Hesti berdiri dari duduknya, tersenyum sumringah melihat kedatangan Timo dari balik jendela rumah. Timo tampaknya baru pulang dari kerja sore itu, dan dia bergegas pergi ke dapur luar, yakin Timo akan berada di sana.
Hesti langsung sibuk saat berada di dapur, membuat minuman hangat beraroma khas rempah.
Benar saja, Timo datang ke dapur dan dia cukup terkejut melihat Hesti yang tersenyum ke arahnya.
“Hei! Ke sini lagi kamu rupanya,” tegur Timo dengan tawa khasnya. Matanya memicing heran dengan penampilan Hesti sore ini, lebih santai dan sedikit terbuka, tubuh seksinya dibalut dengan kaus lengan pendek tipis dan celana pendek. Tidak sesuai dengan umurnya, batin Timo.
Hesti mendekati Timo, menyerahkan minuman hangat, dan Timo mengambilnya.
“Aku baru pulang dari bengkel, dan lihat tanganku. Anyway, thanks,” ucap Timo, meletakkan cangkir keramik panas itu di atas meja. Dia sendiri lalu membuka kulkas dan meneguk air minum dingin dari botol besar miliknya.
“Sebaiknya minum air hangat dulu, Timo,” ujar Hesti menasihati.
“Di luar panas sekali, Hesti. Kamu baru datang?” Timo malah balik bertanya. Sebenarnya dia cukup risih dengan kedatangan Hesti sore ini.
“Hm, dua puluh menit yang lalu.”
Timo mengamati Hesti sejenak, lalu dia pamit ke kamarnya di paviliun hendak membersihkan diri.
Hesti mengangguk dan mengatakan bahwa dia mau menunggu.
Tidak perlu waktu lama Hesti menunggu, lima menit kemudian, Timo datang ke dapur dan dia tampak sangat segar. Minuman rempah buatannya saja masih hangat dan sempat diminum Timo sampai habis. Timo lalu membuka lemari dingin dan mengambil sandwich yang sudah dia siapkan sejak pagi untuk makan sore hari ini.
“Kamu nggak berubah, Timo,”
“Apa harus berubah?”
Hesti tergelak.
Timo menikmati sandwich dan dia terlihat sangat lapar.
“Nggak berubah bagaimana?” tanya Timo lagi.
“Ya, santai dan seperti tidak terjadi apa-apa.”
Gantian Timo yang tertawa. “Ya … Semua sudah terjadi … seperti kamu yang telah bercerai dari Irfan, aku juga bercerai dari Astrid. Aku pikir ada baiknya kamu dan Irfan kembali rujuk.”
Hesti menggeleng kuat. “Aku sudah tahu sifat buruknya, aku nggak mau mengalaminya lagi.”
Timo terkekeh pelan, menurutnya Hesti terlampau berlebihan menilai mantan suaminya itu, padahal mereka berpacaran sejak SMA dan mereka yang tampak baik-baik saja juga semakin mesra. Timo justru menilai Irfan adalah sosok tegas yang bertanggung jawab.
Seketika dia tertarik membahas hubungan Numa dan Hesti, meskipun dia tahu hubungan keduanya buruk. “Kamu dan Numa—“
Hesti menggeleng, mengetahui arah pertanyaan Timo.
“Oke.” Timo memilih tidak memaksa Hesti untuk menjawab.
Timo sudah selesai makan sore, dan dia bersiap-siap pergi.
“Timo,” panggil Hesti tiba-tiba.
Timo mengembalikan posisi duduknya, memutar tubuhnya menghadap Hesti. “Ya?”
“Kamu … apa kamu nggak berhasrat—“
“Hesti.” Timo berdecak kecil, kembali mengingat Hesti yang dulu pernah naksir dirinya sebelum jadian dengan Irfan, dan Irfan pun tahu soal itu. Namun, saat itu Timo tidak menanggapi Hesti karena orang tuanya yang menentang hubungan pacaran saat masih sekolah. Lagi pula, Timo juga tidak memiliki perasaan apapun terhadap Hesti, dan menyukainya sebagai teman dekat.
Mendengar pertanyaan Hesti barusan, dia mengingat kemesraan bersama Numa.
“Ya, pasti ada keinginan itu. Tapi aku memilih untuk melakukan hal-hal positif, olah raga, kerja di bengkel Irfan. Fokus ke rutinitas sehari-hari. Kenapa? Kamu lagi kepingin?” tanya Timo iseng.
Hesti cemberut mendengar pertanyaan Timo.
“Kenapa nggak cari pasangan saja, kamu masih cantik dan nggak tua-tua amat,” ujar Timo lagi. Dia sudah biasa berbicara tentang apapun dengan Hesti, dan Hesti yang juga kerap curhat dengannya jika memiliki masalah dengan Irfan selama pacaran. Namun, selama menikah Hesti sangat jarang bertemu Timo karena Timo yang bekerja di Amerika dan hanya sesekali pulang ke Jakarta, sampai akhirnya pulang dan dia dijodohkan dengan Astrid.
“Mendengar kamu kerja di bengkel Irfan, aku jadi ingat masa lalu kita,” ujar Hesti. Tangannya merembet di atas paha Timo. Hesti menoleh ke Timo dan mengamati wajah Timo dengan seksama. “Kok bisa Astrid tega membuang laki-laki gagah perkasa ini,” ujarnya sambil tersenyum genit.
Timo mendengus tersenyum, tetap membiarkan tangan Hesti yang nakal hingga ke pangkal paha, dan tangan halus terawat itu berhenti.
“Karena dia tahu aku nggak punya apa-apa,” ujar Timo, sambil memindahkan tangan Hesti dari pangkal pahanya.
“Kenapa kamu terlalu lemah, Timo. Seharusnya kamu berpikir untuk membalas perbuatan Astrid dan keluarganya, keluargamu, semua yang telah mencampakkanmu. Kamu bukan tidak punya apa-apa, kamu terlalu peduli dengan orang lain—“
“Hesti—“
“Anehnya kamu nggak peduli aku.”
Timo menggeleng tertawa.
“Kita bisa memulai, Timo. Aku tahu kamu segan dengan Irfan, tapi siapa peduli?”
“Aku peduli, Hesti.” Timo memandang wajah cantik Hesti, dan dia terdiam.
“Aku bisa membantumu dari keterpurukan … kita bisa—“
Hesti tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba Numa muncul di dapur dan gadis itu terkejut melihat mamanya duduk berdua berdekatan dengan Timo.
Timo memperhatikan Numa sebentar, dan pandangannya beralih ke hamparan meja, dia merasa kurang nyaman, yakin gadis itu pasti cemburu.
Numa cepat-cepat mengambil makanan berupa satu bungkus cemilan dan kembali masuk ke dalam rumah. Dia sama sekali tidak mau menoleh ke arah Timo dan mamanya.
“Aku sudah tahu tujuanmu, Hesti. Irfan sudah menceritakannya kepadaku,” ujar Timo, dengan mata tertuju ke cangkir bekas minuman hangat yang dibuat Hesti untuknya.
“Ya. Apakah kamu tertarik? Menjadi CEO di perusahaanku, dan … kita bisa hidup bersama,” ujar Hesti, dia memperbaiki posisi duduknya, bergeser ke dekat Timo hingga paha keduanya bersentuhan.
Timo mendengus tersenyum. “Tadinya aku pikir kamu datang karena merindukan Numa.”
Hesti mendengus tersenyum dan tatapannya tertunduk.
“Kamu nggak seperti mama pada umumnya, Hesti.”
“Kamu nggak mengerti, Timo.”
Timo jadi teringat putranya yang dia yakin akan membencinya selama-lamanya. “Aku juga dibenci Morgan,” ujarnya.
“Dia juga melihatmu di hotel itu?” tanya Hesti, dan wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan.
“Ya.”
“Dia pasti trauma.”
Hesti menghela napas panjang. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah dan Timo menyadarinya. Wanita itu melirik arloji tangan kirinya dan bersiap-siap pulang.
“Pulang?” tanya Timo.
“Ya. Sudah sore, aku nggak mau kedatanganku dilihat Irfan.”
“Dia lembur hampir setiap malam, Hesti.”
“Jadi kamu masih menginginkanku di sini?”
Timo terkekeh pelan. “Ya dan tidak. Aku hanya heran kamu terburu-buru.”
Hesti berdiri dari duduknya, menatap lurus wajah Timo, berkata, “Aku sebenarnya nggak begitu suka kamu menyinggung hubunganku dengan Numa.”
Timo tersenyum kecil, tapi dia memang sengaja membuat Hesti tidak nyaman. Lagi pula dia juga ingin Hesti cepat-cepat pergi dari rumah Irfan. “Maaf,” ucapnya.
Hesti tampak ragu untuk kembali duduk, tapi akhirnya dia pamit pergi, karena merasa suasana sudah tidak begitu mendukung baginya untuk berbincang hangat dengan kawan lama.
Timo mengambil ponsel kecil dari sakunya, menghubungi Numa. Namun, panggilannya tidak ditanggapi. Dia yakin Numa yang pasti sedang marah.
Timo mencoba lagi, tetap tidak ada tanggapan.
Kesal, dia nekat masuk ke dalam rumah Irfan. Sempat pula memastikan mobil Hesti yang sudah tidak ada lagi di pekarangan depan rumah.
Ada beberapa kamar di dalam rumah besar Irfan, tapi Timo dengan cepat mengingat posisi kamar Numa, karena sebelumnya dia pernah melihat Numa yang baru datang dari kampus, menyalaminya dan melangkah menuju sebuah kamar.
Timo sudah berdiri di depan sebuah pintu dan mengetuknya.
“Numa. Hei, buka pintu. Aku ingin bicara.”
Bersambung