Tania merasa aneh dengan tatapan guru home schooling Ello yang bernama Careena beberapa waktu ini.
Apalagi di hari terakhir Ello belajar minggu ini, Dewa memang sengaja meminta Tania untuk ikut memperhatikan agar Tania bisa tau bagaimana perkembangan Ello dan menceritakannya pada Dewa nantinya.
Sayang, wanita keturunan India–Amerika itu nampak tak suka ketika Tania ikut duduk di dekat mereka.
Alasannya keberadaan Tania dan Rena mengganggu konsentrasinya. Anehnya, wanita yang pernah mengenyam pendidikan di Indonesia dan fasih berbicara bahasa Indonesia itu seperti sengaja bicara dengan menggunakan bahasa Inggris padanya. Seolah agar Ello tak mengerti.
Lalu setelah mengatakan hal yang menurut Tania ketus, wanita itu bersikap seolah tak terjadi apapun dan tuturnya kembali lembut pada Ello.
Tania merasa aneh sekaligus takut. Careena seperti mempunyai dua kepribadian yang mana satunya mengerikan. Tania tak bisa menemukan alasan apapun yang membuatnya merasa patut diperlakukan seperti itu.
Mungkinkah karena ia hanya seorang pengasuh sehingga Careena merasa risih dekat dengannya?
Lalu kenapa pada Rena ia juga merasa tak suka? Mungkinkah Careena tidak suka suara bayi yang sering kali berisik dan mengganggu? Tapi, Rena tidak pernah menangis di dekat Careena.
Tania benar-benar tak menemukan alasan apapun yang bisa menganulir perlakuan Careena yang membuatnya terus kepikiran.
“Kak Nia. Dede Renanya ngantuk tuh!”
Tania mengerjap, menoleh pada Rena yang ada di dalam gendongannya. Bayi itu menggeliat resah seperti akan menangis.
Setiap akhir pekan dan Ello libur sekolah, bocah itu akan menghabiskan waktu bersama Tania juga adiknya.
“Kak Nia bawa Dede Rena ke kamar dulu aja deh. Dedenya mungkin pengen nenen.”
Tania membeliak. “Eh, Ello kok tahu?”
Bocah laki-laki itu terkekeh jahil. “Kan Ello suka bobo sama Kak Nia. Jadi suka liat. Emang kak Nia punya s**u buat Rena, ya?” polosnya.
Glekkk ….
Tania kehilangan kata-kata. Rasanya ia tak pernah mendapati Ello melihatnya menyusui Rena. Tapi kenapa bocah itu bisa tahu. Tania jadi semakin gugup.
“Ello, nggak bilang Ayah kan?”
“Harus dibilangin Ayah, ya?”
“Eh jangan!”
“Kenapa?”
“Em, harusnya kan Bunda yang nyusuin Rena. Tapi karena Bunda nggak di sini, Jadi Kak Nia gantiin tugas Bunda. Tapi Kak Nia belum ijin sama Ayah. Jadi nanti biar Kak Nia yang bilang aja, ya. Ello jangan kasih tahu dulu. Nanti Kak Nia dimarahin karena nggak minta ijin dulu sama Ayah.”
“Kenapa Kak Nia nggak minta ijin?”
“Itu. Em, Kak Nia ... em, Rena-nya keburu nangis. Jadi Kak Nia lupa terus.”
“Oh, okay deh.”
“Makasih ya, Ello,” usapnya di kepala bocah itu.
“Tapi nanti aku mau dibikinin ikan tepung goreng lagi, ya. Buatan Kak Nia enak.”
“Iya. Nanti Kak Nia buatkan. Sekarang Kak Nia ke kamar dulu, ya. Ello nggak papa kan main sendiri?”
Bocah laki-laki itu mengangguk kemudian melanjutkan mainnya ditemani James yang memang sedang tidak banyak pekerjaan.
Tania berulang kali ketiduran saat menina bobokan Rena. Karena itu ia belum tidur ketika Rena kembali terbangun pukul dua dini hari.
Dewa yang kebetulan melewati kamar Tania mengetuk pintu dan membantu wanita itu menidurkan putrinya kembali.
Tania sendiri kembali sibuk memikirkan tatapan dan sikap sinis guru home schooling Ello. Wanita itu gamang apakan harus menceritakan atau menyimpannya sampai ia yakin?
Tania merasa benar-benar janggal oleh karena interaksi mereka saja bisa dibilang jarang. Membuat Tania jadi semakin tak nyaman. Namun, ia pun akhirnya urung mengungkapkan pada sang majikan yang kini sedang membaringkan Rena di atas kasur Tania.
Wanita itu mengerjap karena terkejut setelah mendapat sentuhan lembut di lengan yang membuatnya refleks menjenggit.
“Nia? Kamu tidak apa-apa?”
“Eh, maaf, Pak. Saya tadi sedang memikirkan sesuatu. Bapak mau tanya apa lagi soal Ello?”
Dewa tersenyum menggeleng. “Tidak ada. Istirahatlah. Rena sudah tidur.”
Tania mengangguk patuh. Dewa pun keluar kamar. Dan Tania malah tidak bisa tidur karena seharian terlalu banyak tidur siang juga pikirannya tentang Careena.
Paginya, Tania merasakan bagian kecil puncak dadanya perih karena lecet. Selama ini Tania memang tidak pernah memberitahu orang-orang apalagi Dewa kalau Rena sering menyusu padanya.
Awalnya tidak sengaja. Namun, lama kelamaan Tania jadi terbiasa karena cara itu membuat Rena yang rewel langsung tenang begitu kulitnya saling menyentuh dengan bayi kecil itu. Tuti yang melihat keaneahan sikap Tania pun langsung bertanya.
“Nia, kamu kenapa? Ibu perhatikan kamu seperti tidak nyaman dari tadi.”
Tania gugup. Bingung bagaimana menceritakannya. Terutama ia takut dianggap lancang dan tidak-tidak pada Rena.
“Kenapa Nia? Cerita saja. Bibi janji tidak akan menceritakannya pada yang lain.”
“Bibi janji ya? Nia takut.”
Tuti mengangguk sambil mengusap punggung wanita yang tampak gelisah itu seraya menenangkan dan memberinya keyakinan kalau semuanya akan baik-baik saja.
“Putiing dadanya Nia lecet karena sering disusuin Rena, Bi.”
“Lho, kok bisa? Kamu kan nggak punya ASI Nia.”
“Nia juga nggak tau, Bi. Sebetulnya agak aneh karena beberapa waktu lalu sebelum ke sini Rena sempet pernah rewel banget dan di rumah nggak ada siapa-siapa kecuali Ello sama supir dan satpam. Rena gigit-gigit dadanya Nia sampai baju basah. Akhirnya Nia coba susuin. Ternyata langsung tenang. Dari sana jadi keterusan. Itu juga kalau Rena rewel banget, Bi. Nia beneran nggak ada maksud apa-apa. Sungguh.”
Tuti segera menenangkan Tania dan memberinya minum.
“Iya, Nia. Bibi percaya. Kalau begitu nanti Bibi belikan obat di apotik.”
“Maaf ya, Bi. Nanti kalau gaji Nia udah dibayar, Nia bakal ganti”
“Iya. Nggak usah pikirkan itu. Yang penting kamu sehat. Sudah ya, sekarang sarapan dulu. Mumpung Tuan sama Rena lagi berjemur.”
“Iya, Bi.”
Nia pun menikmati sarapan yang sudah dibuatkan Tuti untuknya.
“Nia.” Wanita itu menghentikan suapannya dan menatap Tuti.
“Iya, Bi. Kenapa?”
“Kalau kamu belum makan, kasih Rena sama Bibi saja. Jangan sampai kamu sakit karena telat makan. Nanti malah kamu tidak bisa mengurus Rena. Kasihan juga Ello. Teman dia di rumah ini kan cuma kamu sama adiknya kalau Tuan sedang tidak ada.”
Nia terkekeh. Sudut hatinya menghangat karena diperhatikan oleh Tuti yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
Apalagi Tania memang merasa ia jadi seperti kebanyakan Ibu menyusi lain yang direpotkan bayinya karena sejak lahir Rena tak pernah lepas dari pengasuhannya.
“Iya, Bi. Terima kasih.”
Di luar dugaan, Dewa yang sejak tadi tak sengaja mendengar percakapan mereka pun jadi merasa bersalah. Pria itu sudah lalai sebagai majikan.
Untunglah Rena tidak rewel dalam gendongannya. Kalau saja bayi kecil itu bersuara, mungkin kedua wanita yang sedang bertukar curahan hati itu akan tahu dirinya menguping. Tania pasti malu.
Dewa pun bergegas masuk ke dalam kamar. Ia menelepon seorang Dokter Kandungan sekaligus rekan kerjanya dan menanyakan solusi dari masalah yang dihadapi Nia.
Apakah mungkin ada obat yang bisa Tania minum karena ia sendiri adalah Dokter Spesial Jantung dan Bedah Jantung.
"Dia sedang menyusui?"
“Tidak. Dia bukan Ibu kandung. Hanya sering menyusui bayi karena itu membuat si Bayi jadi lebih tenang.”
"Oh, begitu. Nanti kuresepkan salep dan obat anti nyeri kalau memang dia bukan wanita yang sedang menyusui. Nanti kuminta petugas rumah sakit untuk mengantarnya ke rumah."
“Tidak usah. Biar nanti Asisten Rumah Tangga saya yang mengambilnya,” elaknya.
Dewa tak ingin Tania tahu lalu wanita itu jadi semakin merasa bersalah dan malu. Lebih baik nanti ia meminta Tuti saja yang mengambilkannya tanpa diketahui Tania.
"Baiklah kalau begitu."
“Terima kasih Dokter Michele. Selamat pagi.”
"Sama-sama Dokter Dewa. Selamat pagi."
Setelah menyerahkan Rena pada Tania, Dewa pun menghampiri Tuti di dapur.
Pria itu bicara sedikit berbisik setelah memastikan situasi aman. Takut Tania mendengar pembicaran mereka.
“Iya, Tuan. Ada yang bisa Bibi bantu?”
Dewa berdeham. “Saya tidak sengaja mendengar percakapan kalian tadi. Tapi Tania sepertinya tidak tahu. Saya sudah memesakan obat untuknya. Bibi nanti tolong ambil di apotek rumah sakit ya?”
Tuti sempat tertegun. “Dan tolong tidak usah beritahu Nia soal ini. Saya takut dia malu dan jadi merasa bersalah.”
Wanita paruh baya itupun mengangguk paham.
“Bilang saja kalau Bibi membelinya di apotek dan konsultasi dengan apotekernya tentang kondisi Nia,” lanjutnya lagi.
“Baik Tuan. Kalau begitu Bibi harus ke sana jam berapa?”
Dewa menoleh ke belakang wanita itu di mana semua pekerjaan terlihat sudah beres.
“Setelah Bibi selesai cuci piring saja. Dan nanti sebelum obatnya diberikan, buang dulu palstik klip obat rumah sakitnya supaya tidak ketahuan,” pungkasnya langsung diangguki Tuti. Wanita paruh baya itu pun melanjutkan pekerjaan sebelum pergi mengambil obat.
Dua hari kemudian ….
Dewa pergi ke ruang kerja setelah meminta Tuti memanggilkan Tania yang sedang duduk menemani Ello bermain sambil mengawasi Rena.
Pria itu baru saja membersihkan diri dan mengganti pakaian setelah pulang dari rumah sakit.
“Kamu dipanggil Tuan ke ruang baca, Nia. Biar Bibi yang jaga anak-anak sekarang.”
Tania pun mengangguk lalu pamit sebentar pada Ello.
Wanita itu menghampiri ruang baca yang sering digunakan sebagai ruang kerja juga di rumah itu. Mengentuk pintu, kemudian menunggu sang empunya ruangan mempersilakannya masuk.
“Bapak panggil saya?”
“Duduk Nia!” sahut Dewa sambil menghampiri sofa dan ikut duduk di sana.
Dewa lantas memberikan paper bag kemudian menyodorkan sebuah kartu ATM pada wanita itu.
“Ini apa Pak?”
“Buka saja,” jawabnya tersenyum manis.
Ternyata sebuah ponsel yang sudah siap digunakan oleh pemiliknya.
“Ini buat saya, Pak?”
Dewa mengangguk. “Maaf saya baru sempat membelikannya untuk kamu. Nomernya sudah terpasang beserta memorinya. Saya juga sudah memasukkan nomer saya dan orang-orang di rumah ini. Setiap bulan tagihannya sudah masuk ke rekening saya. Kamu hanya tinggal menggunakannya saja.”
Wanita itu menoleh pada sang majikan yang kini menatapnya dalam.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Lalu tatapannya beralih ada kartu ATM berlogo sebuah bank di Indonesia.
“Dan ini ATM. Maaf juga saya baru membayarkan gaji kamu. Setelah ini setiap akhir bulan saya akan mentransfer gaji kamu langsung ke rekening. Kalau saya terlambat, ingatkan saya ya. Nomer pinnya tanggal lahir Rena. Kamu ingat kan?”
Tania tersenyum lega sambil mengangguk dan berkata, “Ingat, Pak. Terima kasih.”
“Semoga bermanfaat, ya.”
Tania mengangguk lalu pamit keluar karena sudah tidak ada yang ingin dibicarakan Dewa lagi. Tapi kemudian,
“Nia?”
Wanita itu menoleh lagi. “Iya, Pak? Ada yang ingin Bapak katakan lagi?”
“Saya lupa. Minggu Depan Rena harus imunisasi. Nanti kita sama-sama ke rumah sakit, ya?”
Tania mengangguk lalu pamit kembali. Raut wajah wanita berusia di akhir dua puluh itu tampak cerah saat menghampiri Tuti dan kedua anak asuhnya.
“Bapak kasih Nia HP, Bi. Terus gaji Nia juga udah dibayar,” cicitnya bercerita tanpa diminta.
“Alhamdulillah. Digunakan dengan baik ya, Nia.”
“Iya, Bi. Nanti uang Bibi buat beli obat juga Nia ganti, ya?”
“Nggak usah. Kemarin uang dari Bapak masih ada makanya Bibi pakai untuk beli obat kamu. Bagaimana? Sudah baikan sakitnya?”
Tania mengangguk sambil memperhatikan ponsel barunya dengan wajah berbinar. Entah kenapa perasaannya bahagia sekali padahal hanya dibelikan ponsel yang harganya tidak seberapa menurutnya untuk seorang Dokter sekelas Dewa.
Kebahagiaan Tania pun menular pada senyum Tuti yang mengembang begitu saja. Ia sudah menganggap Tania seperti anaknya sendiri. Apalagi Tania juga tidak ingat keluarganya. Karena itu, Tuti senang Tania betah mengurus anak-anak Dewa di sini.
Dewa yang akan melintas ke dapur pun ikut tersenyum. Pria itu kemudian membuka buku harian yang ia simpan di dalam laci sekembalinya mengambil kopi yang dibuatkan Tuti.
Di sana terdapat foto terakhir kenang-kenangannya bersama Friska yang sedang hamil besar juga Ello.
“Apa kabar Sayang? Maaf aku harus meninggalkan kamu di sana. Tapi aku janji, setelah semua ini berakhir, kami akan kembali. Terima kasih sudah memberiku putri yang cantik sepertimu. Aku berjanji, dia tidak akan kekurangan perhatian dan kasih sayang meski kamu tidak bisa memeluknya lagi. Istirahatlah yang tenang. Aku akan menjaga dan membesarkan anak-anak kita dengan baik. I love you, Friska.”
Dewa menyimpan foto itu kembali ke dalam buku harian dan memasukkannya ke dalam laci.
Bersambung ....