mandi lalu makan ditemani Asisten Rumah Tangga yang biasa mengurus kediaman milik keluarga Dewa di Singapura. Dewa sendiri tertidur bersama Rena yang ada dalam gendongannya saat Tania selesai makan dan menghampiri. Sementara Ello yang sudah mengantuk mengajak Tania masuk kamar. Meski pun kamar yang ingin ia tempati malah kamar Tania. “Kenapa? Ello takut sendiri?” Bocah laki-laki itu menggeleng manis. “Aku cuma mau nemenin Kak Nia aja jagain Dedek Rena. Boleh ya, Kak?” rajuknya dengan wajah menggemaskan. Tania tentu saja tak bisa menolak. Diusapnya kepala bocah laki-laki itu sebelum dibawanya ke kamar. Setelah Ello terlelap, gantian Tania menghampiri Dewa lagi dan membangunkannya pelan. “Ah, Nia. Maaf saya ketiduran.” Nia tertegun. “Bapak kenapa minta maaf pada saya?” Dewa sendiri bingung kenapa ia minta maaf pada Tania. “Ah, sepertinya spontan saja. Saya ingat Friska sering begitu kalau saya ketiduran karena nonton bola.” Tania mendesah pelan. Dewa pasti masih berusaha membiasakan diri tanpa kehadiran Friska. Tak mudah kehilangan belahan jiwa yang sudah memberinya dua orang malaikat yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang bundanya itu. “Bapak tidur saja di kamar. Biar Rena tidur dengan saya.” Dewa bangun dan membawa Rena ke kamar Tania. Pria itu tertegun saat melihat putra sulungnya ada di kamar sang pengasuh juga. Dan sebelum Dewa menanyakan, Tania seolah merasa harus menjelaskannya lebih dulu. “Ello yang minta tidur di sini, Pak. Katanya mau menemani saya menjaga adiknya.” Dewa menangguk sambil masih menggendong Rena. “Kalau begitu saya juga tidur di sini saja.” Tania membeliak kaget. “Eh, kenapa begitu Pak?” “Ya supaya nanti kalau Rena bangun saya bisa langsung membantu kamu.” “Maaf Pak, tapi saya tidak nyaman,” tunduknya takut-takut. Senyum Dewa tak terlihat oleh Tania. “Saya tidak akan berbuat macam-macam Nia. Lagi pula ada Ello. Kalau kamu tidak nyaman, pintunya bisa dibuka, jadi pembantu yang lain tidak curiga kalau itu yang kamu cemaskan.” “Maaf Pak. Tapi tetap saja tidak baik. Kasihan anak-anak kalau pintu kamarnya terbuka.” Dewa mendesah pelan. “Baiklah. Kalau begitu saya tidur di luar saja. Supaya lebih mudah mendengar kalau Rena menangis.” “Tidak usah, Pak. Biar saya yang jaga Rena. Bapak istirahat saja.” Dewa menggeleng menolak. Tania menambahi, “Bapak harus bekerja. Nanti kelelahan.” Dewa tertawa kecil kali ini sambil menjawab, “Saya sudah biasa begadang kalau jaga di IGD, Nia. Saya Dokter kalau kamu lupa.” Tania masih menunduk. “Tetap saja, Dokter juga tidak bisa merawat dan mengobati dirinya sendiri kalau sakit. Lebih baik Bapak istirahat saja,” kukuh wanita itu dengan wajah yang masih takut menatap majikan yang kini justru sedang gemas karena ekspresi pengasuh anak-anaknya itu. “Kamu mencemaskan saya Nia?” Reflek wanita itu mendongak lalu menunduk lagi saat netra mereka bertubrukan. “Maaf Pak. Bukan maksud saya lancang. Saya hanya berpikir kalau terjadi sesuatu dengan Bapak saya tidak tau harus bagaimana nantinya. Anak-anak butuh Bapak di sini. Sementara saya belum tau apa-apa karena ini negara asing dan pertama kalinya ke sini.” Dewa mengangguk paham lantas mengalah. Pria itu memberikan Rena pada Tania setelah mengecupnya sebentar lalu keluar kamar. Tania merasa lega. Perdebatan kecil dengan majikannya itu sedikit banyak membuatnya jadi gugup karena takut dikira lancang, menyinggung dan malah membuatnya bisa saja marah. “Pak Dewa ini ada-ada saja. Tapi akhirnya beliau bisa tersenyum lagi sejak kematian Bu Friska,” lirihnya sambil menatap wajah Rena dan Ello bergantian. Lanjutnya, “Semoga kalian tegar dan tumbuh menjadi anak yang kuat ya, Sayang. Kak Nia akan menjaga dan merawat kalian sekuat tenaga,” pungkasnya lantas menyunggingkan senyum tipis sebelum berbaring bersama Rena. Tania lantas melafalkan doa dan surat-surat pendek yang dibacakan lembut di telinga juga ubun-ubun Rena seperti biasanya. Tania sendiri tak ingat belajar dari mana hal seperti itu. Sesuatu menggerakannya begitu saja saat awal-awal harus mengasuh Rena. Dan sedikit banyaknya hal itu cukup berpengaruh karena Rena akhirnya bisa tertidur nyenyak meski tetap terbangun beberapa jam kemudian. Dewa juga tertidur pulas. Namun, karena ia sengaja menyetel alrm untuk memastikan kondisi Rena, pria itu pun bangun dan mengecek ke dalam kamar Tania dengan pelan-pelan. Dewa mematung di tempat saat tatapanya menyaksikan pemandangan yang tak biasa. Tania membuka bagian atas piyamanya dan membiarkan Rena nemplok di dadanya. Lalu bagian pakaian Tania yang terbuka itu diselimutkan pada tubuh Rena. Seperti metode kangguru yang membiarkan kontak langsung antara kulit ibu dan anak yang digunakan untuk menghangatkan bayi prematur. Dewa bertanya-tanya kenapa Tania melakukan hal itu dalam hatinya. Tapi melihat keduanya begitu damai, Dewa pun urung melanjutkan langkahnya. Ia juga tak ingin membuat Tania malu karena memergokinya dalam keadaan setengah telanjang. Ya, bagi Dewa kondisi Tania bisa disebut setengah telanjang karena pria itu bisa melihat bagian d**a Tania yang sedikit terekspos saat tatapannya mengarah pada wajah Rena. Dewa pun kembali ke kamar. Rasanya memang tak nyaman melihat bagian tubuh wanita yang bukan istrinya untuk pertama kali. Pria itu langsung mencuci wajah guna mengusir pikiran kotor yang membuat jantungnya dag dig dug aneh. Dewa pria normal. Tapi logikanya menolak pikiran kotor yang menurutnya jadi merendahkan Tania. Mungkin besok pagi ia akan menanyakan dengan cara lain agar bisa mengetahui kenapa Tania melakukan hal itu pada putrinya. Sayangnya keesokan pagi, Dewa yang melihat Tania mendadak gugup saat mengingat lagi apa yang dilihatnya semalam. Pria itu urung bertanya, salah tingkah hingga membuat pakaiannya kotor sendiri karena minuman yang tumpah ke bajunya. Dewa sampai mandi dua kali untuk membersihkan diri sekaligus membersihkan pikiran kotornya tentang bayangan Tania. “Sadar Dewa. Jangan sampai Tania malah nggak nyaman karena tingkah lo yang kurang ajar,” gumamnya di dalam hati sambil bercermin di depan kaca wastafel. Rena memang sudah tidak rewel lagi pagi ini. Tania juga mengajaknya berjemur bersama Ello setelah bocah laki-laki itu dimandikan pembantu yang lain. Dan pemandangan itu tak luput dari penglihatan Dewa setelah keluar kamar. Tania yang bercengkrama dan bercanda dengan anak-anaknya sambil berjemur, membuat sudut bibirnya terangkat. Seketika bayangan Friska menyelinap ketika pria itu mendekat dan memanggil mereka di sana. “Mas sudah selesai mandi?” Itu yang di dengar Dewa. Berbeda dengan apa yang ditanyakan Tania tentang, “Bapak tidak ke rumah sakit?” “Sudah,” jawab Dewa spontan membuat Tania juga Ello menatap bingung. “Ayah kok ngomongnya aneh. Kak Nia kan tanya Ayah kenapa nggak ke rumah sakit. Kok jawabanya udah? Emang kapan Ayah ke rumah sakit? Kapan?” cerocos pria kecil itu. Sadar dirinya berhalusinasi, Dewa pun menggelengkan cepat kepalanya berulang-ulang seraya kembali pada kenyataan di hadapannya. Kenyataan bahwa wanita yang sedang bersama anak-anaknya itu adalah Tania, pengasuh mereka. Bukan Friska, istri yang begitu dicintai dan disayangi namun sudah meninggalkan ia selamanya. “Ah, maaf. Ayah salah dengar ya?” “Ih, Ayah kok aneh. Ayah masih laper ya? Atau kurang minum?” Dewa menghampiri Ello dan ikut berjemur di dekat putra sulungnya itu. “Kok bisa seperti itu?” “Kayak diiklan air putih kan gitu Ayah. Waktu ngelamun langsung ditawarin minuman sambil bilang, ‘Anda butuh Aqua?’,” kelakarnya dengan wajah serius, membuat Dewa terbahak. Tania tak luput ikut terkekeh melihat kepolosan Ello yang padahal sedang serius tapi malah ditanggapi lucu oleh keduanya. “Ih, Ayah mah. Ello kan nggak lagi ngelucu. Kok malah ketawa,” rungutnya. “Sejak kapan kamu nonton Iklan seperti itu? Channel yang kamu tonton kan tidak ada iklan seharusnya.” Tentu saja karena Dewa hanya memperbolehkan anaknya menonton tayangan yang dipilih dengan pengawasan Bunda-nya. “Kapan ya?” Tania terkekeh melihat tingkah Ello yang seperti orang dewasa. Pria kecil itu melipat satu tangan di d**a sementara sebelah tangannya yang lain sibuk mengelus dagu dengan jemarinya. Mirip orang dewasa yang sedang berpikir keras. “Aku lupa lagi, Ayah. Tapi waktu lagi nonton film yang ceweknya nangis-nangis sambil megangin perut terus teriak-teriak gini,” antusiasnya kemudian memperagakan akting pemain sintron yang dilihatnya di televisi persis seperti yang dingatnya sambil mengucapkan kalimat Kenapa? Kenapa kamu ambil anakku Tuhan? Kenapa? Aku salah apa?’ Dewa tersentak sambil membuka mulutnya tak percaya. Anaknya yang polos bisa memperagakan adegan yang ia yakini bagian dari scene sinteron. Dewa menatap Tania yang sedang terkikik mengulum bibir. Wajahnya langsung menegang begitu pandangan Dewa meminta penjelasan. Tania berdeham untuk mengurai rasa canggung dan takut yang menyergapnya seketika. “Itu, Pak. Ello sering ikut nonton sinetron sama Bu Maya kalau beliau menginap karena Bapak nggak pulang ke rumah.” Dewa mendesah, merasa bersalah karena semua itu karena dirinya. Dirinya yang terlalu sibuk dengan kesedihan dan lukanya sendiri sampai melupakan anak-anak yang seharusnya lebih terluka karena kehilangan sosok Ibu mereka dalam usia sekecil ini. Dewa mengusap kepala Ello dan membawa pria kecil itu ke dalam pangkuan dan dekapannya. “Maafkan Ayah, ya? Ayah janji akan banyak di rumah kalau sedang libur.” “Ayah kenapa minta maaf? Kata Bunda jadi Dokter itu hebat karena ngobatin orang sakit. Jadi kalau Ayah sibuk ngobatin orang, Ello nggak papa kok. Kan ada Kak Nia sama adik Rena sekarang,” tatapnya pada sang pengasuh yang kini mengiyakan dengan tersenyum lembut padanya. Lanjut bocah itu lagi menatap Dewa. “Ayah makanya nggak boleh sakit. Harus bahagia supaya Ayah sehat terus dan bisa ngobatin yang sakit. Kata Bunda obat sehat itu bahagia dan ketawa. Makanya Ayah harus banyak ketawa juga ya?” polosnya membuat hati Dewa semakin teriris rasa bersalah. Pelukan itu semakin erat membawa Ello ke dalam dekapan Dewa. Bibirnya terus mengecup kepala sang putra berulang-ulang sambil tak henti melirih kata maaf meski hanya dalam hatinya. Sementara Tania yang melihat pemandangan itu hanya bisa menghela napas dalam dan membuangnya pelan. Tania merasakan sekali atmosfer kehilangan itu masih merundung Dewa. Tapi setidaknya pria itu kini mau memperbaiki semua meski harus memulainya dengan susah payah. Meninggalkan tempat yang memberinya banyak kenangan bersama sang belahan jiwa yang kini sudah kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN