HT 1 - Tragedi Memilukan
“Sakit,” rintih wanita itu di antara isakan karena menahan nyeri dan perih yang berpusat di bawah perut.
Lelehan embun bening menganak sungai dari kedua sudut matanya sementara laki-laki yang sedang berada di atas wanita itu membeku menatapnya.
“Jadi kamu benar-benar belum pernah melakukannya, Nia?” parau pria itu dengan mimik terkejut.
Perih dan sakit. Hanya itu rasa yang juga menggelegak dalam lubuk Tania. Wanita yang sedang merintih menahan nyeri yang teramat sangat di bawah tubuh kekasihnya sendiri.
Tania sudah menjelaskan berulang kali kalau dirinya tidak seperti yang dikatakan orang yang sudah memfitnahnya. Tapi, sang kekasih tak percaya. Pria itu ingin membuktikan sendiri semua perkataan sahabat sekaligus pria yang mengaku sebagai mantan pacar Tania dan menemuinya beberapa waktu lalu.
Pria yang menfitnah wanita yang pria itu cintai dan kagumi sebagai sosok yang sudah tidak suci lagi katanya.
'Bodoh!' umpatnya dalam hati.
Kenapa cara yang ia pilih justru melukai Tania. Kekasih yang sudah dipacarinya dua tahun ini. Pria itu merampas kehormatan yang sudah mati-matian Tania jaga demi seseorang yang benar-benar berhak menerimanya kelak.
Tania hanya bisa menangis. Menahan semua rasa yang kini meremas perasaan sekaligus menyerang tubuhnya karena sesuatu yang direnggut paksa darinya.
Pria itu masih bergeming. Meski belum semua pusat tubuhnya menyatu dengan Tania, tapi wanita bernama lengkap Tania Ayudia Putri itu dipastikan sudah tidak perawan lagi.
“Maafkan aku, Nia."
Wanita yang akrab dipanggil dengan sebutan Nia itu hanya bisa menangis dan merintih sendirian. Kemudian dalam satu entakkan yang tak diduga, Tania menjerit tertahan menahan sakit yang justru disempurnkan pria itu.
“Sekali lagi aku minta maaf. Dan aku akan bertanggung jawab setelah ini,” janjinya.
Sudah kepalang. Pria yang katanya mencintai Tania itu memilih menuntaskannya dengan harapan Tania bisa menikmatinya.
Tania pasrah. Tak punya daya melawan. Dan apapun yang dilakukan pria itu kemudian, hanya membuatnya semakin sakit sampai semuaya tuntas pria itu berikan ke dalam rahim Tania.
Kecupan di kening Tania pun mendarat dengan dramatis diikuti janji yang diulang pria itu yang justru menorehkan luka semakin dalam pada Tania.
Pria itu lantas tertidur sambil melingkarkan lengan pada pinggang Tania yang tak henti menangis dan meratapi dirinya yang kini telah ternodai.
Tak lama setelah pria itu terlelap, Tania perlahan bangun. Mengenakan pakaian dan pergi diam-diam meninggalkan kediaman kekasihnya dengan perasaan hancur dan tubuh yang terluka karena perlakuan paksa yang diterimanya.
Tania pun pulang dengan memesan ojek daring. Menangis sepanjang perjalanan sampai membuat pengemudi ojeknya kebingungan. Bahkan menolak ongkos yang diberikan Tania karena sang pengemudi yang iba melihat betapa kacaunya wanita itu.
“Nggak apa Neng. Nggak usah bayar. Bapak nggak tau Neng kenapa, tapi Bapak berdoa semoga masalah Neng cepat selesai, ya?! Neng harus semangat,” nasihatnya tulus.
Tak mengangguk tanpa kata. Tak tahan, kemudian meraung di sisi jalan sambil berjongkok setelah kepergian tukang ojek daring tersebut. Bukan karena terharu tapi karena diingatkan lagi luka yang baru saja diterimanya.
Tak lama, Tania berusaha bangun. menghapus jejak luka dan kesedihan di wajahnya sambil melangkah gontai. Tiba di rumah lalu disambut Ayah Tania yang sengaja menunggu kedatangan putrinya sejak tadi
Kening pria paruh baya itu pun mengernyitkan kentara. Pakaian yang kusut. Rambut yang acak-acakan juga wajah yang sambab karena menangis, membuat Ayah mana yang tak cemas jadinya.
“Nia, kamu kenapa?”
Tania menggeleng. “Nia mau istirahat dulu ya, Ayah,” sahutnya begitu saja.
Tania masuk kamar dan mengurung dirinya. Tak peduli pria yang sudah menggahinya tadi mengiriminya puluhan pesan dan notifikasi telepon.
Tania memilih mematikan ponselnya kemudian. Tak makan dan minum. Hanya menangis dan menangis meratapi nasib hingga sang Kakek yang sudah bangun sejak subuh mengetuk pintu kamar wanita itu keesok harinya.
“Neng?! Neng udah bangun belum? Neng nggak kerja?”
Tania menggigit bibirnya kuat-kuat. Menahan rintihan tangis yang semakin pilu. Ayah dan kakeknya tak berhasil membujuk sampai keesokannya lagi barulah Tania akhirnya mau keluar dari kamarnya.
Wanita itu mandi terlebih dahulu dan menggosok berulang tubuh yang dianggapnya begitu kotor sekarang.
Dan karena shift kerja pagi Tania dimulai jam enam, pagi sekali wanita itu sudah membuatkan sarapan. Kadang kala Tania juga pergi tanpa berpamitan pada keluarganya.
Sudah menjadi hal lumrah. Dan keluarganya pun memaklumi hal itu. Mengingat Tania-lah juga tulang punggung keluarga mereka sekarang.
Ayah dan Kakek Tania yang juga terbiasa bangun pagi pun, menemui gadis itu sebelum ia pergi.
“Nia, kamu kenapa? Kamu ada masalah?” tanya sang ayah dengan seraut cemas yang masih tak bisa disembunyikan sejak kemarin.
“Nggak papa, Yah. Nia cuma lagi pusing karena pekerjaan. Hampir dipecat,” karang Tania membuat keduanya terlonjak mendengar penuturan wanita itu.
Sambung kakeknya yang juga bertanya, "Kenapa?"
Tania hanya bisa memaksakan senyum lantas menjawab, “Kelepasan, Bah. Costumer-nya rewel. Terus ngadu. Jadi dikasih SP (surat peringatan),” dustanya lagi.
“Yang sabar menghadapi costumer-nya, Nia,” nasehat Ayahnya seraya mengusap lengan wanita itu dengan sayang.
Tania pun pamit untuk bekerja di pusat layanan pengaduan costumer di sebuah anak perusahaan milik salah satu maskapai penerbangan ternama di Indonesia. Tania harus tetap bekerja demi kebutuhannya dan juga untuk membantu menghidupi keluarganya
Sialnya, customer yang dilayani Tania pertama kali adalah costumer yang sudah terkenal menyebalkan di antara rekannya yang lain.
Customer tersebut seringkali membatalkan tiket secara mendadak. Belum lagi miskomunikasi lain yang sering kali membuat mereka yang berhubungan dengannya naik darah. Dan Tania-lah yang sering mendapat kesialan itu.
Tak jarang wanita itu juga mendapat amukan tak jelas. Padahal setelah ditelusuri, kesalahannya ada pada pelanggan itu sendiri.
Tania yang sudah hatam tetap diam saat mendengar ocehan pelanggannya itu sampai tak sengaja tangannya menekan tombol line dan memutus sambungan telpon yang seharusnya memang sudah selesai tanpa embel-embel ceramah lebih dulu.
Alih-alih lega, Tania justru berseru panik. “Aduh gimana ini?”
“Kenapa, Nia?” tanya Anyelin, sahabat Tania dari awal bekerja yang meja pelayanannya ada di sebelah meja Tania.
“Nggak sengaja kepencet, Lin. Gimana ini?”
Anyelin mengerutkan alis. Tak biasanya Tania secemas itu.
“r****d?” tanyanya diangguki cepat oleh Tania. “Ya udah. Mudah-mudahan dia nggak ngeluh. Kirim survey costumer aja ke nomernya.”
Tania jadi ingat perkataannya tadi pagi pada ayah dan kakeknya. Wanita itu menyesal karena sudah berdusta mengingat ucapannya tadi seolah menjadi kenyataan sekarang ini.
Dan benar saja, costumer yang merasa teleponnya diputus secara sepihak oleh Tania itu membuat pengaduan lain yang berimbas pada rating buruk terhadap survey performanya. Membuat Tania terpaksa harus berhadapan dengan Supervisor-nya usai jam makan siang.
“Masuk!” seruan itu terdengar setelah Tania mengetuk pintu.
Tangannya mengepal erat. Wajahnya menunduk. Detak jantungnya berdebar nyeri. Pasalnya, Supervisor itu adalah Yudi. Kekasih yang sudah menggagahinya beberapa hari lalu.
“Mendekat Tania,” ucapnya lembut.
Patuh. Wanita itu menghampiri meja Yudi namun enggan duduk di kursi. Meski Yudi memintanya berulang, Tania tetap kukuh berdiri.
Dadanya begitu sesak. Perasaan sakit itu menyelinap tanpa permisi. Tania merasa kacau, takut, sekaligus jijik juga marah secara bersamaan pada dirinya dan Yudi.
“Bisa kamu jelaskan kenapa–“
“Line-nya tidak sengaja terputus,” jawabnya buru-buru sudah ingin pergi dari sana. Tak ingin lama-lama berduaan apalagi menatapnya.
Tania merasakan kepanikan mengingat lagi kejadian di antara mereka berdua. Namun, karena Yudi adalah atasan Tania, wanita itu tak bisa berbuat banyak selama mereka dalam lingkungan kantor.
Yudi menghembuskan napas berat. Mengitari meja dan menghampiri Tania yang spontan menjauh.
“Tania, aku minta maaf, Sayang. Maaf kalau aku–"
“Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya permisi.”
Yudi meraih pergelangan tangan Tania. Tania menepisnya dengan cepat lalu berlari ke arah pintu yang langsung ditahan Yudi.
“Tania, please! Aku ingin–“
Prakkk …
Dalam keadaan kalut dan takut, Tania meraih vas keramik di lemari kabinet dekat pintu dan menghantamkannya ke kepala Yudi sebelum buru-buru pergi saat kesempatan terbuka.
Sayangnya, Tania bertubrukan dengan Supervisor lain yang akan menuju kantor Yudi, langsung tahu begitu melihat kejadian yang menimpa rekannya itu.
"Bisa kamu jelaskan pada saya semua ini, Tania?”
Dan keterdiaman wanita itu tak memberikan titik terang apapun. Tania benar-benar tidak bisa diajak bicara meski sudah dibujuk rekannya.
Surat peringatan pun dilayangkan pada Tania sambil menunggu keterangan Yudi yang sudah dilarikan ke rumah sakit lebih dulu.
Tania pun pulang. Melamun selama perjalanan dan berakhir jauh dari rumahnya.
Dalam perjalanan pulang kembali itulah, Tania tak sengaja melihat anak kucing yang ketakutan di tengah jalan. Lalu lintas yang ramai dan padat seakan mengabaikan tubuh kecil tak berdaya yang sedang meminta pertolongan itu.
Tania merasa iba, merasa dirinya tak berbeda jauh dengan si kucing. Dan karena dorongan perasaan diabaikan yang sama itulah, wanita itu nekat menyeberang tanpa menghiraukan lalu lalang kendaraan.
Pikirnya, kalau manusia yang terlihat melintas, mobil-mobil itu pasti mau berhenti. Sialnya pengemudi mobil yang melaju ke arahnya sedang tak fokus karena sibuk meraih ponsel yang jatuh. Dan ketika menyadari hal itu, tubuh Tania sudah ambruk bersimbah darah dengan luka yang cukup parah.
Pemilik mobil langsung keluar dan memeriksa Tania lalu berucap, “Saya Dokter. Biar wanita ini saya tangani.” Kemudian mencari tas Tania.
Sayangnya ada orang yang memanfaatkan keadaan itu dan mengambil semua barang berharga milik Tania sehingga identitas wanita itu juga tidak bisa ditemukan.
Pria yang mengenakan setelan kemeja biru dan warna dasi yang serupa itu langsung menelpon rumah sakit terdekat dan meminta ambulans untuk segera datang.
Bersambung