Bab 1. Dijebak
Betapa terkejutnya Timo saat terbangun, ada perempuan cantik tanpa busana tersenyum manja ke arahnya.
“Fu*k, siapa kamu?” Timo berteriak saat bertanya, tapi perempuan cantik itu malah tersenyum penuh makna.
“Semalam adalah malam yang indah bersamamu,” ujar perempuan itu sambil meraba-raba d**a bidang Timo dan menyentuh perut berototnya.
Timo meraba-raba dadanya dan menyingkap selimut tebalnya, semalam dia menghadiri acara pesta jamuan makan malam bisnis dengan istrinya di hotel ini, tapi kenapa berakhir di kamar ini bersama perempuan yang sama sekali tidak dia kenal? Timo berusaha mengingat apa yang terjadi semalam hingga membawanya ke kamar ini, tapi tak satupun yang dia ingat.
“Hei, kenalan dulu dong, aku Lila.”
“Kita tidak melakukan apa-apa, kan?”
Lila tertawa menyeringai, dan Timo yang panik luar biasa.
Tiba-tiba terdengar suara-suara gaduh di luar pintu kamar hotel yang diinapi Timo, suara-suara itu semakin mendekat dan pintu kamar.
Pintu kamar didobrak kuat dari luar.
“Timo!!”
“Astrid!!
Astrid memandang Timo dengan tatapan jijik. Lalu muncul seorang pria setengah baya dan di belakangnya ada beberapa pria bertubuh tegap mengarahkan ponsel dan menyalakan kamera.
“Timo! Ternyata benar kata papaku, kamu telah berkhianat! j*****m, Kamu!” teriak Astrid sambil memukul tubuh setengah telanjang Timo dengan tas tangannya.
“Astrid! Dengarkan aku dulu! Aw, hei! Astrid! Papa! Papa … aku mohon, ini semua salah paham. Aku … aku—“
“Kita bertemu di pengadilan, Timo! Aku ingin cerai!” desis Astrid dengan tatapan tajam menyala ke arah Timo, dan Timo yang tidak mengerti.
“Ini akan jadi bukti di pengadilan,” ujar pria setengah baya, papa kandung Astrid. Lalu rombongan penggerebek ke luar dari kamar, meninggalkan Timo yang masih kebingungan.
Tiba-tiba muncul seorang pemuda belasan tahun di pintu kamar.
“Papa….” Laki-laki muda itu menggeleng tak percaya melihat papanya yang hanya bercelana pendek dan perempuan yang sedang menutup dadanya dengan selimut. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang sangat dalam.
“Morgan! Morgan! Ini tidak seperti yang kamu lihat!” teriak Timo.
Morgan terus menggeleng dan menangis sambil berlari kencang menjauh dari kamar hotel.
“Siapa kamu, hah!?” Timo berteriak keras ke perempuan muda cantik yang masih rebah di atas tempat tidur.
Ingin menghindari amukan Timo, perempuan yang bernama Lila itu kemudian turun dari tempat tidur dan berpakaian, lalu mengambil tas dan ke luar kamar.
Timo terduduk di atas tempat tidur, pandangannya nanar ke seluruh isi kamar, merasa aneh dan heran atas kejadian yang begitu cepat barusan.
Dia berdecak kesal, mengerti mertuanya yang memang sudah sedari dulu tidak pernah menyukainya, terkait bisnis dan usahanya yang gagal dijalankan Timo, tapi seharusnya tidak begini.
***
Beberapa bulan setelah kejadian itu. Banyak hal yang berubah dari Timo. Selain tidak bekerja, dia kerap menghabiskan waktu dengan minum-minum seolah tak tentu arah. Sama seperti malam kemarin, saat ini, Timo ada di sebuah bar. Menghabiskan beberapa gelas bir tanpa peduli bahwa dirinya sudah setengah mabuk sekarang.
“Hei, Duda baru.” Tiba-tiba seorang menepuk bahu besar Timo.
Timo pun menoleh ke samping atas dan tertawa lepas saat melihat temannya datang dan duduk di sebelahnya. “Irfan!” serunya.
“Bagaimana perasaan kamu setelah jadi duda baru.”
“Sudah bukan duda baru lagi, Fan. Sudah tiga bulan.”
“Itu masih baru, tidak sepertiku yang sudah tiga tahun menduda.”
Irfan mengangkat tangan ke arah bartender, dia juga menginginkan segelas bir.
Timo terkekeh pelan. “Kenapa tidak segera mencari pengganti Hesti?”
Irfan menggeleng sambil mencebik. “Aku belum terpikat dengan satu pun wanita. Lagi pula anakku, Numa, belum bolehin aku buat cari pengganti Hesti.”
Minuman untuk Irfan sudah tersedia dan Irfan meneguknya hingga setengah. “Kamu sendiri?” tanyanya balik.
“Baru tiga bulan, Bung. Aku masih trauma dengan mantan mertuaku.”
“Burhan memang gila, sama gilanya sama mantanmu.”
“Ya, akhirnya aku tahu kalau Astrid dan papanya bekerja sama untuk mendepakku dari perusahaan dan juga dari keluarga besar Gumilang. Ck, aku baru sadar bahwa selama ini aku hanya dimanfaatkan Burhan.”
Irfan terkekeh. “Burhan, Burhan … kapan si tua bangka itu tobat. Aku heran sekali,” gumamnya yang mengetahui bahwa eks mertua Timo itu hanya memanfaatkan Timo selama ini melalui pernikahan dengan Astrid–sang putri kesayangan. Setelah Timo bekerja dan menyerahkan ide-ide untuk perusahaan meubelnya, dia membuat sebuah scenario sehingga Timo ke luar dari circle keluarga besarnya. Timo sendiri tidak mendapat apa-apa karena dianggap telah melakukan sebuah pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan.
“Dengar-dengar Burhan mendekatkan Astrid dengan Simon.”
“Ya, aku juga dengar itu. Sebenarnya sudah sejak tiga tahun lalu. Aku sebenarnya sudah meminta waktu untuk memperbaiki performa perusahaan, tapi sepertinya mertuaku sudah tidak sabar.”
Irfan mengangguk-angguk, sahabatnya ini memang luar biasa sabar. “Kamu cinta sekali dengan Astrid.”
“Ya, hubungan kami indah dulu, tapi dia sekarang berubah, cinta uang.”
“Jadi apa kegiatanmu sekarang, Timo?”
“Aku masih menunggu jawaban dari beberapa perusahaan, sudah dua bulan menunggu tapi belum ada jawaban. Sementara keuanganku sudah mulai menipis–“
“Aku bisa–“
“No. No. Aku tidak mau berutang.”
Irfan tersenyum tipis. “Atau … kamu bekerja saja di bengkelku, gimana?”
***
Tepat di sebuah cafe yang banyak didominasi oleh pengunjung muda. Sepasang kekasih terlihat berada di sana. Ya, dia adalah Numa, putri Irfan. Dia datang bersama Daniel–kekasihnya.
“Gue ke toilet dulu, Beb,” ujar Daniel terburu-buru. Dia bergegas pergi sampai lupa dengan ponselnya yang tergeletak di atas meja cafe.
Numa pun mengangguk. Tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel Daniel. Meski tak ingin melihat, Numa tanpa sengaja membaca pesan yang masuk lewat notifikasi yang muncul dari atas layar ponsel. Jantung Numa seketika berdetak kencang, satu pesan mesra datang dari teman satu kelasnya bernama Lisa.
Lisa: Yang, jadi ya malam Minggu ke rumah gue, bonyok gue pergi ke Bandung dua malam, kita bisa asyik-asyikan tanpa ada yang ganggu.
Daniel pun muncul dari toilet, terlihat menghela napas lega. “Yuk, pulang!” ajaknya.
“Lo pulang duluan saja!” balas Numa, wajahnya murung, sebal melihat wajah Daniel.
“Hei, ada apa?” tanya Daniel sambil mengambil ponsel dari atas meja.
“Lo liat aja hape lo, ada yang mau ngajak lo bercinta tuh.”
“Numa. Ini ….” Daniel lalu melihat pesan dari Lisa dan dia mengutuk dalam hati. “Well, gue bisa jelasin.”
“Nggak perlu.”
“Ini cuma candaan, Num. Gue dan Lisa terlibat panitia lomba basket kampus, lo tahu, ‘kan?”
“Serah lo.” Numa melipat kedua tangannya di d**a.
Daniel berlutut di depannya. “Num, hanya lo yang gue cinta—“
“Diam lo.” Numa mengambil tasnya dan pergi begitu saja dari cafe.
“Numa! Hei, Numa! Tunggu!”
Numa terus saja pergi tanpa memedulikan Daniel yang tergopoh-gopoh menyusulnya.
“Numa, hei, itu cuma candaan.” Daniel menarik tangan Numa. “Candaan basket, itu nggak serius.”
Numa menoleh ke arah Daniel. “Lo kira gue bego? He? Lo pikir gue gampang lo bohongin?”
“Nggak, Numa. Bukan gitu maksud gue.”
“Mulai sekarang kita putus!” Numa pergi begitu tanpa memedulikan panggilan Daniel yang terus memanggilnya.
“Numa!!”
Setibanya di depan rumah, Numa langsung memarkirkan mobil sembarang, lalu berjalan cepat menuju pintu utama rumahnya. Sebelum keluar dari mobil, dia sudah mengusap wajahnya berulang kali agar tak ada air mata yang tertinggal di sana. Dia tidak ingin ayahnya sampai tahu kesedihannya.
Baru akan masuk rumah, dia merasa heran karena melihat pintu rumah terbuka dan dia mendengar sayup-sayup tawa renyah dua orang pria.
“Numa!” Irfan tersenyum lebar melihat kedatangan putrinya.
Numa pun langsung mendekati papanya dan menyalami.
“Hei, kamu masih ingat Om Timo, nggak?” tanya Irfan, memperkenalkan temannya yang duduk di depannya. Sepertinya, dia dan Timo sedang melewati momen indah berbincang, ada dua kopi hitam pekat panas di atas meja dan satu toples biskuit.
Numa pun beralih, melihat Timo dan juga menyalami.
“Sudah lupa sepertinya,” ujar Timo, tersenyum melihat Numa yang menunduk dan tersenyum seadanya.
“Aku ke kamar ya, Pa, Om,” ujar Numa, dia masih tidak semangat karena kejadian yang dialami tadi di cafe. Dia pun berjalan cepat menuju kamar dan masuk ke dalam, lalu menguncinya.
“Nggak mungkin Numa lupa kamu, Timo. Kamu dulu sering gendong dia kok.”
Timo tertawa menggeleng. “Ya, dia dulu masih kecil sekali.”
Irfan mengangkat kedua bahunya, masih yakin Numa yang sebenarnya masih mengingat Timo.
“Ya, mungkin dia lagi ada masalah di kampus,” gumam Timo sambil melirik sekilas pintu kamar Numa yang tertutup rapat. Ada sedikit rasa kagum yang Timo rasakan saat melihat paras cantik Numa.
Bersambung