Bab 18. Bincang Dengan Papa

1114 Kata
Numa menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan diri agar tidak mendesah. Dan dia sudah berkeringat. “Hmmm.” Numa menahan teriakannya saat tubuhnya bergetar dengan sendirinya. “Udah, Om.” Timo menghentikan aksinya, tahu Numa sudah puas. “Ampun, enak ba … nget. Hmmm.” Numa terpana melihat cairan ke luar dari miliknya dan jatuh di atas lantai. Timo memeluknya erat, dan Numa juga memeluknya. Lalu keduanya tertawa pelan. “Haha, Om.” “Kenapa?” Numa menutup mulutnya dan menggeleng. Entah kenapa dia menyukai keseruan sore ini bersama Timo. “Sudah, aku bereskan. Kamu harus istirahat.” “Om nanti gimana keluar dari kamarku?” “Ya kamu bantu aku dong.” Numa tertawa lagi, geli melihat Timo yang tertunduk sambil membersihkan lantai kamarnya dengan tisu. Timo juga melipat celana Numa dan menyingkirkannya. “Om.” “Ya?” “Aku ke luar dulu ya? Biar Papa nggak manggil-manggil aku lagi.” “Oke.” “Om tunggu di sini ya?” Timo mengangguk tersenyum. Numa pergi ke kamar mandi dan membersihkan area intimnya, lalu kembali ke kamar dan mengganti pakaian. Setelahnya, dia mencium pipi Timo gemas dan ke luar kamar meninggalkan Timo sendirian di kamarnya. Timo mendengus tersenyum. Seumur hidupnya, baru kali ini dia mengalami hal ini. Dia tidak pernah berpacaran, dan sekarang malah menjalin cinta dengan gadis muda dan dia menikmati keseruan ini. Timo mengamati keadaan kamar Numa yang kurang rapi, tapi perabotannya yang lengkap dan serba pink. Dia menertawai dirinya dan kekonyolannya. *** Sementara itu Numa berjalan menuju dapur. Dia melihat papanya duduk di kursi makan sedang menikmati bakso sendirian. Irfan menghentikan suapannnya, memperhatikan Numa yang sedang membuka kulkas dan mengambil bungkusan plastik berisi bakso. “Kamu habis menangis?” tanya Irfan, melihat Numa yang sedang berdiri di depan kompor, menghangatkan baksonya. Numa menoleh ke papanya. “Nggak. Kok Papa tanya begitu?” “Ya, hanya menebak. Mungkin kamu kesal dengan mama kamu, menangisi masa-masa sulit kamu dengannya.” Hanya beberapa menit dan Numa tidak sampai menunggu kuah bakso mendidih. Dia menuangkan bakso ke dalam mangkuk dan membawanya ke meja makan. Numa duduk di depan papanya. “Aku nggak apa-apa, Pa,” ujar Numa. “Papa tahu kamu masih trauma karena melihat mamamu pacaran, tapi percayalah, om Timo nggak seperti laki-laki kebanyakan. Dia baik dan bertanggung jawab. Dia bisa jadi papa yang baik juga buat kamu.” “Aku sih nggak masalah,” ujar Numa pura-pura setuju. “Kan om Timo sendiri yang bilang dia yang nggak mau, jadi bukan karena aku.” Irfan melanjutkan makannya. Numa benar, Timo menolak tawaran Hesti bergabung dalam perusahaannya yang sedang naik daun, juga menolak menikahinya. “Kenapa malah Papa yang semangat jodohin mama sama om Timo sih?” tanya Numa. “Ya, demi kebaikan semua, om Timo sedang susah dan mama kamu bisa bahagia dengannya.” “Papa sendiri?” “Papa sudah bahagia sama kamu.” Numa tersenyum tipis, menghela napas panjang. Perasaannya berubah gamang, dia menyayangi papa dan Timo, tapi sepertinya dia akan mengalami kesulitan. Numa kaget, Timo ke luar diam-diam dari kamar dan berjalan menyelinap menuju pintu menuju dapur luar. Numa berdiri dari duduknya, mendekati papanya dan memeluknya, “Papa, aku sayang Papa,” ucap Numa, matanya mengawasi tubuh Timo menghilang dari pintu menuju halaman belakang. Numa menghela napas lega, karena akhirnya Timo bisa ke luar saat dia berhasil mengalihkan perhatian papanya. “Hei, habiskan baksomu. Papa tahu kamu sayang Papa,” balas Irfan sambil mengusap-usap bahu Numa. Numa kembali duduk. Seketika dia merasa sangat bersalah dengan kejadian barusan. Apa boleh buat, Timo seolah memaksa dan dia yang tidak bisa mengelak dari rasa nikmat. Bakso yang Numa makan terasa begitu nikmat, karena rasa lapar setelah mengalami kepuasan, bercinta tipis dengan sahabat papa. “Kamu menyukai om Timo?” tanya Irfan tiba-tiba. “Ha?” Numa mendadak lunglai, saat mendengar pertanyaan papanya. “Maksud Papa, ya … seandainya mama kamu dan om Timo.” Numa mengangkat kedua bahunya, tidak tahu bagaimana menanggapi pertanyaan itu. “Papa tahu om Timo nggak tertarik, ya … tapi siapa tahu seiring waktu berjalan dan dia yang mungkin berubah pikiran. Dia sudah terbiasa hidup enak sejak dulu.” Numa hampir menghabiskan baksonya. “Jadi … om Timo itu dulunya kaya raya ya, Pa?” tanya Numa ingin tahu. “Oh, iya. Keluarganya punya perusahaan berlian ternama di Manila dan Singapore. Tapi, dia punya masalah dengan keluarganya, karena tidak sepakat … Papa nggak mengerti persoalannya, dan dia memilih keluar dan menghindar.” “Oh.” Numa tertegun mendengar jawaban papanya mengenai kehidupan Timo. “Jadi om Timo itu benar-benar menyendiri sekarang. Tapi dia punya otak yang sangat brilian. Kamu tahu, bengkel Papa maju dan banyak meraup keuntungan sejak dia bekerja di bengkel Papa.” “Kenapa Papa nggak angkat saja dia jadi manajer di bengkel Papa?” Irfan tertawa kecil. “Papa biarkan dia memilih, Numa. Papa nggak mau menawarkan posisi untuknya, khawatir dia tersinggung. Hm … lagi pula dia sudah jera bersaing. Ck, kamu nggak seharusnya terlibat dalam pembicaraan ini, dunia bisnis sangat kejam dan kamu tidak perlu tahu.” “Ha? Ya aku juga perlu tahu, Pa. Seenggaknya aku akan menyiapkan diri untuk menghadapi persaingan di masa depan.” Irfan tersenyum kecil. “Jadi kamu bersedia meneruskan usaha Papa?” “Bukan itu maksudku, ya nggak harus di bengkel Papa.” Irfan menatap wajah cantik putrinya, Numa sejak kecil sudah terlihat cerdas. Dia sebenarnya berharap Numa bisa meneruskan bisnis usahanya, tapi Numa tidak menunjukkan ketertarikan di bidang bisnis, malah menyukai perpolitikan dunia Internasional. “Hm … kamu masih dengan pacarmu itu, siapa … Oiya Daniel?” tanya Irfan tiba-tiba, beralih pembicaraan. Entah kenapa dia tergerak menyinggung ranah pribadi Numa. “Kami sama-sama sibuk, ‘kan sedang ujian akhir semester. Jadi kami berdua jarang sekali bertemu,” jawab Numa malas-malasan. Dahi Irfan berkerut, tidak lantas percaya. Dari jawaban dan raut wajah Numa, Numa tidak yakin dengan jawabannya. “Kamu sedang bosan dengannya?” Tidak tahu juga kenapa Irfan sampai bertanya demikian. “Entah, ya … kadang bosan.” Numa mengambil dua mangkuk kotor dari atas meja dan membawanya ke sink. Irfan hendak melanjutkan pembicaraan, tapi terdengar pintu luar diketuk. “Timo!” Irfan tersenyum lebar melihat Timo berdiri di depan pintu yang terbuka. “Masuklah,” suruh Irfan. Timo masuk ke dapur dalam rumah Irfan dan duduk di bangku kecil, dia melirik Numa yang sedang mencuci piring, lalu beralih ke Irfan. “Hesti ke sini lagi?” “Ya, kami berdua ngobrol di dapur.” Irfan menoleh ke Numa yang sedang mencuci alat-alat makan. Dia sepertinya ingin Numa segera pergi dari dapur agar dia bisa dengan bebas berbincang dengan Timo. Irfan ingin tahu hasil pertemuan Hesti dan Timo sore tadi. Namun, tampaknya Numa seperti sengaja memperlambat cuciannya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN