Lamaran

1164 Kata
“Dokter..” Rizal menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Lina. “Iya, ada apa?” “Jika aku menceritakan semua padamu, maukah kau tinggal di sini dan menemaniku semalaman?” Tapi tentu saja pertanyaan itu hanya sanggup ia utarakan dalam hati saja. Kenyataannya, ia hanya bisa berdiri mematung tak bersuara. “Lina.. kau ingin mengatakan sesuatu?” tanya Rizal, karena Lina hanya berdiri mematung setelah memanggilnya “E.. ah tidak, Dokter. Selamat malam,” ucap Lina salah tingkah. Dokter Risal mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya. Ia tersenyum ke arah Lina sebelum menutup pintu. Lina hanya bisa menghembuskan nafas panjang sembari memejamkan matanya. Ia terduduk di lantai tak berdaya. Sungguh, perasaan yang ia rasakan dalam hatinya semakin menyiksa. Tapi sekaligus membuatnya bahagia. Sepertinya, menyukai seseorang dalam diam tidak buruk juga. Ia menikmati setiap detik keindahan perasaan itu, bagaimana hatinya berdebar tak karuan saat Rizal berada di sampingnya. Bagaimana ia membayangkan wajah tampan itu tersenyum lembut ke arahnya. Semua hal itu membuat perasaannya menghangat. Dengan merasakan keindahan itu seorang diri, rasanya sudah cukup baginya. Mungkin keputusannya untuk tetap menyukai dokter Rizal adalah hal yang tepat. Biarlah hanya dirinya sendi yang merasakan kesakitan dan kebahagiaan karena mencintai pria yang sudah memiliki pasangan. Ia tidak berdosa, karena ia mencintai tanpa mengharapakan balasan apapun darinya, ia juga tidak pernah berniat untuk merebutnya dari pasangan yang memilikinya. Ia hanya ingin mencintainya seorang diri dan merasakan sakit dan bahagia seorang diri. *** Rizal terlihat sibuk di meja kerjanya, pasien terakhir yang seharusnya menjalani terapi membatalkan janji karena sesuatu hal. Jadinya, Rizal akan pulang lebih awal. Ponselnya berdering, ia tersenyum sebelum menjawab panggilan itu “Halo sayang, ada apa?” tanyanya. “Kok ada apa, sih. Jangan bilang kamu lupa dengan janjimu, ya?” balas Winda terdengar kesal. “Oh, janji yang mana, ya? aku masih banyak pasien, jadi sepertinya harus lembur,” ucap Rizal, ia sengaja menggoda kekasihnya itu. “Apa? jadi kau akan membatalkan janjimu?” protes Winda tidak terima. “Kau keberatan aku menangani pasienkuku terlebih dahulu?” pancing Rizal. “…” Winda terdiam. “Baiklah, aku akan mencoba memakluminya. Kalau begitu, selamat bekerja. Jangan lupa hubungi aku kalau sudah selesai, selamat malam,” ucap Winda setelah beberapa lama terdiam sebelum menutup teleponnya. Rizal tahu kalau Winda keberatan dengan jadwalnya yang cukup padat. Mengingat waktu bersamanya di tanah air hanya tersisa beberapa hari lagi, ia harus menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk selalu bersama. Tapi kesibukan Rizal selalu menghalangi kebersamaan mereka. Tapi hari ini, Rizal akan memberikan kejutan manis untuk Winda. Juga sebagai permintaan maaf karena beberapa hari ini ia terlalu sibuk untuk menemui kekasihnya itu. Walaupun sebenarnya ia pasti akan meluangkan waktu untuk bertemu dengannya meski hanya sebentar saja. “Suster Yuli, tolong bereskan semua yang ada mejaku, ya. Aku buru-buru soalnya…” ucapnya lalu beranjak meninggalkan ruangan. Rizal melaju dengan kendaraanya yang kecepatan normal, seikat bunga mawar merah kesukaan Winda telah ia siapkan. Bunga indah itu ia taruh di jok di sampingnya. Beberapa kalim ia melirik bunga itu. Rizal sudah tidak sabar bertemu dengan Winda. Ia sengaja mengunjungi Winda di rumahnya. Malam ini, ia telah menyiapkan kejutan untuknya. Mobilnya masuk ke dalam pekarangan rumah Winda. Rizal turun dari mobil dan berjalan menuju pintu. Ia lalu membunyikan bel beberapa kali sebelum pintu terbuka. “Oh, dokter Rizal datang? Mari silakan masuk, dokter. Nona Winda sedang ada di kamarnya, Dokter silakan menunggu di sini. saya akan memanggilnya,” ucap seorang pelayan yang menyambutnya. “Oh ya, Bi. tolong jangan kasi tahu Winda kalau tamunya itu adalah saya, ya. Saya akan memberinya kejutan” ucap Rizal memberi pesan. “Baik, dokter. Siap!” seru sang pelayan dengan penuh semangat. Rizal pun tersenyum dan mengangguk. Ia laku duduk di sofa sementara pelayang itu berjalan menuju tangga ke lantai 2. Sementara itu Winda masih terlihat tiduran di ranjangnya. Meskipun mendengar suara ketukan dari arah pintu, ia sengaja mengabaikannya. Perasaannya masih kalut karena lagi-lagi Rizal membatalkan janji karena sibuk bekerja. Padahal ia sudah harus kembali ke Kanada besok sore. Seharusnya hari ini bisa menjadi saat yang spesial untuk mereka, tapi apa boleh buat, dia harus mengalah demi kewajiban yang Rizal emban. Toh, nantinya ia juga akan sesibuk Rizal saat dirinya sudah bekerja nanti. “Huh… aku harus kuat…” gumannya sambil memejamkan mata. “Tok…tok…!” suara ketukan itu kembali terdengar. Karena terganggu, ia terpaksa meresponnya. “Iya, masuk…!” serunya sedikit kesal. Pintu terbuka dan seorang pelayan masuk ke dalam dan menghampirinya. “Ada apa? kalau aku tidak merespon itu artinya aku tidak ingin di ganggu. Seharusnya kau sudah tahu kebiasaanku!” ucap Winda ketus kepada pelayannya. Ia sangat tidak suka diganggu apalagi jika perasaannya sedang kacau seperti sekarang. Sang pelayan jadi ketakutan, Winda juga memang tidak ramah dengan para pelayan di rumahnya. “Maaf, Nona. Tapi ada tamu yang ingin menemui Nona. Tamunya sudah menunggu di bawah,” ucap pelayan itu dengan cepat, ia tidak ingin berlama-lama di sekitar Winda. “Tamu? Siapa?” tanya Winda. Ia harus memastikan orang yang datang padanya. “Ah, itu… saya tidak tahu Nona. Sebaiknya Nona turun dulu melihatnya,” saran pelayan itu. Iya, aku tahu! Sekarang pergilah..” ucap Winda lalu kembali menutup pintu kamarnya. Winda kemudian keluar dari kamar menuruni tangga. Ia melihat seorang pria berjaket hitam sedang berdiri memunggunginya. Siapa orang itu? dari tampilan punggungnya, orang ini sangat mirip dengan Rizal. Tapi kan Rizal tidak mungkin datang dijam ini karena ia masih sibuk dengan pasiennya. “Ah, permisi. Anda siapa?” sapanya sopan.” Pria itu pun berbalik, Winda sangat terkejut saat melihat Rizal berdiri di hadapannya. “Ri-Rizal?” panggilnya dengan tergagap. “Hai sayang, apa kau cukup kaget dengan kejutanku ini? selamat ulang tahun… ucap Rizal sambil merentangkan tangannya. Tak pelak, Winda kemudian berlari menghambur ke pelukan kekasihnya. “Iya, sayang. Kejutanmu ini sangat membuatmu terkejut sekaligus bahagia,” ucap Winda sambil memeluk erat tubuh Rizal. Setelah beberapa lama saling berpelukan, mereka kemudian melepas pelukan masing-masing lalu kembali duduk di sofa. “Oh ya, orang tuamu di mana? Sejak tadi tidak kelihatan.” Tanya Rizal sambil menatap sekeliling. “Papa dan mama ada kunjungan ke luar kota selama seminggu. Tapi besok mereka sudah pulang,” ucap Winda. Seorang pelayan muncul membawa kudapan dan teh. “Oh, aku kira mereka tidak pulang saat kau kembali ke Kanada, aku hampir saja cemas,” ucap Rizal sambil mengelus lembut kepala kekasihnya itu. “Kalau orang tuaku tidak datang, kau mau mengantarku sampai ke Kanada?” tanya Winda. “Hmm, bisa jadi. Tapi yang pasti aku akan mengantarmu sampai ke bandara, tapi percuma saja ragaku di sini karena kau telah membawa setra hatiku bersamamu,” ucap Rizal sambil menatap mata indah Winda dengan dalam. Winda bergerak ingin mencium bibir Rizal tapi pria itu mengecup keningnya beberapa saat. Sorot mata Winda yang penuh harap membuat Rizal tidak tega. Ia pun kembali mencium kening kekasihnya lalu tersenyum. “Winda, aku ingin kau memakai cincin ini di jarimu…” Rizal membuka sebuah kotak merah kecil dan memeperlihatkan cincin permata indah yang berkilau di depan mata gadis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN