HT 8 - Firasat Tania

1914 Kata
Sambil menunggu antrian, Tania duduk di sofa tunggu di dalam area klinik anak di rumah sakit tempat Dewa bekerja. Hari ini, balita yang genap berusia dua bulan itu akan menjalani vaksin rutin yang umum diberikan untuk balita. Tania menggendong Rena sambil mengajaknya bicara. “Nanti kalau disuntik jangan nangis ya, Sayang.” Bola mata Rena mengerjap-ngerjap lucu. Mulutnya membuka dan menutup seolah bicara seiring dengan keluarnya suara yang menggemaskan hati Tania. “Iya. Anak Bunda mah jagoan ya? Biar apa katanya divaksin tuh?” “Hauhh … Hauhh …. ” “Iya. Biar tambah sehat ya. Tambah cantik. Uh, anaknya Ibu gemesin banget sih ini!” gregetnya kemudian mencium pipi dan tangan Rena yang sejak tadi bergerak-gerak menyentuh wajah wanita itu. Balita cantik itu pun tertawa. Membuat hati Nia semakin gembira. Dewa yang baru saja datang setelah mengambilkan minuman untuk Tania, tersenyum melihat interaksi sang pengasuh dan putrinya yang masih sangat kecil itu. Sudut hatinya menghangat. Kehadiran Tania benar-benar seperti keberuntungan bagi Dewa. Tania bagai sosok dewi penyelamat dalam kehidupan ia dan anak-anaknya, meski pertemuan mereka di awali karena sebuah musibah. Ditambah ingatan Tania yang hilang, Dewa tak bisa menampik bahwa rasa syukur di hatinya sangat besar karena adanya wanita itu. Dewa merasa tertolong sekali. Entah bagaimana jadinya jika saat pria itu menelantarkan kedua anak-anak yang masih kecil karena kepergian sang belahan jiwa dan Tania tidak ada. Mungkin hubungannya dengan Ello tak akan semudah sekarang ini. Meskipun Dewa tahu benar kebesaran hati Ello menerima perlakuannya yang abai bukan saja karena kepolosan dan ketulusan hati anak itu, tapi ada andil peran Friska sebagai ibu yang mengajari putranya saat hidup juga pengertian yang diberikan Tania di awal-awal kepergian Friska. Tanpa itu semua, Dewa tidak tahu lagi bagaimana jadinya perasaan Ello yang terluka dan merasa diabaikan karena ia sibuk dengan perasaannya sendiri. “Nia?” “Iya, Pak.” “Kamu tidak keberatan kalau Rena memanggil kamu Ibu nantinya?” Degh … Tania menyadari sesuatu yang salah lagi. Dewa pasti mendengar ucapannya tadi pada Rena. “Maaf Pak. Saya tidak akan mengulangnya lagi.” Dewa langsung terhenyak. “Bukan begitu Nia. Saya tidak marah. Hanya saja, saya mengingat perkataan kamu sebelum kita pergi ke negara ini.” Tania mendongak menatap sang majikan yang tatapannya kini lurus ke depan. “Kamu bilang pada saya bukan kalau suatu hari nanti kamu bisa bertemu dengan keluarga kamu, kamu meminta saya tidak melarang lagi kepergian kamu.” Dewa menoleh ke samping. Tersenyum tipis lalu menatap wajah putrinya yang sedang berada dalam gendongan Tania. “Saya hanya takut Rena yang mungkin akan menganggap kamu Ibunya pasti akan sangat kehilangan saat kamu pergi nanti.” Tania menelan ludah saat Dewa kembali menatapnya. Tatapan sendu pria itu seolah menyiratkan rasa tak rela kalau suatu saat nanti ia akan pergi. Seketika hati Tania menjadi bimbang. Ia tahu semua itu lambat laun akan terjadi. Sekarang atau besok memang tidak bisa ditentukan kapan waktunya. Namun, nyatanya memikirkan bahwa ia akan berpisah dengan bayi cantik yang ada dalam gendongannya sekarang ini saja sudah cukup membuat hati Tania seperti diiris sembilu. Rasa sayangnya pada Rena juga Ello, membuat sudut hatinya disasar nyeri. Tania benar-benar kehilangan kata. Bahkan air matanya jatuh tanpa permisi. Dewa segera merogoh saku celana dan memberikan sapu tangan pada Tania. “Maaf, Pak.” “Tidak. Saya yang minta maaf, Nia. Baiklah. Tidak usah pikirkan itu. Kamu rawatlah Rena dan Ello semampu kamu.” “Maksud Bapak?” “Maksud saya kamu tidak perlu membatasi diri dan perasaan dalam memperlakukan anak-anak saya hanya karena perkara yang kita bicarakan ini.” “Tapi yang Bapak katakan benar. Saya harus tahu diri.” Dewa menggeleng cepat. “Saya percaya anak-anak saya akan menjadi anak-anak yang hebat dan kuat. Dan mereka akan mengerti dengan baik semua kondisi ini nanti. Terutama Rena dan kamu yang pasti sudah terikat batin sejak ia kehilangan Bunda-nya,” pungkas Dewa tepat ketika perawat memanggil giliran mereka untuk masuk. Selama pemeriksaan dan penyutikan vaksin, bayi cantik itu benar-benar tidak menangis. Hal yang membuat Dewa takjub sebab pada vaksin pertama Rena cukup tak nyaman bahkan demam dan rewel hingga berhari-hari. Untunglah hal itu terjadi sebelum keberangkatan mereka ke Singapura. “Wah, anak cantik hebat sekali tidak menangis. Ayah sama Ibunya juga kompak sekali ya.” Blush …. Dewa dan Tania langsung menukar tatapan. Wajah wanita itu memerah. Sementara Dewa sendiri jadi canggung. Semua dikarenakan mereka berdua memang kompak menghibur bayi cantik itu saat dokter menusukkan jarum suntik ke tubuhnya. Namun, tak ada satupun dari mereka yang sepertinya berniat mengkoreksi ucapan sang dokter. Dewa yang tak enak menjelaskan kondisi sebenarnya di antara mereka sekaligus menjaga perasaan Tania, takut kalau wanita itu merasa dipermalukan hanya karena posisinya sebagai pengasuh. Pun dengan Tania yang juga malu dan merasa tak pantas karena dikira istrinya Dewa. Lagipula, orang yang melihat mereka berdua pun tidak akan percaya kalau Tania itu hanya pengasuh dari anak-anak Dewa. Tania yang hari ini berdandan sederhana itu bak Dewi yang bersinar ditambah aura keibuan yang juga melekat begitu saja pada dirinya. Dewa dan Tania pun langsung pulang ke rumah begitu urusan administrasi di rumah sakit selesai. Selama perjalanan, keduanya saling diam. Tania duduk di bangku belakang menemani Rena yang duduk di car seat baby does-nya. Wanita itu terus mengalihkan pandangan setelah tatapannya bertumbukkan dengan tatapan sang majikan dari kaca spion tengah mobil. Dan begitu tiba di rumah, Tania langsung masuk ke dalam kamar. Sementara Dewa di kamarnya juga jadi merasa bersalah. Pria itu pun memberanikan diri untuk mengajak Tania bicara. Dewa merasa Tania mungkin tersinggung dengan sikapnya. Dan di sinilah keduanya. Mereka duduk di halaman belakang sambil Tania menggendong Rena sementara Ello belajar dengan Careena. “Nia saya–“ “Bapak mau–“ seru mereka bersamaan. Tania menunduk. Mengalihkan wajah sementara Dewa berdeham sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya ingin minta maaf.” Wajah ayu dan lembut itu pun mendongak menatap majikan yang juga menatapnya dalam. “Saya minta maaf soal pembicaraan di Rumah Sakit tadi. Juga soal candaan dokter.” Tania menunduk lagi. Malu sekaligus takut sebab tak tahu harus memberikan reaksi apa untuk kedua hal tersebut.   Batinnya bertentangan. Takut ucapannya menyinggung Dewa sekaligus malu karena tak ingin dikira yang macam-macam. “Bagi saya kamu bukan sekedar pengasuh Nia. Kamu sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Karena itu saya sengaja tidak mengoreksi ucapan dokter yang mengira kamu ibunya Rena. Saya tidak mau merusak suasan hati kamu.” “Maksud Bapak?” “Saya yakin dokter mengira kamu Ibunya Rena karena pembawaan kamu yang telihat seperti ibu kandungnya.” Tania menunduk lagi. Sebagai pengasuh, Tania tak ingin berperilaku lancang. Karena itu dia hanya diam dan mendengarkan semua penuturan Dewa. Sementara Dewa yang gemas karena respon Tania, jadi salah tingkah sendiri. Lanjut Dewa, “Seperti yang saya katakan sebelumnya, saat kita membahas tentang panggilan yang kamu sematkan untuk diri kamu sendiri saat bicara dengan Rena, kamu tidak perlu membatasi diri dan perasaan dalam memperlakukan anak-anak saya karena saya yakin kamu tulus menyayangi anak-anak saya.” Wajah Tania semakin memerah. Entah karena malu atau karena tersanjung dengan pujian yang diberikan sang majikan. Dewa yang tak melepaskan tatapannya pada Tania sejak tadi pun tersenyum melihat rona di wajah wanita itu. Baru Dewa sadari Tania yang malu-malu ini mengingatkannya pada sang Mama yang masih sering malu-malu jika dipuji Papa-nya. Dewa kemudian menyadari sesuatu, kalau Mamanya dulu menikah dengan Papa-nya karena wanita itu juga awalnya adalah pengasuh kakak-kakak tirinya. Memang, Mama-nya hanya seorang yang biasa, tapi sosoknya yang lembut dan penyayang membuat siapapun yang berinteraksi dengannya akan bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan. Seketika Dewa pun jadi berfikir mungkinkah ia dan Tania akan berjodoh seperti Papa-nya? Ah, Dewa sepertinya terlalu berharap. Tapi bukankah wajar jika ia berharap seperti itu? Siapa yang tidak ingin memiliki pasangan yang baik hati, lembut dan penyayang pada anak-anak yang bahkan bukan darah dagingnya sendiri? Dan Tania memenuhi kriteria-kriteria itu. Namun, terlalu dini untuk menyimpulkan kalau pria itu menaruh perasaan lebih pada wanita yang kini masih tertunduk malu itu. Tak bisa dipungkiri kalau Dewa memang menganggumi sosok Tania. Kebaikan, juga kecantikan sederhana wanita itu. “Pak?” Dewa mengerjap karena tersadar dari lamunannya. “Iya, Nia?” Wanita itu lantas melirik ke samping. Menunjuk Careena dengan tatapannya yang sedang berdiri tak jauh dari mereka. Dewa menoleh. Careena mengangguk seolah memberi isyarat ingin bicara. Bergegas pria itu pun menghampiri. Sementara Ello menghampiri Nia dan mengajak adiknya bicara. Nia tak berani memperhatikan karena masih takut dengan tatapan Careena yang selalu membuatnya tak nyaman. “Ya Careena? Ada apa?” “Aku hanya ingin bertanya, apa anda keberatan jika saya mengajak Ello keluar untuk belajar sambil bermain di alam atau lingkungan umum?” Dewa mengerutkan kening. “Haruskan?” Careena tampak terkejut. Namun hanya sesaat. Ekspresinya dengan cepat kembali santai sebelum menjawab. “Iya. Agar lebih menyenangkan. Dan aku rasa ada baiknya juga kalau Ello mulai mengenal lingkungan sekitaranya.” Dewa memang merasa perlu mengenalkan Ello pada beberapa tetangga mereka yang tinggal berdekatan. Hal ini guna mempermudah Ello untuk berbaur dengan anak-anak yang lain di sekitar rumahnya juga. “Baiklah. Tapi saya akan ikut.” “Apa itu artinya aku harus menyesuaikan jadwalnya dengan hari libur anda?” Dewa mengangguk. Careena tidak menolak. Wanita itu tersenyum manis sambil mengangguk sepakat dengan Dewa. Sementara itu, Tania yang mendengar percakapan keduanya sedikit merasakan perasaan yang aneh. Tidak mungkin kalau Tania cemburu. Sebab ia yakin, kalau perasaannya hanya sebatas perasaan tak nyaman yang dirasakan karena cemas. “Ello?” “Ya Kak Nia.” “Ello seneng belajar sama Bu Careena?” Bocah kecil itu tampak berfikir sebelum akhirnya menggeleng. “Kenapa?” kejar Tania karena penasaran. Sudah satu bulan berlalu. Sudah berulang kali Careena mengajak bocah berusia enam tahun itu belajar di luar rumahnya. “Masa aku disuruh manggil Mami.” “Hah? Bu Careena minta kamu panggil dia begitu?” Ello mengangguk. “Ello tanya nggak kenapa alasannya?” “Ello sempet tanya sih. Kan Bu Careena bukan ibunya Ello. Kenapa harus manggil gitu.” “Terus Bu Careena bilangnya apa?” “Katanya karena Ello mirip anaknya.” “Ello nurut?” Bocah itu menggeleng lagi. Tania mengelus dadanya merasa lega. Sepertinya ia harus mengatakan soal ini pada majikannya. Bagaimana pun, hal seperti ini sangat janggal. Tania takut kalau Careena memiliki niat tak baik pada Ello. Insting keibuannya seketika memberi alarm bahaya. Karena itu Tania pun meniatkan diri untuk menceritakannya pada Dewa nanti. Sayangnya belum sempat Nia menceritakan hal itu, Sesuatu terjadi di minggu kedua setelah percakapannya bersama Ello sore itu. "Lho, Bi. Ello ke mana?" "Lho, tadi sama Bu Careena keluar. Katanya sudah ijin sama Tuan?" "Dia bilang gitu?" Tuti mengangguk. Tania langsung mengambil ponsel dan menghubungi Dewa untuk memastikan kebenarannya. Sayangnya, insting Nia kali ini benar-benar tepat. Careena ternyata berbohong. Ditambah setelah itu Dewa yang mencoba menghubungi Careena tak tersambung sama sekali. Dewa bergegas pulang dan meminta bantuan kepolisian sekitar. Namun hingga malam harinya, bocah itu tak kunjung ditemukan. Tania menangis dalam setiap sujud terakhir dan doa-doanya. Berharap agar bocah laki-laki itu segera ditemukan dan dalam keadaan baik-baik saja. Tania tak dapat membayangkan hal buruk yang akan terjadi pada anak asuhnya itu kalau sampai ia tidak bisa ditemukan. Dewa yang mendengar suara isakkan dari dalam kamar langsung tersenyuh begitu mendapati ternyata Tania sedang mencemaskan anaknya. "Nia?" "Bagaimana Pak? Sudah ada kabar dari kepolisian?" Dewa menggeleng sendu. Tania langsung menangkup wajahnya dan menangis. Dewa tersentak kemudian buru-buru menghampiri wanita itu lebih dekat. "Nia. Jangan menangis seperti ini. Saya–" "Maafkan Nia, Pak. Ini salah Nia. Harusnya Nia bilang sejak awal pada Bapak." "Apa maksud kamu Nia?" Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN