Bab 17. Nekat Timo

1140 Kata
Numa tersentak kaget saat mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar berbarengan dengan suara berat Timo. Dia tidak menyangka Timo nekat masuk ke dalam rumah setelah panggilan ponsel Timo yang berulang kali dia diamkan. Numa mau tidak mau membuka pintu kamarnya karena Timo bersikeras. “Om?” Numa cemas karena Timo langsung bergerak masuk ke dalam kamarnya. “Om, nanti papa pulang. Dia bilang pulang cepat hari ini,” ujar Numa cemas. “Kenapa kamu nggak jawab teleponku?” Numa langsung cemberut. “Hei, mamamu dan aku itu berteman baik, aku tentu saja harus melayaninya berbincang.” “Tapi deketan begitu tadi?” protes Numa cepat, mengingat wajah mamanya yang penuh senyum saat berdekatan dengan Timo di dapur. Timo menghela napas pendek sambil mengamati wajah Numa, dia memahami perasaan Numa yang cemburu. Timo mengambil tangan Numa tapi Numa menepisnya dengan cepat. “Om ke luar aja, ntar papa pulang. Aku nggak mau ada masalah.” “Oh begitu ya? Lebih mentingin perasaan papa kamu ketimbang perasaan aku?” “Om Timo?” Numa tidak percaya dengan sikap Timo. “Aku nggak suka didiamkan kamu.” “Om Timo … aku juga nggak suka liat Om berduaan ngobrol sama mama, senyum-senyum nggak jelas.” Tatapan Timo terus tertuju ke Numa. “Jangan pernah diamin aku.” Numa masih dengan tatapan tidak sukanya ke wajah Timo. “Kamu dengerin aku nggak sih?” “Buat apa dengerin Om? Om aja nggak ngerti perasaan aku!” “Jadi mau kamu apa?” “Aku nggak suka liat Om deket-deket mama!” “Aku nggak suka kamu nggak angkat hape kamu!” Numa diam dan dia cukup terkejut dengan sikap Timo yang ternyata galak dan tidak mau mengalah. “Pergi!” usirnya. “Ok. Aku pergi.” Timo berbalik, tapi Numa jadi tidak suka dengan keadaannya. Dia menarik tangan Timo, dan Timo berbalik ke arahnya. Keduanya berpelukan erat, dan Timo langsung mengangkat tubuh ringan Numa dan Numa memeluk lehernya. Numa mengikat kedua kaki di pinggang kokoh Timo, dan Timo sibuk menjejal lehernya. Timo membawa Numa ke sudut kamar, sambil menggendong Numa dia memburu mulut Numa dan melumatnya. Numa tidak mau kalah, melayani lumatan bibir Timo, lalu keduanya saling melumat bibir. “Aku rindu kamu,” ucap Timo. “Aku juga rindu sama om Timo, aku … aku cemburu tadi.” “Aku tahu, Sayang. Aku nggak suka mamamu, aku sukanya sama kamu saja.” Timo melanjutkan lumatan bibirnya ke bibir Numa, hingga Numa akhirnya menyerah dan mendesah panjang. Timo mulai gelisah, celananya terasa penuh karena lembut bibir Numa dan desahan Numa serta napas hangat Numa. Dia mendorong tubuh Numa ke dinding agar bisa mengangkat tubuh mungil Numa dengan satu tangan, dan tangan lainnya menjamah d**a Numa. “Oooh, Om Timo,” desah Numa, bibir Timo sibuk mengecup leher, dan tangan lainnya sibuk meremas salah satu dadanya yang kenyal. Numa memeluk leher Timo kuat-kuat, memejamkan matanya, menikmati kecupan lembut Timo di leher dan remasan lembut tangan Timo di dadanya. “Oooh.” Numa mendesah nikmat. Timo yang tahu Numa ingin disentuh lebih dalam, menurunkan tubuh Numa, dan tanpa ragu melepas kancing celana levis Numa, lalu menyelip salah satu tangannya ke balik celana, menjamah milik Numa dan mengelusnya. “Oh, Om Timo.” “Peluk aku, Sayang. Cium aku.” Numa memeluk Timo dan melumat bibir Timo. Keduanya saling melumat bibir dan Numa menikmati sentuhan tangan Timo di miliknya yang berlendir. “Aaah,” desah Numa, dia berhenti melumat bibir Timo. Tiba-tiba terdengar suara deru mesin mobil dari luar. “Om, Papa datang.” Timo menghentikan aksinya, “Kamu yakin?” Numa kembali melumat bibir Timo sambil memegang tangan Timo seolah memberi kode bahwa dia masih menginginkan sentuhan Timo. Terdengar kembali bunyi pintu depan ditutup, dan Numa tidak peduli, juga Timo yang bergejolak bersemangat menyentuh milik Numa yang semakin licin dan mudah dia mainkan. “Ah, enak banget, Ooom. Akh…” “Ssst.” Timo menutup mulut Numa sambil terus memainkan miliknya. “Nikmati ya.” “Sampai kapan, Om. Enak, Om. Jangan berhenti … oh sampai kapan, oooh.” Numa tidak mengerti sentuhan yang satu ini, dia tidak mau berhenti dan tidak tahu kapan harus berhenti. “Sampai kamu puas, hm?” ujar Timo pelan. Tiba-tiba terdengar pintu kamar Numa diketuk dari luar, juga suara Irfan memanggil namanya. Numa dan Timo terdiam. “Numa?” Numa menggigit bibirnya, lalu tertawa pelan, tidak tahu kenapa keadaan ini memicu adrenalin dan dia menyukainya. Timo menghentikan permainannya, juga ikut tertawa. “Temui papamu,” bisiknya sambil mencium pipi Numa gemas. Numa memperbaiki celananya sebentar lalu berjalan menuju pintu kamar dan membukanya. “Iya, Pa?” Irfan mengamati putrinya beberapa saat. “Tadi mama kamu ke sini?” “Ya.” “Oh.” “Ya, aku juga liat mama ngobrol sama om Timo di dapur. Aku nggak tahu kapan mama pulang. Dia nggak pamit.” Irfan manggut-manggut. “Ok,” decaknya, dia lalu berbalik. Hampir saja Numa menutup pintu kamar, tapi Irfan berbalik lagi. Numa pucat, mengira papanya tahu ada Timo di dalam kamarnya. Dia menoleh ke sudut kamar, memberi kode agar Timo tetap bersembunyi. “Ada apa, Numa?” tanya Irfan, heran wajah Numa yang berubah cemas bercampur khawatir. “Ha? Nggak ada apa-apa, Pa.” “Sudah makan?” “Ya, aku makan chips.” “Papa bawain bakso, makan bareng yuk?” “Aku belum lapar.” “Ok. Papa simpan di kulkas ya, kamu angetin sendiri sebelum makan.” Numa mengangguk, setelahnya, barulah Irfan melangkah pergi. Numa tidak tahu, Irfan sempat menoleh ke pintu kamarnya, dan dia heran karena Numa menguncinya dari dalam. Numa kembali memeluk Timo dan mencium pipi Timo, berbisik. “Lanjutin, Om. Aku mau sampe puas. Aku belum tahu puas itu gimana rasanya.” Numa menurunkan celana jins sekaligus celana dalamnya, dan Timo memeluknya. “Oooh, enak,” desah Numa saat jari-jari Timo bergetar di miliknya. Dia memeluk leher Timo sambil melumat bibir Timo. “Nikmati, jangan khawatir. Kamu pasti keenakan sampai akhir,” bisik Timo ke telinga Numa. “Hmmm. Oooh.” Numa menggerak-gerakkan pinggulnya dan dia sangat gelisah. “Mau sambil rebahan?” tawar Timo. Numa menggeleng, “Begini saja,” bisiknya. Numa menggigit bibirnya dan matanya terpejam, menikmati sentuhan maut Timo. Tiba-tiba pintu kamar Numa diketuk lagi. Numa berdecak kecil, “Terusin saja, Om. Nanggung banget. Oooh.” “Iya, Pa?” teriak Numa kemudian. “Baksomu nanti jangan lupa ya?” seru Irfan. “Iyaaa,” teriak Numa yang keenakan karena jari-jari Timo semakin liar di liangnya. “Kamu ok, Sayang?” tanya Irfan berseru dari luar. “Iya, Papaaa. Aku belum lapaaar.” Numa meringis nikmat karena Timo menghisap ujung buah dadanya sambil memainkan miliknya yang semakin berlendir. Numa memegang pinggang Timo kuat-kuat, karena sudah mulai merasa kejang dan itu sangat nikmat. “Akh.” “Numa?”panggil Irfan lagi, suaranya bernada cemas dan khawatir. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN