Bukan main senang Molly saat mendapatkan nomor kontak Timo langsung dari Numa. Dia melompat kegirangan saking senangnya tanpa menghiraukan orang-orang yang memandangnya terheran-heran.
Numa sedikit menyesal, tapi apa boleh buat, dia merasa tidak perlu menghalang-halangi Molly untuk mengenal Timo. Dia pikir jika dia menghindar, Molly tentu akan mencurigainya. Tidak tahu kenapa Numa merasa hubungannya dengan Timo penuh dengan kerumitan, usia Timo sama dengan usia papanya, mereka bersahabat baik, dan sekarang mamanya pula suka dengan Timo. Numa merasa memang lebih baik merahasiakan hubungan asmaranya tersebut dengan Timo untuk saat ini, karena pasti banyak pihak yang tidak menyukai hubungan tersebut. Dan melihat posisi Molly Numa jadi iri, Molly lebih bebas dan keluarganya yang pengertian. Soal usia tidak akan jadi penghalang, karena kakak perempuan Molly menikah dengan duda yang usianya sudah setengah abad.
“Aaah. Gue yakin gue adalah jodohnya om Timo. Lo pikir aja, gue yang langsung jatuh cinta pada pandangan pertama di bengkel bokap lo. Nggak pernah gue rasain langsung klik begitu sama cowok. Hm … dari segi nama saja sudah cocok dan serasi … Timoli, Timo dan Molly. Hehe.”
Numa akhirnya bisa tersenyum mendengar kelucuan Molly. “Jadi kayak brand minyak goreng,” ujarnya.
“Haha, iya juga ya. Aaah, gue benar-benar bahagia, Numa. Ntar gue langsung hubungi duda Timo.”
Jam kuliah belum mulai, sehingga masih ada waktu Molly berbincang dengan Numa perihal Timo.
“Numa, kayaknya om Timo itu bukan orang sembarangan deh. Eh, lo tahu dia nggak sih?”
“Ya, tahulah.”
“Cieee. Jadi om Timo itu dulunya kerja di mana sih?”
Numa tersentak mendengar pertanyaan Molly barusan, dia jadi tersadar bahwa selama dekat dengan Timo dia tidak mengenal Timo seutuhnya. Dia hanya tahu bahwa Timo adalah sahabat papanya, sedang bangkrut, baru bercerai beberapa bulan. Padahal dia sendiri sudah berencana ingin tahu sosok Timo yang sebenarnya, tapi selalu lupa bertanya saat sudah bermesraan.
“Gue nggak tahu, Molly. Tapi papa gue cerita kalo om Timo itu sedang bangkrut dan nggak punya uang, lalu bekerja di bengkel bokap.”
“Oh. Kasihan ya,” gumam Molly, iba akan nasib Timo.
“Jadi … gimana? Masih mau deketin om Timo? Dia nggak punya duit, seperti pria-pria impian lo,” ujar Numa, sedikit memancing. Dia sendiri tidak masalah dengan Timo yang tidak berduit, yang penting kasih sayang Timo yang selalu tercurahkan hanya untuk dirinya seorang.
Molly mengerutkan bibirnya, berpikir beberapa saat. “Hm … ah, nggak penting duit mah. Yang penting dia ganteng dan dia aman.”
Numa tertawa, tapi dalam hatinya sebal dengan tekad Molly.
“Entahlah, gue rasa om Timo tuh dari kalangan old money. Keliatan dari gaya dan cara ngomongnya. Dari cara berdiri juga keliatan kalo dia tuh orang berada dan bukan sembarang orang.”
Numa mengiyakan dalam hati akan penilaian Molly terhadap sosok Timo. Dia pernah masuk ke dalam kamar Timo dan melihat barang-barang milik Timo yang berharga puluhan juta di atas meja, tergeletak begitu saja, tanpa khawatir hilang atau lenyap. Baju-baju yang dia pakai sehari-hari juga bukan baju-baju murahan. Ternyata membahas Timo dengan Molly memberinya inspirasi, untuk lebih mengenal Timo. Molly sebelumnya juga mengusulkan membalas perbuatan Daniel yang telah mengkhianatinya, dan dia berhasil membalasnya dengan b******u hebat dengan Timo.
Tiba-tiba Daniel mendekati Numa dan Molly. “Apa sih Timo Timo yang gue denger dari tadi.”
Numa dan Molly terkejut, sontak keduanya menoleh ke belakang, ternyata Daniel menguping pembicaraan mereka.
“Apaan sih lo, nguping. Kek ibu-ibu aja lo,” protes Molly kesal.
“Gebetan lo, Mol?” tanya Ega, yang ternyata juga mendengar pembicaraan Molly dan Numa. Kali ini Molly tentu saja tidak berani mengatakan bahwa Ega seperti ibu-ibu bergosip, Ega dikenal dengan mulut sadis, sesadis mukanya.
“Yang tukang bengkel itu, ‘kan?” tanya Ega lagi, dia sengaja mengeraskan suaranya, agar teman-teman di sekeliling mereka mendengar bahwa Molly sedang jatuh cinta dengan tukang bengkel.
Tampak Daniel tersenyum sinis, merasa dibela Ega. Sempat pula tertawa sinis, karena berpikir bahwa Molly memiliki selera rendah terhadap sosok laki-laki.
Numa sendiri sinis melihat Daniel yang terkesan sombong dan meremehkan, sama seperti Ega.
“Nggak salah juga dengan tukang bengkel, Ga,” ujar Numa akhirnya.
“Kalo ganteng sih memang selamat. Lo yang nggak selamat, Coy,” balas Ega ke Molly yang diam saja, enggan membalasnya.
“Haha, tukang bengkel rupanya,” ujar Daniel, menertawakan Molly.
“Heh, kalo mobil lo rusak lo pasti ke tukang bengkel, ‘kan?” decak Molly, jengah dengan sikap angkuh Daniel.
***
“Jijik banget gue ma mantan lo, Numa. Sok ganteng, mentang kaya. Kaya juga nanggung bet. Ega apalagi, gue doain dia jomblo selama-lamanya, jomblo nggak bahagia,” rutuk Molly saat berada di kantin bersama Numa. Sejak mengenal Timo, dia jadi akrab dengan Numa, yang sebelumnya lebih sering dengan Daniel atau sendiri.
“Nggak boleh doain begitu, Molly.”
“Sebel, Num. Coba lo di posisi gue, gebetan lo dicacimaki dan direndahin gitu. Sebel nggak lo?”
“Ya, sebel juga sih. Tapi mau bagaimana lagi, Molly. Orang merekanya begitu.”
Molly masih dengan wajah kesalnya.
Numa jadi ikut-ikutan sebel.
Molly memperhatikan Numa yang makan nasi rawon dengan wajah cemberut. “Napa lo?” tanyanya, tersenyum kecil melihat sikap kesal Numa.
Numa diam tidak menjawab, tapi wajahnya menunjukkan kekesalan.
“Ah, gue yakin pasti Daniel. Lo mikirin Daniel yang nyebelin, ‘kan?”
Numa mengerlingkan mata malas.
“Gue senang lo putus dari dia. Puas banget gue, biarin dia sama Lisa sono. Biar dia tahu kalo Lisa tuh tropi bergilir, wc umum anak-anak basket.”
Numa melotot ke arah Molly, menurutnya Molly sudah keterlaluan.
“Lo nggak percaya ma gue? Makanya Daniel ikut-ikutan, sudah ketularan ma anak-anak basket, kepingin n***e ma cewek murahan kek Lisa.”
“Hush, Molly. Gua nggak suka dengerin lo ngomong gitu.”
“Kalo n***e ma cewek sendiri gue nggak sih nggak masalah. Lo mikir deh, n***e dan nggak punya hubungan apa-apa, itu gila namanya!”
Numa masih bisa menikmati rawon dan nasinya, meskipun ikut kesal dengan Daniel. “Emang dia bangs*t, Mol. Anj**g dia, j*****m dan gue benci orang kek dia. Songong, sok ganteng, tai*,” umpatnya tiba-tiba.
Molly kaget, dan tertawa semangat melihat Numa yang mengumpat habis mantan kekasihnya. “Lo bisa bayangin kalo si kudanil ini ketemu ma Timo. Bak langit dan bumi.”
“Kudanil lebih berharga daripada dia, Molly. Langit dan Bumi juga nggak bisa disamain ma itu orang. Tuh orang udah kek tai*.”
Molly tertawa lepas, tidak menyangka Numa mengumpat sambil makan. Dia tidak tahu saja bahwa Numa juga kesal profesi kekasih diam-diamnya diremehkan Daniel.
***
Timo mengambil ponsel kecil bututnya, dan dahinya mengernyit saat membaca sebuah pesan, Halo Om Timo, ini Molly, masih ingat aku, Om?
Timo tersenyum hangat, ternyata Numa benar-benar memberi Molly nomor kontaknya. Dia tentu saja mengingat Molly, seorang gadis muda yang memiliki senyum khas dengan lesung pipi di pipi.
Timo membalas pesan Molly mengatakan bahwa dia masih mengingat Molly dan bertanya tentang keadaan mobilnya.
Molly langsung menghubunginya.
“Halo, Om Timo. Sibuk nggak?”
Timo mendengus tersenyum mendengar suara riang Molly di telinganya, merasa lucu bahwa dirinya tengah dihubungi gadis belia dan dia tahu Molly juga menyukainya.
“Aku baru pulang, Molly.”
“Oh, maaf. Jadi Om mau istirahat ya?”
Timo mengerlingkan matanya, sedikit bingung harus menjawab bagaimana, jika menjawab iya, khawatir Molly tersinggung, jika jawabannya tidak, dia sedang tidak mau berbicara penuh basa basi melalui telepon.
“Ya,” jawab Timo akhirnya, berharap Molly tidak tersinggung dengan jawabannya.
“Oh, oke. Aku hanya ingin kasih tahu kalo ini adalah nomorku, dan Om simpan ya?”
“Oke, Molly.” Timo yakin Molly tidak tersinggung dan memahami keadaannya.
“Boleh kapan-kapan aku menghubungi Om Timo?”
Timo pikir tidak ada salahnya, lagi pula Numa membolehkannya. “Ya, boleh saja.”
“Oh, oke, Om Timo. Kalo begitu selamat beristirahat.”
Panggilan pun berakhir.
Timo mendengus tersenyum, dia jadi memikirkan Numa dan ingin melaporkan ke gadis itu bahwa dia dihubungi Molly. Ah, dia jadi ingat momen Numa yang cemburu karena mengira dia senang dengan Molly. Lucunya, malah dia yang memberi nomornya ke Molly.
Namun, Timo memutuskan untuk tidak menghubungi Numa, yakin gadis itu juga letih seperti dirinya sekarang dan sedang beristirahat.
Bersambung